Jangan
pernah berburuk sangka ketika kamu menerima undangan ini
Datanglah
ke tempat kita besok, aku akan menjelaskan semuanya
Daniel
Untuk keempat kalinya
dalam satu jam terakhir aku membaca kembali pesan singkat yang disertakan
Daniel ketika ia mengirimkan undangan pernikahannya ke rumah dua hari yang
lalu. Bukan sesuatu yang mengejutkan memang mengingat bagaimana Daniel, tapi
tetap saja, saat amplop cokelat berisi undangan dan pesan singkat itu sampai di
tanganku, aku butuh waktu semalaman untuk tampil normal lagi, untuk
menyunggingkan senyum yang jauh lebih seperti seringaian. Ibu tidak curiga
begitu juga bapak ketika sore itu aku langsung masuk kamar dan mengurung diriku
disana. Lagipula apa yang harus ibu dan bapak curigai? Daniel bukan
siapa-siapaku. Selama ini mereka mengenalnya sebagai teman baikku, jadi tidak
ada alasan bagi ibu atau pun bapak curiga kalau aku sebenarnya sedang patah
hati, kalau kemarin hatiku hancur berkeping-keping hingga aku tidak bisa
merasakan apapun lagi. Rasanya begitu kebas dan hampa.
Dosen filsafatku masih
menjelaskan panjang lebar tentang sesuatu yang tak pernah kupahami maksudnya
sejak satu jam yang lalu, sementara aku duduk disini, dibagian belakang kelas,
sendirian sambil berulang kali menatap pesan singkat yang dikirimkan Daniel
yang tadi pagi kuselipkan dibelakang binder-ku, tentunya untuk alasan ini.
Sebenarnya jika ditanya aku akan datang atau tidak, maka jawabanku adalah
tidak, maksudku tidak karena aku belum memutuskan. Aku tidak tahu apakah aku
sanggup melangkah ketempat itu, “tempat kita” yang Daniel maksud dan menerima
penjelasannya, kemudian mau tak mau aku harus tampak tegar sementara hatiku luluh
lantak. Lagipula, jika ditanya Daniel itu siapaku hingga aku harus hancur
menerima undangan pernikahannya dan aku harus mendengarkan penjelasan darinya,
maka jawabannya adalah tidak tahu, karena selama bertahun-tahun ini, aku tidak
tahu apa sebenarnya statusku didalam hati Daniel. Dan hebatnya, aku yang
terlalu pengecut ini tak pernah berani menanyakannya, hingga hari ini.
“Fin… nggak balik?”
Tanya Johanna, teman sekelasku, yang langsung membuyarkan lamunanku. Aku
mengedarkan pandangan keseluruh kelas dan mendapati kelas sudah nyaris kosong,
hanya ada aku dan Johanna yang tersisa, entah sudah berapa lama aku melamun
tanpa menyadari kalau kelas sudah usai.
“Iya, ini mau balik,”
dustaku sambil membereskan barang-barangku yang sebenarnya masih rapi dengan
kikuk.
“Kalau gitu aku duluan
ya,” pamit Johanna yang kemudian berlalu. Ketika Johanna menghilang dibalik
pintu, aku menghela napas panjang. Setidaknya aku tidak membuat curiga Johanna
hingga aku harus terpaksa menjelaskan padanya sesuatu yang selama bertahun-tahun
tak pernah kuceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga ataupun sahabatku.
Aku membereskan
barang-barangku dengan lambat dan keluar dari kelas dengan pikiran kosong. Aku
masih belum memutuskan untuk pergi atau tidak. Lagi pula tempat itu sebentar
lagi tak akan menjadi “tempat kita” karena aku yakin, meski tidak sekarang,
suatu hari nanti Daniel pasti akan mengajak wanita itu, wanita yang akan
dinikahinya dengan alasan apapun yang dengan mati-matian untuk tidak
kupedulikan, ketempat itu, tempat yang terbilang istimewa untukku dan Daniel.
Tempat itu sebenarnya
hanya sebuah tanah kosong dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, tapi aku
dan Daniel berhasil menemukan bagian tembok yang rusak yang tersembunyi dibalik
semak-semak bertahun-tahun yang lalu dan sejak kami menemukan jalan masuk yang
tersembunyi itu, baik aku dan Daniel hampir menjadikan tanah kosong itu dengan
pohon-pohon akasia yang menaunginya dan rumput liar berbunga yang menjadi
alasnya sebagai rumah kedua kami. Nyaris setiap hari aku dan Daniel pergi
kesana selama bertahun-tahun, entah untuk memotret seperti yang selalu
dilakukan Daniel atau membaca seperti yang selalu aku lakukan.
“Aku tahu kamu akan
datang, kamu pasti akan datang,” gumam sebuah suara familiar dengan nada lega
yang begitu kentara. Sekali lagi aku tergugah dari lamunanku dan terkejut.
Tanpa sadar, kakiku yang sudah terlalu lelah berjalan ini menuntunku menuju
“tempat kita”, tempat Daniel memintaku untuk menemuinya lewat pesan yang ia
sertakan di undangannya. Aku menghela napas. Tak ada gunanya mengelak sekarang,
toh alam bawah sadarku sendiri yang menuntunku kemari, untuk menemui Daniel,
untuk menjelaskan apapun yang ingin ia jelaskan padaku Daniel.
“Apa yang harus aku
dengarkan?” tanyaku ketus sambil dengan sengaja melihat jam tanganku, seolah
aku tak memiliki banyak waktu. Lagipula apa yang diharapkan Daniel dariku?
Sikap ramah dan bersahabat seperti biasanya?
“Kenapa kita tidak
duduk seperti biasanya?” Daniel menawarkan seraya menatapku dengan tatapan
memohon. Aku menghela napas. Tatapan itu yang selalu melemahkanku, membuatku
menuruti apapun yang Daniel inginkan tanpa memikirkan konsekuensi untuk diriku
sendiri. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Daniel akan segera menjadi
milik orang lain, dan mulai sekarang, aku harus tegas. Aku tidak boleh lagi
bersikap lembut dan lembek pada Daniel. Tidak lagi.
“Sebaiknya aku tetap
berdiri. Aku tidak punya banyak waktu, aku harus segera pulang dan mengejar
deadline tugas,”dustaku lancar yang sebenarnya membuatku benar-benar heran.
Selama ini aku jarang berbohong, dan setiap kali berbohong Daniel pasti
mengetahuinya, tapi kali ini Daniel sama sekali tak mencoba membantahku. Ia
hanya menghela napas sebelum duduk di akar pohon akasia yang menyembul, tempat
kami biasa duduk berdua, entah itu untuk melakukan kegiatan masing-masing atau
untuk berbagi cerita.
“Ahira hamil…”bisik
Daniel pelan. “Dan… dan aku… tidak punya pilihan lain selain menikahinya”. Mata
Daniel tampak kosong. Entah apa yang sedang ia pikirkan atau ingat saat ini.
Hamil? Aku menghela
napas entah untuk kesekian kalinya dalam setengah hari ini. Ku rasa aku tidak
terlalu terkejut mendengarnya. Benar-benar khas Daniel, ceroboh dan tidak
bertanggung jawab. Teman kecilku, Daniel, ternyata masih tidak berubah. Aku
kira waktu telah mengubahnya, tapi nyatanya ia masih sama membuatku benar-benar
merasa bodoh karena telah menyia-nyiakan hampir seluruh hidupku untuk
mencintainya.
Ya… bukankah sudah
jelas kalau aku mencintai Daniel? Aku bahkan amat sangat mencintainya, bukan
sekedar cinta monyet atau apalah mereka menyebutnya. Cintaku pada Daniel adalah
cinta yang sebenar-benarnya dan nyata walau aku tahu selama ini Daniel hanya
menganggapku tempat berlari, tempat singgah, atau apapun itu. Intinya aku
hanyalah tempat pemberhentian sementara Daniel.
Sejak SMP, ketika
Daniel mendapatkan pacar pertamanya, posisiku tak pernah berubah. Aku hanyalah
tempatnya beristirahat ketika ia lelah. Ketika ia jenuh dengan pacar-pacarnya
yang rewel dan banyak maunya, ia akan datang padaku, membandingkan semua
gadisnya yang tukang mengeluh itu denganku yang terlalu bodoh bahkan untuk
berhenti mencintainya. Sejak dulu aku tahu Daniel bukan tipe orang yang
berhati-hati. Entah sudah berapa kali ia terjerumus pada gadis yang sama atu
sudah berapa kali ia memohon-mohon padaku untuk menjauhkannya dari
gadis-gadisnya yang terkadang berubag psikopat ketika ia meninggalkannya.
Mungkin sejak dulu, jauh didalam hatiku aku tahu kalau hasil akhirnya akan
seperti ini hingga aku tidak terlalu terkejut. Tapi tetap saja rasa sakit yang
tak tertahankan itu merenggut hatiku yang sudah hancur dan membantingnya lagi,
membuat satu-satunya hati yang aku punya tak lagi berbentuk.
“Fin… kumohon… katakana
sesuatu,”
Aku memejamkan mata,
menghentikan gelombang emosi yang tengah mempermainkanku. Hari ini mungkin
Tuhan telah menamparku dan membuka mataku, membuatku menyadari tahun-tahun yang
kusia-siakan untuk Daniel karena kenyataannya kami tak pernah bersama. Aku
hanyalah tempatnya berlari, dan jika aku
tidak berhenti, maka aku akan menjadi tempat
Daniel berlari untuk selamanya, menjadi bayangan calon istri Daniel yang
telah dinodainya itu.
“Kurasa aku tidak
begitu terkejut, mengingat betapa cerobohnya kamu,”
Kalimat yang begitu
dingin dan menyakitkan hingga bahkan Daniel pun tersentak ketika mendengarnya
keluar dari mulutku, sementara aku mengernyit dalam hati, tak ingin menunjukkan
pada Daniel kalau aku menyesal telah berkata sedemikian tajamnya padanya.
“Jadi… itu yang selama
ini kamu pikirkan tentang aku?” Tanya Daniel tak percaya. Kini ia tak lagi
duduk, melainkan berdiri dengan jarak hanya satu meter didepanku, membuat
tanganku ingin meraihnya dan memeluknya, melupakan semua masalah ini dan
menganggapnya baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa, kenyataan telah menamparku
hari ini.
“Tidak hanya itu, aku
juga merasa kalau kamu itu tidak bertanggung jawab dan egois,”tambahku tanpa
perasaan.
“Infinity!” Daniel
tersentak seraya tangannya terulur mencengkeram bahuku. “Apa yang terjadi sama
kamu? Apakah semua ini karena rencana pernikahanku yang tolol?” Tanya Daniel
sebelum terdiam dan menatap jauh ke dalam mataku. Aku memilih diam,
menantangnya lewat tatapan mataku untuk membuat dia mengungkapkan kata yang
sengaja ditahannya barusan. “Aku tahu kamu terluka, tapi aku benar-benar tidak bermaksud
untuk melukaimu,” ujar Daniel setelah beberapa saat kami saling menantang lewat
tatapan mata kami.
Aku tertawa, lebih
mirip tawa histeris sebenarnya karena yah… aku baru tahu kalau selama ini
Daniel mengetahui perasaanku, tapi sepertinya ia sama sekali tak memiliki
perasaan yang sama denganku hingga ia dengan mudah mempermainkan perasaanku.
“Jadi selama ini kamu
sudah tahu? Oh… beruntungnya aku,” sindirku disela-sela tawa sinisku.
“Fin… kumohon, jangan
bersikap seperti ini. Dan ya! Demi tuhan Fin aku tidak buta! Bagaimana mungkin
aku bisa tidak menyadari perasaanmu yang begitu tulus dan murni untukku? Karena
itu Fin… karena aku tahu makanya aku meminta kamu untuk datang kesini. Aku
ingin membatalkan pernikahanku dan bersama denganmu, Fin, satu-satunya gadis
yang aku cintai.” Jelas Daniel panjang lebar dengan dibumbui disana-sini yang
justru malah membuatku benar-benar marah.
“CUKUP!!!!” teriakku
nyaris histeris sambil mundur menjauh dari Daniel. Aku tidak sudi lagi disentuh
oleh laki-laki egois, tidak bertanggung jawab dan ceroboh seperti dia. Daniel
benar-benar tercengang kali ini, tak menyangka dengan reaksiku yang tidak
biasa.
“Kamu pikir aku gadis
bodoh yang bisa kamu permainkan lagi?” tanyaku pelan, menahan tangis yang akan
pecah. “Nanti, ketika pernikahanmu batal dan kamu bisa lari dari tanggung
jawabmu, aku yakin kamu tidak akan bersamaku. Kamu terlalu egois untuk itu. Dan
selama bertahun-tahun kita berteman dan menghabiskan waktu bersama, bagaimana
bisa kamu pura-pura tidak tahu dan memperlakukanku seperti tempat pelarianmu?
Dan sekarang kamu bilang kamu ingin bersamaku? Tidak! Tidak akan pernah! Aku
tidak akan bisa lagi kamu bodohi karena aku sadar, semua kesabaran dan air
mataku selama bertahun-tahun ini sia-sia saja karena kenyataannya kita tidak
pernah bersama. Kamu terlalu mencintai dirimu sendiri, dan aku terlalu
mencintai kamu. Jadi jangan pernah berharap kalau aku akan menjadi Infinity
yang sama yang kamu permainkan selama bertahun-tahun ini untuk membebaskan kamu
dari tanggung jawabmu, resikomu dan masalahmu!”
Aku memuntahkan semua
kata-kata itu hingga ketika aku usia menumpahkan semuanya, napasku memburu
seolah aku baru saja berlari berkali-kali mengelilingi lapangan bukan
menumpahkan semua yang berkecamuk di hatiku selama bertahun-tahun ini.
“Fin…” hanya itu yang
sanggup Daniel selama beberapa saat karena ia belum bisa mengatasi
keterkejutannya.
“Sudahlah, Dan,”
desahku merasa benar-benar lelah. “Jangan berbohong lagi, toh kenyataannya kita
memang tidak bersama kan? Jadi jangan membuatku percaya lagi pada kebohonganmu
yang tidak lagi bermutu,”
“Tapi Fin…”
“Kamu terlalu mencintai
dirimu sendiri, aku terima itu Dan. Dan sekarang aku juga berusaha mencintai
diriku sendiri.” Potongku tanpa berniat memberikan Daniel kesempatan bicara.
“Selama tinggal, Daniel, dan cobalah untuk tidak lari dari tanggung jawabmu,”
Aku berbalik, merasa
sedikit lega usai menumpahkan semuanya. Aku sekarang bisa pergi dengan tenang,
meninggalkan Daniel dan keegoisannya. Aku sudah tidak sanggup lagi berjalan
disisinya dan menjadi tempatnya beristirahat ketika lelah. Dengan langkah yang
terbilang cepat, aku melangkah menjauh, meninggalkan Daniel yang memohon-mohon
dan mengiba-iba dibelakang sana.
“Maaf, Dan. Tapi aku
ingin mencintai diriku sendiri mulai sekarang,” gumamku ketika menyusup keluar
lewat lubang didinding yang tanpa sengaja kami temukan beberapa tahun yang lalu
dan meninggalkan Daniel untuk selamanya. Lagipula untuk apa aku bertahan, toh
memang aku memamng tak pernah bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar