“Jadi… mau kamu kasih
nama apa ikan-ikan ini?” tanya Gilang seraya mengangkat sebuah kantong plastik
yang didalamnya terdapat dua ikan mas yang sedang berenang. Renata menatap
ikan-ikan itu dengan seksama, memperhatikan dua makhluk cantik yang tengah
berenang bersama seolah tengah berdansa, mengingatnya pada satu scene film yang
begitu menyentuh hatinya.
“Gimana kalau Romeo
sama Juliet?” usul Renata seraya menyunggingkan seulas senyum. Ya… Rome dan
Juliet. Ikan-ikan itu mengingatkannya pada satu adegan dimana Romeo pertama
kali bertemu dengan Juliet dan mereka berdansa bersama.
“Kamu yakin?” tanya
Gilang seraya mengernyitkan keningnya.
Renata ikut
mengernyitkan keningnya dan mendongak menatap Gilang yang memang jauh lebih
tinggi darinya. “Kenapa memangnya?” tanya Renata penasaran. Biasanya Gilang
selalu mengiyakan saja semua usulnya. Jarang sekali pacarnya itu mempertanyakan
keinginannya.
“Ya kan kamu tahu
sendiri Romeo dan Juliet itu nggak pernah bisa bersatu. Nama mereka selalu
disandingkan, tapi mereka nggak pernah bisa bersama. Apa kamu nggak takut kita
kayak gitu? Maksudku…”
Sebelum Gilang
menyelesaikan penjelasannya, Renata sudah terkikik geli. Ia tidak menyangka
bahwa pacarnya yang menjunjung tinggi logika akan berpikirian seprimitif itu.
Menyentuh memang, mengingat kalau Gilang hanya khawatir mereka tidak bisa
bersama. Tapi lucu sekali melihat Gilang yang biasa sangat rasional dan
menjunjung tinggi logika itu kini justru kehilangan logikanya.
“Gilang sayang…” gumam
Renata seraya menyentuh tangan Gilang lembut sebelum cowok itu sempat memprotes
kikikan geli Renata. “Kamu percaya kan sama takdir?” tanya Renata. Gilang
mengangguk pelan. Matanya fokus menatap Renata lekat-lekat. “Kalau kamu percaya
sama takdir, berarti kamu harus percaya walaupun kita ngasih nama ikan-ikan ini
Romeo dan Juliet, kalau memang Tuhan menuliskan takdir kita untuk bersama, aku
percaya, kita akan bersama.”
Kini gilirian Gilang
yang menyunggingkan seulas senyum sayang dan dengan lembut, tak peduli kalau
mereka tengah berada didepan umum, Gilang mengulurkan tanggannya dan mengacak
rambut pendek Renata dengan sayang yang langsung disambut gelak tawa dari
Renata.
“See…inilah yang bikin
aku cinta banget sama kamu,” gumam Gilang seraya menatap Renata dengan penuh
cinta.
Dengan napas tersengal,
Renata terbangun dari tidurnya. Seraya mengatur napasnya yang memburu, Renata
duduk dan bersandar dikepala ranjang seraya menyentuh wajahnya yang basah.
Lagi. Ia memimpikan hal yang sama dan menangis dalam tidurnya. Dengan enggan Renata
mengulurkan tangannya dan menekan saklar lampu tidurnya dan membuat kamarnya
yang semula gelap gulita kini disinari cahaya kekuningan lembut yang berasal
dari lampu tidurnya. Tapi Renata salah memperhitungkan semuanya, menyalakan
lampu sama sekali tidak membuatnya terlepas dari mimpi buruk, menyalakan lampu
justru membawanya kedalam mimpi buruk itu sendiri. Kamarnya, yang kini
remang-remang dengan hanya penerangan dari lampu tidur, tampak kosong dengan
kardus-kardus berisi barang-barangnya tertumpuk di satu sudut, menunggu untuk
diangkut. Sementara dilemarinya, tergantung sebuah gaun berwarna pink pucat
semata kakinya yang sudah menunggu ia kenakan keesokan harinya di pesta
pernikahan Gilang.
Sambil menelan ludah
dengan susah payah, Renata mengalihkan pandangannya dari gaun pink pucat hadiah
dari Gilang yang seharusnya menjadi gaun di pesta pertunangannya kearah nakas
disamping tempat tidurnya. Namun lagi-lagi itu bukan tindakan yang bijaksana,
karena diatas nakas itu, tergeletak sebuah undangan berwarna merah marun dengan
desain elegan yang diatasnya tertulis nama Gilang dan calon istrinya dengan
huruf yang juga elegan dari tinta perak yang seolah berkilau dalam gelap. Tanpa
sadar, air mata yang tadi sudah ia hapus, kini kembali menetes dan membasahi pipinya
yang pucat, sepucat pualam.
Meredam sedu sedannya,
Renata menutup mukanya dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu disana.
Seharusnya mala mini ia belajar berdama dengan hatinya. Besok Gilang akan
menjadi milik orang lain. Tidak pantas rasanya ia masih menangisi laki-laki
itu, apalagi memimpikan momen manis terakhir yang mereka miliki sebelum
akhirnya mereka berpisah. Tapi, tak peduli seberapa keras pun usaha Renata
untuk berdamai dengan hatinya, ia tak pernah sanggup untuk melakukannya. Apalagi
dengan mimpi itu yang selalu mendatanginya tiap malam, mengubah kenangan manis
yang ia miliki dengan Gilang menjadi sebuah kepahitan yang mengingatkannya akan
perpisahannya.
Mungkinkah
karena nama Romeo dan Juliet itu?
Sering tanya itu
muncul, apalagi disaat-saat seperti ini. Renata selalu mereka kalau nama Romeo
dan Juliet yang ia berikan kepada ikan-ikan mas yang dibelinya bersama Gilang
dimomen manis terakhir mereka lah yah menyebabkan berpisah, bukan jurang
perbedaan yang membentang didepannya. Seharusnya Renata tahu dari awal, kalau
nama yang ia berikan pada ikan-ikan itu tidak memiliki pengaruh apapun, toh
sekarang ikan-ikan itu pun sudah mati. Seharusnya Renata mengerti kalau sejak
awal hubungannya dengan Gilang tidak akan berhasil, tidak akan pernah. Bukan
karena kedua keluarga mereka bermusuhan. Tidak… tidak seperti itu. Melainkan
karena ia dan Gilang terlalu berbeda dan seharusnya Renata mengerti itu.
“Seharusnya…” gumam
Renata di antara sedu sedannya.
Gaun pink pucat panjang
yang menjuntai hingga mata kakinya itu membalut tubuh Renata dengan begitu
manis. Dengan paduan heels hitam setinggi tujuh senti dan rambutnya yang
dikepang perancis yang kini menjuntai lembut dibahu kirinya membuat penampilan
Renata benar-benar elegan. Hanya saja, tampilan cantik itu harus ternodai
dengan matanya yang tampak sedikit bengkak dan merah, sisa tangis semalam.
“Kamu sudah siap?”
tanya mamanya yang melongok masuk kedalam kamarnya. Begitu melihat penampilan
putrinya, wanita paruh baya itu terkesiap dan setetes air mata lolos dari sisi
matanya yang sudah sedikit berkerut. “Coba mama lihat betapa cantiknya kamu”
gumam wanita paruh baya itu seraya menahan kesedihannya.
Renata berbalik dan
mengadap mamanya sambil menyunggingkan seulas senyum sedih. Renata tahu,
mamanya tak pernah menginginkan ia dan Gilang berpisah, tak pernah. “Bagaimana
menurut mama?” tanya Renata berusaha santai meski saat itu hatinya tengah remuk
redam. Wanita paruh baya itu menyeka air matanya dengan tergesa-gesa dengan
berjalan menghampiri putri tunggalnya itu sebelum memeluknya dengan erat dan
penuh cinta.
“Cantik sekali. Sama
cantiknya dengan wanita mana pun yang dia pilih. Jauh lebih cantik malah,”
Renata balas memeluk
mamanya, mencoba tersenyum pada komentar menghibur itu. “Makasih ya ma, mama selalu
ada untuk aku,” gumam Renata lembut seraya menarik dirinya. “Kayaknya Nata
harus berangkat sekarang deh ma, Nata nggak mau ngelewatin sesi foto bareng,”
pamit Renata yang sengaja ia selipi dengan gurauan dengan harapan kalau suasana
hatinya maupun suasana hati mamanya akan sedikit cerah. Tapi rupanya hal itu
sama sekali tidak mengganggu. Kesedihan tetap menggantung diantara ibu dan anak
itu.
“Hati-hati ya sayang,
telpon mama kalau kamu membutuhkan sesuatu,” pesan wanita paruh baya itu
sebelum melepas kepergian putrinya.
Terlalu
indah, gumam Renata kecut saat ia melangkah masuk ke
dalam ballroom hotel tempat resepsi pernikahan Gilang dilaksanakan. Pesta
pernikahan itu bernuansa putih yang tampak begitu indah, menyilaukan dan bagi
Renata, menyesakkan. Dengan penuh perjuangan, Renata langsung berjalan menuju
antrian panjang orang-orang yang hendak memberikan selamat pada sepasang
mempelai yang berdiri di tengah pelaminan itu. Mereka berdua mengenakan kebaya
putih yang tampak serasi dan indah. Renata tidak berniat bercengkerama atau
beramah-tamah dengan siapapun sekarang. Yang ia inginkan hanya segera pergi
dari tempat ini begitu ia bisa mengucapkan selamat secara langsung kepada kedua
mempelai.
Antrian berjalan cukup
cepat dan Renata bersyukur ia tak perlu bertemu dengan salah satu teman atau
pun kenalannya saat ini. Ia tak sanggup jika harus berpura-pura tidak tahu
kalau mereka tengah menatapnya prihatin.
“Selamat ya,” gumam
Renata seraya menyunggingkan seulas senyum ketika tangannya menjabat sebuah
tangan halus milik seorang perempuan berkerudung yang kini resmi menjadi istri
sah Gilang. Perempuan itu mengamatinya sekilas, dan dari kilatan matanya,
Renata berani bertaruh kalau wanita soleha bermuka cantik ini mengenalinya
sebagai Renata Addega Nareswari, mantan kekasih suaminya.
“Terimakasih,”
perempuan itu yang sampai hari ini namanya sengaja tidak dihapalkan oleh Renata
balas menjabat tangan Renata dan mengguncangnya pelan, membuat sebuah tato
hitam kecil yang dulu ia tatokan di pergelangan tanggannya terlihat karena
lengan gaunnya sedikit tersingkap.
Setelah mengucapkan
selamat dengan canggung pada perempuan soleha cantik itu, kini Renata beralih
pada Gilang, satu hal yang sangat sulit ia lakukan. Gilang tampak jauh lebih
terkejut saat melihatnya mengenakan gaun pink pucat hadiah darinya yang kata
Renata akan ia kenakan pada hari pertunangan mereka.
“Felicitation ya buddy.
Selamat,” gumam Renata kaku. Gilang tersenyum kaku sebelum membalik tangan
Renata dan memperlihatkan tato kecilnya yang ada dipergelangan tangannya.
Sebuah tato salip kecil mengintip dari balik lengan baju Renata sementara
kalung perak berliontin salib tergantung di lehernya.
“terimakasih sudah
datang, dan terimakasih juga sudah mau berdamai dengan hatiku,” gumam Gilang
hati-hati, menjaga jarak, karena ia tahu, tepat disebelahnya, wanita soleha
cantik yang kini menjadi istrinya itu tengah mendengarkan apapun yang mereka
katakan.
“Asal kamu tahu… aku
nggak pernah berdamai dengan hatiku, seperti Tuhan-ku dan juga Tuhan-mu yang
tidak mentakdirkan kita bersama dan berdamai dengan keadaan,” sindir Renata
tajam.
Gilang tertunduk, malu
luar biasa. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa pada Renata karena pada
kenyataannya bukan Renata yang menyerah pada perbedaan mereka, tapi Gilang-lah
yang melakukannya dan meninggalkan Renata begitu saja.
“Aku minta maaf,” gumam
Gilang penuh sesal.
Melihat penyesalan
Gilang membuat Renata menyerah. Ia tidak bisa lagi. Ia tidak sanggup melihat
Gilang menderita seperti ini, tapi disisi lain, ia senang melihat Gilang
menyesali keputusannya.
“Sudahlah… lupakan
saja. Istrimu yang soleha dan cantik ini berhak memiliki kamu sepenuhnya.”
Nasihat Renata yang entah kenapa tiba-tiba merasa hatinya begitu ringan dan
damai. Mungkinkah dengan menerima kenyataan membuatnya berdamai juga dengan
hatinya.
“Terimakasih, Nata. Aku
berharap semoga Allah memberikanmu yang terbaik,” gumam Gilang tulus.
“Amiin. Terimakasih,
lang. Semoga Allah terus menjaga kalian,” balasnya. Tepat sebelum Renata
meninggalkan pelaminan, Renata mengerling pada perempuan soleha dengan paras
cantik dan kerudung yang membingkai wajahnya yang lembut. Mendadak hati Renata
terasa teduh, sekarang Renata mengerti kenapa Gilang bisa memutuskan menikah
dengan perempuan ini jauh lebih cepat dari pada Gilang memutuskan untuk
berpisah. Bukan karena wajah cantiknya, melainkan karena kecantikan hatinya.
Renata mengerti sekarang, perempuan soleha itulah yang selama ini dicari
Gilang. Perempuan muslim yang soleha yang bisa menjadi makmumnya, tidak seperti
Renata atau lebih tepatnya, bukan Renata.
Dengan hati yang jauh
lebih teduh, Renata melangkahkan kakinya keluar dari ballroom hotel. Sudah
saatnya mengemasi barangnya dari kota ini dan kembali kekampung halamannya. Kembali
kekampung halaman dimana keluarga dan seseorang yang selama ini begitu sabar
menemaninya menunggunya. Menunggunya untuk pulang dan berdamai dengan hatinya.
Tepat ketika Renata
sudah berada diluar hotel, ponselnya berdering. Sebuah nama berkedip-kedip di
layar ponselnya. Tanpa pikir panjang, Renata mengangkat telpon itu dan
menempelkannya ditelinga.
“Halo, Christian. Ya…
aku akan pulang. Tunggu aku disana…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar