Rabu, 02 April 2014

My Dearest…


Dear My Dearest Deara…

Aku tahu sudah terlambat untuk meminta maaf,
aku hanya berharap tak ada kata terlambat untuk cinta
Deara-ku… izinkanlah aku kembali dan membuatmu tersenyum lagi
Berikanlah aku kesempatan kedua untuk mengobati hatimu
Walau aku tahu lukamu tak akan hilang seketika
Meski aku tahu kalau maafku tak akan mengubah semuanya
Tapi izinkanlah aku memperbaiki semua dengan cintaku…

Evan


***

Hujan itu masih sama seperti yang dilihan Deara dari jendela kamarnya hampir setahun yang lalu. Tak ada yang berubah. Yah… kecuali perasaannya. Setahun yang lalu, ketika melihat hujan itu yang ada dalam benak Deara hanyalah kebahagiaan. Tiap kali melihat hujan, yang muncul dalam ingatannya adalah momen-momen saat Evan menyatakan cintanya padanya dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Momen-momen berharga yang tak akan pernah Deara lupakan, meski sekarang momen itu sayangnya harus dirusak oleh kenangan buruk lain tentang hujan yang membuat perasaan Deara berubah. Kini, tiap kali melihat hujan bukanlah senyum yang ada di wajah gadis dua puluh empat tahun lalu, melainkan kernyitan dan ringisan. Seolah Deara tengah menahan perih dari luka yang kasat mata. Luka yang di torehkan Evan beberapa minggu yang lalu.
Deara memejamkan mata, ingin melupakan kenangan buruk itu dan memaafkannya, merelakannya dan melupakannya. Namun ada perbedaan yang sungguh signifikan dari memaafkan dan melupakan. Ketika kita memaafkan seseorang, kita tidak lantas melupakan apa yang telah orang itu perbuat pada kita, tapi sebaliknya, jika kita melupakan maka artinya kita juga memaafkan. Tapi melupakan bukan hal yang mudah. Dibutuhkan lebih dari beberapa minggu untuk melupakan semuanya. Dibutuhkan mungkin bertahun-tahun untuk menghapus kenangan pahit itu tiap kali Deara memejamkan matanya.

***
Hari masih terlalu pagi saat Deara menyelesaikan masakannya. Masakan yang ia buat sejak pagi buta demi menyenangkan hati Evan yang secara tidak langsung berulang kali meminta Deara untuk membuatkannya bekal dan sekarang di hari jadi mereka yang ke sebelas bulan, Deara akan menjadikan nasi goring sosis spesialnya ini sebagai kejutan untuk Evan.
Sambil menyunggingkan senyum lebar, Deara menghiasi nasi goring itu. Membentuk mata, mulut dan hidung dengan sayuran yang ada sebelum menutup kota bekal yang sudah sejak seminggu lalu itu di belinya. Deara benar-benar puas. Pagi ini rencananya ia akan berangkat pagi-pagi sekali dan mampir ke rumah Evan untuk memberikan bekal ini agar Evan bisa memakannya ketika makan siang nanti.
Usai menyiapkan bekal istimewanya, Deara yang memang sudah siap dengan setelannya meraih tas tangannya dan berjalan dengan langkah anggun keluar rumah dimana mamanya yang sudah mengenakan pakaian santai tengah menyirami bunga-bunga kesayangan beliau.
“Hai sayang… bagaimana nasi gorengnya?” sapa wanita paruh baya itu dengan wajah cerah. Sejak Deara berkerja di sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang cukup bersar hampir dua tahun yang lalu, Deara meminta mamanya untuk pensiun dini dan menikmati hidup mengingat sejak papanya meninggal, mamanya lah yang banting tulang membiayai hidup dan sekolah Deara dan bagi Deara, sekaranglah waktu yang tepat untuk membalas semua jasa mamanya. Walaupun pada awalnya mamanya sempat menentang ide itu, tapi pada akhirnya wanita paruh baya dengan kepribadian lembut itu menuruti permintaan Deara dan inilah kegiatannya sehari-hari sekarang, berkebun dan menikmati masa tuanya dengan merawat tanaman-tanaman hijau kesukaannya.
“Beres, ma. Doain enak ya,” jawab Deara dengan senyum lebar sambil mengampiri mamanya. “Deara berangkat dulu ya, ma,” pamit Deara sambil mencium tangan mamanya.
“Pasti mama doakan. Hati-hati di jalan ya, nak,” ujar mamanya lembut.

***

Deara membelokkan audi infiniti kesayangannya, hadiah ulang tahun ke-20 dari mamanya, masuk ke halaman rumah Evan yang gerbangnya sudah terbuka lebar, tidak seperti biasanya. Jam baru menunjukkan pukul enam. Biasanya Evan baru akan beraktivitas pukul setengah tujuh atau pukul tujuh dan di jam-jam itulah gerbang rumah bergaya minimalis ini baru terbuka. Meskipun merasa aneh, Deara berusaha tidak ambil pusing dengan keanehan barusan dan mematikan mesin mobilnya. Deara bahkan sempat mematut diri di cermin ketika hendak keluar dari mobilnya.
Sambil menyunggingkan senyum lebarnya, Deara melangkahkan kakinya yang telah dibungkus sepatu high heels hitam yang menambah anggun penampilannya. Masih dengan menyunggingkan senyum, Deara memasukkan kunci rumah Evan yang diberikan lelaki itu empat bulan yang lalu tapi ketika Deara berusaha memasukkan kunci itu kelubangnya, kunci itu menolak masuk seolah ada sesuatu yang menghalanginya. Dengan dahi berkerut penasaran, Deara memutar kenop pintu dengan pelan dan terkejut ketika Deara mendapati pintu tidak terkunci dengan kuncinya menggantung dilubang kunci bagian dalam. Mengendap-endap, Deara memasuki rumah Evan yang seolah sudah terjamah, padahal sebelumnya, Evan pasti belum bangun pukul enam pagi seperti dan semua itu justru semakin menambah kecurigaan Deara.
Deara menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat akan berbelok dan memasuki dapur. Ada suara dua orang yang tengah bercakap-cakap, laki-laki dan perempuan. Deara mengenali suara si laki-laki sebagai suara Evan, tapi suara perempuan itu… Deara tidak mengenalinya. Lagipula setahu Deara, Evan tinggal sendiri disini. Orang tua Evan tinggal diluar kota dan tidak mungkin pagi-pagi kesini ibu Evan sudah sampai disini bukan? Lagipula tidak ada mobil lain yang parkir di halaman depan. Deara memasang telinganya baik-baik. Tak peduli jika nuraninya menjerit memintanya untuk pergi karena tidak sopan mendengar percakapan orang, Deara mengabaikannya dan berusaha mendengarkan percakapan Evan itu dengan baik.
“Maaf sudah membangunkanmu pagi-pagi begini, Van,” ujar si perempuan setelah diam cukup lama dan hanya terdengar suara seseorang tengah menyesap minuman. Deara bisa mendengar Evan mengela napas cukup berat.
“Aku harap kamu datang setahun yang lalu, Helen. Kalau saja kamu datang setahun yang lalu, mungkin semuanya tidak akan serumit ini,” gumam Evan yang jelas-jelas terdengar begitu stress dan tertekan.
“Apakah ada orang lain, Van?” tanya wanita bernama Helen itu tampak terluka.
“Helena…” desah Evan.
Helena. Nama itu terdengar cukup familier di telinga Deara. Mencoba menggali-gali di tumpukan ingatannya, Deara memacu otaknya untuk mengingat nama yang terdengar familier itu karena entah mengapa firasatnya mengatakan kalau ia sangat mengenal nama itu.
“Kamu sudah pergi selama dua tahun tanpa memberi kabar. Apa kamu berharap aku masih menunggumu dengan setia?”
Deara berjengit mendengar nada tajam dalam pertanyaan penuh sarkasme yang baru saja diajukan oleh Evan. Pergi selama dua tahun? Kata-kata itu terngiang dalam pikiran Deara, seolah kata-kata itu adalah petunjuk yang harus di pecahkan. Setelah hampir lima menit berpikir dan membiarkan perbincangan itu berlalu begitu saja, Deara akhirnya tahu siapa Helena dan perasaannya langsung berubah menjadi tidak enak dan was-was karena Helena adalah mantan kekasih Evan yang meninggalkan Evan begitu saja tanpa kabar dan pesan dua tahun yang lalu.
“Aku minta maaf, Van. Aku sungguh minta maaf,” air mata menghiasi suara Helena yang terdengar serak dan parau.
“Sudahlah… Helena.” Gumam Evan yang mendadak terdengar lelah. “tidak ada gunanya minta maaf. Toh aku sudah menentukan pilihanku,”
Deara yang masih setia di tempat persembunyiannya mengulum senyum. Iya yakin kalau dirinya lah yang akan dipilih Evan. Lagipula Helena sudah meninggalkannya tanpa meninggalkan pesan atau kabar selama dua tahun. Tidak mungkin kan kalau Evan akan memilih Helena.
“Siapa yang akan kamu pilih, Van? Aku atau kekasihmu?” tanya Helena penuh antisipasi, begitu juga Deara yang semakin fokus mendengarkan percakapan Helena dan Evan. Untuk kedua kalinya terdengar helaan napas lelah Evan.
“tentu saja aku memilih…” kalimat Evan terhenti beberapa saat membuat Deara dan juga Helena sama-sama menahan napas. “aku memilih kamu, Helena. Selalu kamu,” lanjut Evan mantap. Terkesiap, Deara tanpa sadar melepaskan tas kertas tempat ia menyimpan bekal yang ia siapkan untuk Evan lengkap dengan kartu ucapan didalamnya dan membuat kotak bekal itu jatuh di lantai keramik dengan suara berisik yang langsung menarik perhatian Evan dan Helena yang tengah bertatapan dengan penuh cinta didapur. Tergopoh-gopoh baik Evan dan Helena langsung menghambur keluar dari dapur, dan betapa terkejutnya Evan ketika ia melihat Deara berdiri di sebelah kotak bekal yang memuntahkan isinya di lantai dengan muka pucat yang berlinang air mata.
“Deara!” pekik Evan syok, sementara Helena hanya bisa mematung dibelakang Evan. Sebelum Evan sempat bereaksi, Deara yang sudah bisa menguasai keterkejutannya langsung menghambur keluar dari rumah bergaya minimalis itu dan melompat masuk kedalam mobilnya sebelum melajukan mobil yang terbilang mewah itu dengan kecepatan tinggi, mengabaikan teriakan Evan dibelakangnya.

***

Deara menghapus setetes air mata yang berhasil keluar dan membobol perthanannya, sambil berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan buruk itu, Deara kembali menatap hujan yang turun deras diluar sana. Tapi rupanya, melihat hujan sama sekali tidak membantu karena hujan hanya mengingatkannya pada hujan yang turun dengan deras ketika Deara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dari rumah Evan, mengiringi air matanya yang tumpah begitu saja.
Evan…
Begitu Deara merindukan nama itu. Dulu, ketika mereka masih bersama, ketika Helena belum kembali dalam hidup Evan, hubungan mereka begitu sempurna. Evan memuja Deara, begitu juga sebaliknya. Di setiap kesempatan yang ada, baik Evan maupun Deara selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Mereka tidak pernah bertengkar, mereka saling memahami. Hubungan mereka berjalan dengan mulus, baik-baik saja bahkan hampir membosankan. Deara menghela napas, satu lagi faktor lain yang ia temukan tanpa sengaja tiap kali ia mengingat-ingat masa lalu dengan Evan. Faktor lain yang justru membuatnya semakin memburuk karena faktor-faktor itu datang darinya. Semua kesalahan itu datang dari dirinya sendiri. Mungkin karena itu memaafkan Evan menjadi hal yang begitu mudah meski sampai hari ini, Deara belum bisa melupakan apa yang telah dilakukannya padanya dan pada hubungan mereka.

***

“Aku mohon, Deara, setidaknya tolong baca surat ini. ia benar-benar menderita sekarang,” gumam Karen, sepupu Evan yang cukup dekat dengan Deara selama ia dan Evan masih bersama dulu. Dengan enggan Deara meraih selembar kertas yang hanya dilipat menjadi dua tanpa ada amplop tanpa ada tulisan di sisi luar. Hanya sebuah kertas polos yang didalamnya menyimpan tulisan-tulisan tangan Evan, lelaki yang dulu pernah dan sampai sekarang dicintainya.
“Kenapa Evan tidak menyerahkan surat ini sendiri?” tanya Deara, mengeluarkan suara untuk pertama kalinya sejak gadis itu datang dan mendengarkan penjelasan Karen tentang betapa mengenaskannya sepupunya sekarang. Menyesali keputusannya sendiri dan meninggalkan Helena serta menghukum dirinya sendiri. Sebenarnya Deara ingin mempercayai semua itu, tapi mengingat Evan tak sampai sehancur itu ketika Helena pergi meninggalkannya, Deara pesimis kalau ia bisa menimbulkan efek seperti itu pada Evan. Bahkan kalau seandainya pun ia sehebat itu hingga bisa membuat Evan kacau, bukankah saat itu seharusnya yang dipilih Evan adalah dirinya, bukan Helena?
“Evan tidak pernah berniat memberikan surat itu sama kamu, De. Tanpa sengaja aku memergoki Evan menulis surat itu ketika aku mengunjunginya beberapa hari yang lalu dan ketika aku tanya kenapa ia tidak memberikan surat itu sama kamu, dia menjawab kalau dia bahkan nggak pantas mendapatkan maaf dari kamu,” jelas Karen dengan keprihatinan yang terdengar jelas dari suaranya.
Deara mengela napas. Ia tidak bisa memutuskan semua itu sekarang. Ia butuh waktu untuk memikirkan semuanya. “Terimakasih, Karen. Aku akan mempertimbangkannya,”

***

Lagi, Deara menyeka air matanya. Sekarang ia merasa benar-benar brengsek. Setelah mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengan dirumah Evan, lelaki itu memang berusaha mencarinya beberapa kali, mencoba untuk menjelaskan semuanya, tapi Deara, yang saat itu tengah benar-benar marah memutuskan untuk mengabaikan Evan. Membiarkan lelaki itu berkubang dalam lukanya sendiri.
Namun mungkinkah Evan benar-benar mencintainya?
Kalau iya, kenapa ia memilih Helena dari pada dirinya?
Pertanyaan it uterus berputar-putar dalam diri Deara. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Sejak Karen memberikan surat itu hampir seminggu yang lalu, Deara masih tidak bisa mengambil keputusan. Di satu sisi ia benar-benar merasa terluka dan belum bisa melupakan luka itu meski ia sudah memaafkan Evan, tapi disisi lain ia benar-benar merindukan Evan. Setiap malam hatinya memanggil nama cowok itu, berharap wajah Evan akan muncul di layar laptopnya, berbicara face to face dengannya lewat video call. Namun semua itu sudah berlalu dan Deara tidak yakin akan meraih masa lalu itu dan menariknya kembali atau melepaskan masa lalu itu dan mengikhlaskannya.

***

Hari ke-37 tanpa Deara.
Ketika alarm-nya berbunyi pukul tujuh pagi seperti biasa, Evan benar-benar sudah kehilangan semangatnya untuk menjalani hari, padahal hari baru saja di mulai. Orang-orang diluar sana pasti mengawali harinya dengan oenuh semangat, tapi Evan justru sudah kehilangan semangatnya. Yang ingin ia lakukan hanyalah berbaring disini sendirian dan menghukum dirinya.
Hari itu Evan memang memilih Helena, tapi ia benar-benar menyesali pilihannya. Seharusnya ia memikirkan semuanya matang-matang terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu dan sialnya, sekarang Evan benar-benar merasa menyesal. Tak perlu menunggu cukup lama untuk menyadari bagaimana perasaannya yang sesungguhnya, begitu Deara pergi dengan keadaan kalut, Evan langsung menyuruh pergi Helena dan mengatakan pada wanita itu kalau Evan telah salah memilih. Kalau ia seharusnya memilih Deara, kalau ia baru menyadarinya sekarang.
Dengan jengkel Evan menarik kembali selimutnya dan memejamkan matanya. Evan terlalu fokus pada rasa sakitnya hingga ia sama sekali tidak mendengar suara deru mobil yang berhenti di pekarangan rumahnya, juga suara pintu yang terbuka bahkan Evan tak menyadari ketika ada orang yang masuk ke dalam kamarnya hingga orang itu mengecup pipi Evan dengan lembut.
Terkesiap, Evan langsung bangkit dan terkejut siapa yang datang pagi-pagi begini dan menciupnya.
“Selamat pagi, sayang…” sapa Deara dengan senyum lebar yang langsung membuat Evan ikut menyunggingkan senyum tak kalah lebarnya.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar