Dear
My Dearest Deara…
Aku
tahu sudah terlambat untuk meminta maaf,
aku
hanya berharap tak ada kata terlambat untuk cinta
Deara-ku…
izinkanlah aku kembali dan membuatmu tersenyum lagi
Berikanlah
aku kesempatan kedua untuk mengobati hatimu
Walau
aku tahu lukamu tak akan hilang seketika
Meski
aku tahu kalau maafku tak akan mengubah semuanya
Tapi
izinkanlah aku memperbaiki semua dengan cintaku…
Evan
***
Hujan
itu masih sama seperti yang dilihan Deara dari jendela kamarnya hampir setahun
yang lalu. Tak ada yang berubah. Yah… kecuali perasaannya. Setahun yang lalu,
ketika melihat hujan itu yang ada dalam benak Deara hanyalah kebahagiaan. Tiap kali
melihat hujan, yang muncul dalam ingatannya adalah momen-momen saat Evan
menyatakan cintanya padanya dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Momen-momen
berharga yang tak akan pernah Deara lupakan, meski sekarang momen itu sayangnya
harus dirusak oleh kenangan buruk lain tentang hujan yang membuat perasaan
Deara berubah. Kini, tiap kali melihat hujan bukanlah senyum yang ada di wajah
gadis dua puluh empat tahun lalu, melainkan kernyitan dan ringisan. Seolah Deara
tengah menahan perih dari luka yang kasat mata. Luka yang di torehkan Evan
beberapa minggu yang lalu.
Deara
memejamkan mata, ingin melupakan kenangan buruk itu dan memaafkannya,
merelakannya dan melupakannya. Namun ada perbedaan yang sungguh signifikan dari
memaafkan dan melupakan. Ketika kita memaafkan seseorang, kita tidak lantas
melupakan apa yang telah orang itu perbuat pada kita, tapi sebaliknya, jika
kita melupakan maka artinya kita juga memaafkan. Tapi melupakan bukan hal yang
mudah. Dibutuhkan lebih dari beberapa minggu untuk melupakan semuanya. Dibutuhkan
mungkin bertahun-tahun untuk menghapus kenangan pahit itu tiap kali Deara
memejamkan matanya.
***
Hari
masih terlalu pagi saat Deara menyelesaikan masakannya. Masakan yang ia buat
sejak pagi buta demi menyenangkan hati Evan yang secara tidak langsung berulang
kali meminta Deara untuk membuatkannya bekal dan sekarang di hari jadi mereka
yang ke sebelas bulan, Deara akan menjadikan nasi goring sosis spesialnya ini
sebagai kejutan untuk Evan.
Sambil
menyunggingkan senyum lebar, Deara menghiasi nasi goring itu. Membentuk mata,
mulut dan hidung dengan sayuran yang ada sebelum menutup kota bekal yang sudah
sejak seminggu lalu itu di belinya. Deara benar-benar puas. Pagi ini rencananya
ia akan berangkat pagi-pagi sekali dan mampir ke rumah Evan untuk memberikan
bekal ini agar Evan bisa memakannya ketika makan siang nanti.
Usai
menyiapkan bekal istimewanya, Deara yang memang sudah siap dengan setelannya
meraih tas tangannya dan berjalan dengan langkah anggun keluar rumah dimana
mamanya yang sudah mengenakan pakaian santai tengah menyirami bunga-bunga
kesayangan beliau.
“Hai
sayang… bagaimana nasi gorengnya?” sapa wanita paruh baya itu dengan wajah
cerah. Sejak Deara berkerja di sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang cukup
bersar hampir dua tahun yang lalu, Deara meminta mamanya untuk pensiun dini dan
menikmati hidup mengingat sejak papanya meninggal, mamanya lah yang banting
tulang membiayai hidup dan sekolah Deara dan bagi Deara, sekaranglah waktu yang
tepat untuk membalas semua jasa mamanya. Walaupun pada awalnya mamanya sempat
menentang ide itu, tapi pada akhirnya wanita paruh baya dengan kepribadian
lembut itu menuruti permintaan Deara dan inilah kegiatannya sehari-hari
sekarang, berkebun dan menikmati masa tuanya dengan merawat tanaman-tanaman
hijau kesukaannya.
“Beres,
ma. Doain enak ya,” jawab Deara dengan senyum lebar sambil mengampiri mamanya. “Deara
berangkat dulu ya, ma,” pamit Deara sambil mencium tangan mamanya.
“Pasti
mama doakan. Hati-hati di jalan ya, nak,” ujar mamanya lembut.
***
Deara
membelokkan audi infiniti kesayangannya, hadiah ulang tahun ke-20 dari mamanya,
masuk ke halaman rumah Evan yang gerbangnya sudah terbuka lebar, tidak seperti
biasanya. Jam baru menunjukkan pukul enam. Biasanya Evan baru akan beraktivitas
pukul setengah tujuh atau pukul tujuh dan di jam-jam itulah gerbang rumah
bergaya minimalis ini baru terbuka. Meskipun merasa aneh, Deara berusaha tidak
ambil pusing dengan keanehan barusan dan mematikan mesin mobilnya. Deara bahkan
sempat mematut diri di cermin ketika hendak keluar dari mobilnya.
Sambil
menyunggingkan senyum lebarnya, Deara melangkahkan kakinya yang telah dibungkus
sepatu high heels hitam yang menambah anggun penampilannya. Masih dengan
menyunggingkan senyum, Deara memasukkan kunci rumah Evan yang diberikan lelaki
itu empat bulan yang lalu tapi ketika Deara berusaha memasukkan kunci itu
kelubangnya, kunci itu menolak masuk seolah ada sesuatu yang menghalanginya. Dengan
dahi berkerut penasaran, Deara memutar kenop pintu dengan pelan dan terkejut
ketika Deara mendapati pintu tidak terkunci dengan kuncinya menggantung
dilubang kunci bagian dalam. Mengendap-endap, Deara memasuki rumah Evan yang
seolah sudah terjamah, padahal sebelumnya, Evan pasti belum bangun pukul enam
pagi seperti dan semua itu justru semakin menambah kecurigaan Deara.
Deara
menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat akan berbelok dan memasuki dapur.
Ada suara dua orang yang tengah bercakap-cakap, laki-laki dan perempuan. Deara
mengenali suara si laki-laki sebagai suara Evan, tapi suara perempuan itu…
Deara tidak mengenalinya. Lagipula setahu Deara, Evan tinggal sendiri disini. Orang
tua Evan tinggal diluar kota dan tidak mungkin pagi-pagi kesini ibu Evan sudah
sampai disini bukan? Lagipula tidak ada mobil lain yang parkir di halaman
depan. Deara memasang telinganya baik-baik. Tak peduli jika nuraninya menjerit
memintanya untuk pergi karena tidak sopan mendengar percakapan orang, Deara
mengabaikannya dan berusaha mendengarkan percakapan Evan itu dengan baik.
“Maaf
sudah membangunkanmu pagi-pagi begini, Van,” ujar si perempuan setelah diam
cukup lama dan hanya terdengar suara seseorang tengah menyesap minuman. Deara
bisa mendengar Evan mengela napas cukup berat.
“Aku
harap kamu datang setahun yang lalu, Helen. Kalau saja kamu datang setahun yang
lalu, mungkin semuanya tidak akan serumit ini,” gumam Evan yang jelas-jelas terdengar
begitu stress dan tertekan.
“Apakah
ada orang lain, Van?” tanya wanita bernama Helen itu tampak terluka.
“Helena…”
desah Evan.
Helena.
Nama itu terdengar cukup familier di telinga Deara. Mencoba menggali-gali di
tumpukan ingatannya, Deara memacu otaknya untuk mengingat nama yang terdengar
familier itu karena entah mengapa firasatnya mengatakan kalau ia sangat
mengenal nama itu.
“Kamu
sudah pergi selama dua tahun tanpa memberi kabar. Apa kamu berharap aku masih
menunggumu dengan setia?”
Deara
berjengit mendengar nada tajam dalam pertanyaan penuh sarkasme yang baru saja
diajukan oleh Evan. Pergi selama dua tahun? Kata-kata itu terngiang dalam
pikiran Deara, seolah kata-kata itu adalah petunjuk yang harus di pecahkan. Setelah
hampir lima menit berpikir dan membiarkan perbincangan itu berlalu begitu saja,
Deara akhirnya tahu siapa Helena dan perasaannya langsung berubah menjadi tidak
enak dan was-was karena Helena adalah mantan kekasih Evan yang meninggalkan
Evan begitu saja tanpa kabar dan pesan dua tahun yang lalu.
“Aku
minta maaf, Van. Aku sungguh minta maaf,” air mata menghiasi suara Helena yang
terdengar serak dan parau.
“Sudahlah…
Helena.” Gumam Evan yang mendadak terdengar lelah. “tidak ada gunanya minta
maaf. Toh aku sudah menentukan pilihanku,”
Deara
yang masih setia di tempat persembunyiannya mengulum senyum. Iya yakin kalau
dirinya lah yang akan dipilih Evan. Lagipula Helena sudah meninggalkannya tanpa
meninggalkan pesan atau kabar selama dua tahun. Tidak mungkin kan kalau Evan
akan memilih Helena.
“Siapa
yang akan kamu pilih, Van? Aku atau kekasihmu?” tanya Helena penuh antisipasi,
begitu juga Deara yang semakin fokus mendengarkan percakapan Helena dan Evan. Untuk
kedua kalinya terdengar helaan napas lelah Evan.
“tentu
saja aku memilih…” kalimat Evan terhenti beberapa saat membuat Deara dan juga
Helena sama-sama menahan napas. “aku memilih kamu, Helena. Selalu kamu,” lanjut
Evan mantap. Terkesiap, Deara tanpa sadar melepaskan tas kertas tempat ia
menyimpan bekal yang ia siapkan untuk Evan lengkap dengan kartu ucapan
didalamnya dan membuat kotak bekal itu jatuh di lantai keramik dengan suara
berisik yang langsung menarik perhatian Evan dan Helena yang tengah bertatapan
dengan penuh cinta didapur. Tergopoh-gopoh baik Evan dan Helena langsung
menghambur keluar dari dapur, dan betapa terkejutnya Evan ketika ia melihat
Deara berdiri di sebelah kotak bekal yang memuntahkan isinya di lantai dengan
muka pucat yang berlinang air mata.
“Deara!”
pekik Evan syok, sementara Helena hanya bisa mematung dibelakang Evan. Sebelum Evan
sempat bereaksi, Deara yang sudah bisa menguasai keterkejutannya langsung
menghambur keluar dari rumah bergaya minimalis itu dan melompat masuk kedalam
mobilnya sebelum melajukan mobil yang terbilang mewah itu dengan kecepatan
tinggi, mengabaikan teriakan Evan dibelakangnya.
***
Deara
menghapus setetes air mata yang berhasil keluar dan membobol perthanannya,
sambil berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan buruk itu, Deara kembali
menatap hujan yang turun deras diluar sana. Tapi rupanya, melihat hujan sama
sekali tidak membantu karena hujan hanya mengingatkannya pada hujan yang turun
dengan deras ketika Deara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dari rumah
Evan, mengiringi air matanya yang tumpah begitu saja.
Evan…
Begitu
Deara merindukan nama itu. Dulu, ketika mereka masih bersama, ketika Helena
belum kembali dalam hidup Evan, hubungan mereka begitu sempurna. Evan memuja
Deara, begitu juga sebaliknya. Di setiap kesempatan yang ada, baik Evan maupun
Deara selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Mereka tidak pernah bertengkar,
mereka saling memahami. Hubungan mereka berjalan dengan mulus, baik-baik saja
bahkan hampir membosankan. Deara menghela napas, satu lagi faktor lain yang ia
temukan tanpa sengaja tiap kali ia mengingat-ingat masa lalu dengan Evan. Faktor
lain yang justru membuatnya semakin memburuk karena faktor-faktor itu datang
darinya. Semua kesalahan itu datang dari dirinya sendiri. Mungkin karena itu
memaafkan Evan menjadi hal yang begitu mudah meski sampai hari ini, Deara belum
bisa melupakan apa yang telah dilakukannya padanya dan pada hubungan mereka.
***
“Aku
mohon, Deara, setidaknya tolong baca surat ini. ia benar-benar menderita
sekarang,” gumam Karen, sepupu Evan yang cukup dekat dengan Deara selama ia dan
Evan masih bersama dulu. Dengan enggan Deara meraih selembar kertas yang hanya
dilipat menjadi dua tanpa ada amplop tanpa ada tulisan di sisi luar. Hanya sebuah
kertas polos yang didalamnya menyimpan tulisan-tulisan tangan Evan, lelaki yang
dulu pernah dan sampai sekarang dicintainya.
“Kenapa
Evan tidak menyerahkan surat ini sendiri?” tanya Deara, mengeluarkan suara
untuk pertama kalinya sejak gadis itu datang dan mendengarkan penjelasan Karen
tentang betapa mengenaskannya sepupunya sekarang. Menyesali keputusannya
sendiri dan meninggalkan Helena serta menghukum dirinya sendiri. Sebenarnya Deara
ingin mempercayai semua itu, tapi mengingat Evan tak sampai sehancur itu ketika
Helena pergi meninggalkannya, Deara pesimis kalau ia bisa menimbulkan efek
seperti itu pada Evan. Bahkan kalau seandainya pun ia sehebat itu hingga bisa
membuat Evan kacau, bukankah saat itu seharusnya yang dipilih Evan adalah
dirinya, bukan Helena?
“Evan
tidak pernah berniat memberikan surat itu sama kamu, De. Tanpa sengaja aku
memergoki Evan menulis surat itu ketika aku mengunjunginya beberapa hari yang
lalu dan ketika aku tanya kenapa ia tidak memberikan surat itu sama kamu, dia
menjawab kalau dia bahkan nggak pantas mendapatkan maaf dari kamu,” jelas Karen
dengan keprihatinan yang terdengar jelas dari suaranya.
Deara
mengela napas. Ia tidak bisa memutuskan semua itu sekarang. Ia butuh waktu
untuk memikirkan semuanya. “Terimakasih, Karen. Aku akan mempertimbangkannya,”
***
Lagi,
Deara menyeka air matanya. Sekarang ia merasa benar-benar brengsek. Setelah mendengar
apa yang seharusnya tidak ia dengan dirumah Evan, lelaki itu memang berusaha
mencarinya beberapa kali, mencoba untuk menjelaskan semuanya, tapi Deara, yang
saat itu tengah benar-benar marah memutuskan untuk mengabaikan Evan. Membiarkan
lelaki itu berkubang dalam lukanya sendiri.
Namun
mungkinkah Evan benar-benar mencintainya?
Kalau
iya, kenapa ia memilih Helena dari pada dirinya?
Pertanyaan
it uterus berputar-putar dalam diri Deara. Ia tidak tahu harus bagaimana
sekarang. Sejak Karen memberikan surat itu hampir seminggu yang lalu, Deara
masih tidak bisa mengambil keputusan. Di satu sisi ia benar-benar merasa
terluka dan belum bisa melupakan luka itu meski ia sudah memaafkan Evan, tapi
disisi lain ia benar-benar merindukan Evan. Setiap malam hatinya memanggil nama
cowok itu, berharap wajah Evan akan muncul di layar laptopnya, berbicara face
to face dengannya lewat video call. Namun semua itu sudah berlalu dan Deara
tidak yakin akan meraih masa lalu itu dan menariknya kembali atau melepaskan
masa lalu itu dan mengikhlaskannya.
***
Hari
ke-37 tanpa Deara.
Ketika
alarm-nya berbunyi pukul tujuh pagi seperti biasa, Evan benar-benar sudah
kehilangan semangatnya untuk menjalani hari, padahal hari baru saja di mulai. Orang-orang
diluar sana pasti mengawali harinya dengan oenuh semangat, tapi Evan justru
sudah kehilangan semangatnya. Yang ingin ia lakukan hanyalah berbaring disini
sendirian dan menghukum dirinya.
Hari
itu Evan memang memilih Helena, tapi ia benar-benar menyesali pilihannya. Seharusnya
ia memikirkan semuanya matang-matang terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu
dan sialnya, sekarang Evan benar-benar merasa menyesal. Tak perlu menunggu cukup
lama untuk menyadari bagaimana perasaannya yang sesungguhnya, begitu Deara
pergi dengan keadaan kalut, Evan langsung menyuruh pergi Helena dan mengatakan
pada wanita itu kalau Evan telah salah memilih. Kalau ia seharusnya memilih
Deara, kalau ia baru menyadarinya sekarang.
Dengan
jengkel Evan menarik kembali selimutnya dan memejamkan matanya. Evan terlalu
fokus pada rasa sakitnya hingga ia sama sekali tidak mendengar suara deru mobil
yang berhenti di pekarangan rumahnya, juga suara pintu yang terbuka bahkan Evan
tak menyadari ketika ada orang yang masuk ke dalam kamarnya hingga orang itu
mengecup pipi Evan dengan lembut.
Terkesiap,
Evan langsung bangkit dan terkejut siapa yang datang pagi-pagi begini dan
menciupnya.
“Selamat
pagi, sayang…” sapa Deara dengan senyum lebar yang langsung membuat Evan ikut
menyunggingkan senyum tak kalah lebarnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar