Rabu, 16 April 2014

The Difference


“Jadi… mau kamu kasih nama apa ikan-ikan ini?” tanya Gilang seraya mengangkat sebuah kantong plastik yang didalamnya terdapat dua ikan mas yang sedang berenang. Renata menatap ikan-ikan itu dengan seksama, memperhatikan dua makhluk cantik yang tengah berenang bersama seolah tengah berdansa, mengingatnya pada satu scene film yang begitu menyentuh hatinya.
“Gimana kalau Romeo sama Juliet?” usul Renata seraya menyunggingkan seulas senyum. Ya… Rome dan Juliet. Ikan-ikan itu mengingatkannya pada satu adegan dimana Romeo pertama kali bertemu dengan Juliet dan mereka berdansa bersama.

“Kamu yakin?” tanya Gilang seraya mengernyitkan keningnya.
Renata ikut mengernyitkan keningnya dan mendongak menatap Gilang yang memang jauh lebih tinggi darinya. “Kenapa memangnya?” tanya Renata penasaran. Biasanya Gilang selalu mengiyakan saja semua usulnya. Jarang sekali pacarnya itu mempertanyakan keinginannya.
“Ya kan kamu tahu sendiri Romeo dan Juliet itu nggak pernah bisa bersatu. Nama mereka selalu disandingkan, tapi mereka nggak pernah bisa bersama. Apa kamu nggak takut kita kayak gitu? Maksudku…”
Sebelum Gilang menyelesaikan penjelasannya, Renata sudah terkikik geli. Ia tidak menyangka bahwa pacarnya yang menjunjung tinggi logika akan berpikirian seprimitif itu. Menyentuh memang, mengingat kalau Gilang hanya khawatir mereka tidak bisa bersama. Tapi lucu sekali melihat Gilang yang biasa sangat rasional dan menjunjung tinggi logika itu kini justru kehilangan logikanya.
“Gilang sayang…” gumam Renata seraya menyentuh tangan Gilang lembut sebelum cowok itu sempat memprotes kikikan geli Renata. “Kamu percaya kan sama takdir?” tanya Renata. Gilang mengangguk pelan. Matanya fokus menatap Renata lekat-lekat. “Kalau kamu percaya sama takdir, berarti kamu harus percaya walaupun kita ngasih nama ikan-ikan ini Romeo dan Juliet, kalau memang Tuhan menuliskan takdir kita untuk bersama, aku percaya, kita akan bersama.”
Kini gilirian Gilang yang menyunggingkan seulas senyum sayang dan dengan lembut, tak peduli kalau mereka tengah berada didepan umum, Gilang mengulurkan tanggannya dan mengacak rambut pendek Renata dengan sayang yang langsung disambut gelak tawa dari Renata.
“See…inilah yang bikin aku cinta banget sama kamu,” gumam Gilang seraya menatap Renata dengan penuh cinta.

Dengan napas tersengal, Renata terbangun dari tidurnya. Seraya mengatur napasnya yang memburu, Renata duduk dan bersandar dikepala ranjang seraya menyentuh wajahnya yang basah. Lagi. Ia memimpikan hal yang sama dan menangis dalam tidurnya. Dengan enggan Renata mengulurkan tangannya dan menekan saklar lampu tidurnya dan membuat kamarnya yang semula gelap gulita kini disinari cahaya kekuningan lembut yang berasal dari lampu tidurnya. Tapi Renata salah memperhitungkan semuanya, menyalakan lampu sama sekali tidak membuatnya terlepas dari mimpi buruk, menyalakan lampu justru membawanya kedalam mimpi buruk itu sendiri. Kamarnya, yang kini remang-remang dengan hanya penerangan dari lampu tidur, tampak kosong dengan kardus-kardus berisi barang-barangnya tertumpuk di satu sudut, menunggu untuk diangkut. Sementara dilemarinya, tergantung sebuah gaun berwarna pink pucat semata kakinya yang sudah menunggu ia kenakan keesokan harinya di pesta pernikahan Gilang.
Sambil menelan ludah dengan susah payah, Renata mengalihkan pandangannya dari gaun pink pucat hadiah dari Gilang yang seharusnya menjadi gaun di pesta pertunangannya kearah nakas disamping tempat tidurnya. Namun lagi-lagi itu bukan tindakan yang bijaksana, karena diatas nakas itu, tergeletak sebuah undangan berwarna merah marun dengan desain elegan yang diatasnya tertulis nama Gilang dan calon istrinya dengan huruf yang juga elegan dari tinta perak yang seolah berkilau dalam gelap. Tanpa sadar, air mata yang tadi sudah ia hapus, kini kembali menetes dan membasahi pipinya yang pucat, sepucat pualam.
Meredam sedu sedannya, Renata menutup mukanya dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu disana. Seharusnya mala mini ia belajar berdama dengan hatinya. Besok Gilang akan menjadi milik orang lain. Tidak pantas rasanya ia masih menangisi laki-laki itu, apalagi memimpikan momen manis terakhir yang mereka miliki sebelum akhirnya mereka berpisah. Tapi, tak peduli seberapa keras pun usaha Renata untuk berdamai dengan hatinya, ia tak pernah sanggup untuk melakukannya. Apalagi dengan mimpi itu yang selalu mendatanginya tiap malam, mengubah kenangan manis yang ia miliki dengan Gilang menjadi sebuah kepahitan yang mengingatkannya akan perpisahannya.
Mungkinkah karena nama Romeo dan Juliet itu?
Sering tanya itu muncul, apalagi disaat-saat seperti ini. Renata selalu mereka kalau nama Romeo dan Juliet yang ia berikan kepada ikan-ikan mas yang dibelinya bersama Gilang dimomen manis terakhir mereka lah yah menyebabkan berpisah, bukan jurang perbedaan yang membentang didepannya. Seharusnya Renata tahu dari awal, kalau nama yang ia berikan pada ikan-ikan itu tidak memiliki pengaruh apapun, toh sekarang ikan-ikan itu pun sudah mati. Seharusnya Renata mengerti kalau sejak awal hubungannya dengan Gilang tidak akan berhasil, tidak akan pernah. Bukan karena kedua keluarga mereka bermusuhan. Tidak… tidak seperti itu. Melainkan karena ia dan Gilang terlalu berbeda dan seharusnya Renata mengerti itu.
“Seharusnya…” gumam Renata di antara sedu sedannya.

Gaun pink pucat panjang yang menjuntai hingga mata kakinya itu membalut tubuh Renata dengan begitu manis. Dengan paduan heels hitam setinggi tujuh senti dan rambutnya yang dikepang perancis yang kini menjuntai lembut dibahu kirinya membuat penampilan Renata benar-benar elegan. Hanya saja, tampilan cantik itu harus ternodai dengan matanya yang tampak sedikit bengkak dan merah, sisa tangis semalam.
“Kamu sudah siap?” tanya mamanya yang melongok masuk kedalam kamarnya. Begitu melihat penampilan putrinya, wanita paruh baya itu terkesiap dan setetes air mata lolos dari sisi matanya yang sudah sedikit berkerut. “Coba mama lihat betapa cantiknya kamu” gumam wanita paruh baya itu seraya menahan kesedihannya.
Renata berbalik dan mengadap mamanya sambil menyunggingkan seulas senyum sedih. Renata tahu, mamanya tak pernah menginginkan ia dan Gilang berpisah, tak pernah. “Bagaimana menurut mama?” tanya Renata berusaha santai meski saat itu hatinya tengah remuk redam. Wanita paruh baya itu menyeka air matanya dengan tergesa-gesa dengan berjalan menghampiri putri tunggalnya itu sebelum memeluknya dengan erat dan penuh cinta.
“Cantik sekali. Sama cantiknya dengan wanita mana pun yang dia pilih. Jauh lebih cantik malah,”
Renata balas memeluk mamanya, mencoba tersenyum pada komentar menghibur itu. “Makasih ya ma, mama selalu ada untuk aku,” gumam Renata lembut seraya menarik dirinya. “Kayaknya Nata harus berangkat sekarang deh ma, Nata nggak mau ngelewatin sesi foto bareng,” pamit Renata yang sengaja ia selipi dengan gurauan dengan harapan kalau suasana hatinya maupun suasana hati mamanya akan sedikit cerah. Tapi rupanya hal itu sama sekali tidak mengganggu. Kesedihan tetap menggantung diantara ibu dan anak itu.
“Hati-hati ya sayang, telpon mama kalau kamu membutuhkan sesuatu,” pesan wanita paruh baya itu sebelum melepas kepergian putrinya.

Terlalu indah, gumam Renata kecut saat ia melangkah masuk ke dalam ballroom hotel tempat resepsi pernikahan Gilang dilaksanakan. Pesta pernikahan itu bernuansa putih yang tampak begitu indah, menyilaukan dan bagi Renata, menyesakkan. Dengan penuh perjuangan, Renata langsung berjalan menuju antrian panjang orang-orang yang hendak memberikan selamat pada sepasang mempelai yang berdiri di tengah pelaminan itu. Mereka berdua mengenakan kebaya putih yang tampak serasi dan indah. Renata tidak berniat bercengkerama atau beramah-tamah dengan siapapun sekarang. Yang ia inginkan hanya segera pergi dari tempat ini begitu ia bisa mengucapkan selamat secara langsung kepada kedua mempelai.
Antrian berjalan cukup cepat dan Renata bersyukur ia tak perlu bertemu dengan salah satu teman atau pun kenalannya saat ini. Ia tak sanggup jika harus berpura-pura tidak tahu kalau mereka tengah menatapnya prihatin.
“Selamat ya,” gumam Renata seraya menyunggingkan seulas senyum ketika tangannya menjabat sebuah tangan halus milik seorang perempuan berkerudung yang kini resmi menjadi istri sah Gilang. Perempuan itu mengamatinya sekilas, dan dari kilatan matanya, Renata berani bertaruh kalau wanita soleha bermuka cantik ini mengenalinya sebagai Renata Addega Nareswari, mantan kekasih suaminya.
“Terimakasih,” perempuan itu yang sampai hari ini namanya sengaja tidak dihapalkan oleh Renata balas menjabat tangan Renata dan mengguncangnya pelan, membuat sebuah tato hitam kecil yang dulu ia tatokan di pergelangan tanggannya terlihat karena lengan gaunnya sedikit tersingkap.
Setelah mengucapkan selamat dengan canggung pada perempuan soleha cantik itu, kini Renata beralih pada Gilang, satu hal yang sangat sulit ia lakukan. Gilang tampak jauh lebih terkejut saat melihatnya mengenakan gaun pink pucat hadiah darinya yang kata Renata akan ia kenakan pada hari pertunangan mereka.
“Felicitation ya buddy. Selamat,” gumam Renata kaku. Gilang tersenyum kaku sebelum membalik tangan Renata dan memperlihatkan tato kecilnya yang ada dipergelangan tangannya. Sebuah tato salip kecil mengintip dari balik lengan baju Renata sementara kalung perak berliontin salib tergantung di lehernya.
“terimakasih sudah datang, dan terimakasih juga sudah mau berdamai dengan hatiku,” gumam Gilang hati-hati, menjaga jarak, karena ia tahu, tepat disebelahnya, wanita soleha cantik yang kini menjadi istrinya itu tengah mendengarkan apapun yang mereka katakan.
“Asal kamu tahu… aku nggak pernah berdamai dengan hatiku, seperti Tuhan-ku dan juga Tuhan-mu yang tidak mentakdirkan kita bersama dan berdamai dengan keadaan,” sindir Renata tajam.
Gilang tertunduk, malu luar biasa. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa pada Renata karena pada kenyataannya bukan Renata yang menyerah pada perbedaan mereka, tapi Gilang-lah yang melakukannya dan meninggalkan Renata begitu saja.
“Aku minta maaf,” gumam Gilang penuh sesal.
Melihat penyesalan Gilang membuat Renata menyerah. Ia tidak bisa lagi. Ia tidak sanggup melihat Gilang menderita seperti ini, tapi disisi lain, ia senang melihat Gilang menyesali keputusannya.
“Sudahlah… lupakan saja. Istrimu yang soleha dan cantik ini berhak memiliki kamu sepenuhnya.” Nasihat Renata yang entah kenapa tiba-tiba merasa hatinya begitu ringan dan damai. Mungkinkah dengan menerima kenyataan membuatnya berdamai juga dengan hatinya.
“Terimakasih, Nata. Aku berharap semoga Allah memberikanmu yang terbaik,” gumam Gilang tulus.
“Amiin. Terimakasih, lang. Semoga Allah terus menjaga kalian,” balasnya. Tepat sebelum Renata meninggalkan pelaminan, Renata mengerling pada perempuan soleha dengan paras cantik dan kerudung yang membingkai wajahnya yang lembut. Mendadak hati Renata terasa teduh, sekarang Renata mengerti kenapa Gilang bisa memutuskan menikah dengan perempuan ini jauh lebih cepat dari pada Gilang memutuskan untuk berpisah. Bukan karena wajah cantiknya, melainkan karena kecantikan hatinya. Renata mengerti sekarang, perempuan soleha itulah yang selama ini dicari Gilang. Perempuan muslim yang soleha yang bisa menjadi makmumnya, tidak seperti Renata atau lebih tepatnya, bukan Renata.
Dengan hati yang jauh lebih teduh, Renata melangkahkan kakinya keluar dari ballroom hotel. Sudah saatnya mengemasi barangnya dari kota ini dan kembali kekampung halamannya. Kembali kekampung halaman dimana keluarga dan seseorang yang selama ini begitu sabar menemaninya menunggunya. Menunggunya untuk pulang dan berdamai dengan hatinya.
Tepat ketika Renata sudah berada diluar hotel, ponselnya berdering. Sebuah nama berkedip-kedip di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang, Renata mengangkat telpon itu dan menempelkannya ditelinga.

“Halo, Christian. Ya… aku akan pulang. Tunggu aku disana…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar