Senin, 28 April 2014

Kenyataannya, Kita Memang Tidak Bersama…


Jangan pernah berburuk sangka ketika kamu menerima undangan ini
Datanglah ke tempat kita besok, aku akan menjelaskan semuanya
                                                                                                
Daniel


Untuk keempat kalinya dalam satu jam terakhir aku membaca kembali pesan singkat yang disertakan Daniel ketika ia mengirimkan undangan pernikahannya ke rumah dua hari yang lalu. Bukan sesuatu yang mengejutkan memang mengingat bagaimana Daniel, tapi tetap saja, saat amplop cokelat berisi undangan dan pesan singkat itu sampai di tanganku, aku butuh waktu semalaman untuk tampil normal lagi, untuk menyunggingkan senyum yang jauh lebih seperti seringaian. Ibu tidak curiga begitu juga bapak ketika sore itu aku langsung masuk kamar dan mengurung diriku disana. Lagipula apa yang harus ibu dan bapak curigai? Daniel bukan siapa-siapaku. Selama ini mereka mengenalnya sebagai teman baikku, jadi tidak ada alasan bagi ibu atau pun bapak curiga kalau aku sebenarnya sedang patah hati, kalau kemarin hatiku hancur berkeping-keping hingga aku tidak bisa merasakan apapun lagi. Rasanya begitu kebas dan hampa.
Dosen filsafatku masih menjelaskan panjang lebar tentang sesuatu yang tak pernah kupahami maksudnya sejak satu jam yang lalu, sementara aku duduk disini, dibagian belakang kelas, sendirian sambil berulang kali menatap pesan singkat yang dikirimkan Daniel yang tadi pagi kuselipkan dibelakang binder-ku, tentunya untuk alasan ini. Sebenarnya jika ditanya aku akan datang atau tidak, maka jawabanku adalah tidak, maksudku tidak karena aku belum memutuskan. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melangkah ketempat itu, “tempat kita” yang Daniel maksud dan menerima penjelasannya, kemudian mau tak mau aku harus tampak tegar sementara hatiku luluh lantak. Lagipula, jika ditanya Daniel itu siapaku hingga aku harus hancur menerima undangan pernikahannya dan aku harus mendengarkan penjelasan darinya, maka jawabannya adalah tidak tahu, karena selama bertahun-tahun ini, aku tidak tahu apa sebenarnya statusku didalam hati Daniel. Dan hebatnya, aku yang terlalu pengecut ini tak pernah berani menanyakannya, hingga hari ini.
“Fin… nggak balik?” Tanya Johanna, teman sekelasku, yang langsung membuyarkan lamunanku. Aku mengedarkan pandangan keseluruh kelas dan mendapati kelas sudah nyaris kosong, hanya ada aku dan Johanna yang tersisa, entah sudah berapa lama aku melamun tanpa menyadari kalau kelas sudah usai.
“Iya, ini mau balik,” dustaku sambil membereskan barang-barangku yang sebenarnya masih rapi dengan kikuk.
“Kalau gitu aku duluan ya,” pamit Johanna yang kemudian berlalu. Ketika Johanna menghilang dibalik pintu, aku menghela napas panjang. Setidaknya aku tidak membuat curiga Johanna hingga aku harus terpaksa menjelaskan padanya sesuatu yang selama bertahun-tahun tak pernah kuceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga ataupun sahabatku.
Aku membereskan barang-barangku dengan lambat dan keluar dari kelas dengan pikiran kosong. Aku masih belum memutuskan untuk pergi atau tidak. Lagi pula tempat itu sebentar lagi tak akan menjadi “tempat kita” karena aku yakin, meski tidak sekarang, suatu hari nanti Daniel pasti akan mengajak wanita itu, wanita yang akan dinikahinya dengan alasan apapun yang dengan mati-matian untuk tidak kupedulikan, ketempat itu, tempat yang terbilang istimewa untukku dan Daniel.
Tempat itu sebenarnya hanya sebuah tanah kosong dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, tapi aku dan Daniel berhasil menemukan bagian tembok yang rusak yang tersembunyi dibalik semak-semak bertahun-tahun yang lalu dan sejak kami menemukan jalan masuk yang tersembunyi itu, baik aku dan Daniel hampir menjadikan tanah kosong itu dengan pohon-pohon akasia yang menaunginya dan rumput liar berbunga yang menjadi alasnya sebagai rumah kedua kami. Nyaris setiap hari aku dan Daniel pergi kesana selama bertahun-tahun, entah untuk memotret seperti yang selalu dilakukan Daniel atau membaca seperti yang selalu aku lakukan.
“Aku tahu kamu akan datang, kamu pasti akan datang,” gumam sebuah suara familiar dengan nada lega yang begitu kentara. Sekali lagi aku tergugah dari lamunanku dan terkejut. Tanpa sadar, kakiku yang sudah terlalu lelah berjalan ini menuntunku menuju “tempat kita”, tempat Daniel memintaku untuk menemuinya lewat pesan yang ia sertakan di undangannya. Aku menghela napas. Tak ada gunanya mengelak sekarang, toh alam bawah sadarku sendiri yang menuntunku kemari, untuk menemui Daniel, untuk menjelaskan apapun yang ingin ia jelaskan padaku Daniel.
“Apa yang harus aku dengarkan?” tanyaku ketus sambil dengan sengaja melihat jam tanganku, seolah aku tak memiliki banyak waktu. Lagipula apa yang diharapkan Daniel dariku? Sikap ramah dan bersahabat seperti biasanya?
“Kenapa kita tidak duduk seperti biasanya?” Daniel menawarkan seraya menatapku dengan tatapan memohon. Aku menghela napas. Tatapan itu yang selalu melemahkanku, membuatku menuruti apapun yang Daniel inginkan tanpa memikirkan konsekuensi untuk diriku sendiri. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Daniel akan segera menjadi milik orang lain, dan mulai sekarang, aku harus tegas. Aku tidak boleh lagi bersikap lembut dan lembek pada Daniel. Tidak lagi.
“Sebaiknya aku tetap berdiri. Aku tidak punya banyak waktu, aku harus segera pulang dan mengejar deadline tugas,”dustaku lancar yang sebenarnya membuatku benar-benar heran. Selama ini aku jarang berbohong, dan setiap kali berbohong Daniel pasti mengetahuinya, tapi kali ini Daniel sama sekali tak mencoba membantahku. Ia hanya menghela napas sebelum duduk di akar pohon akasia yang menyembul, tempat kami biasa duduk berdua, entah itu untuk melakukan kegiatan masing-masing atau untuk berbagi cerita.
“Ahira hamil…”bisik Daniel pelan. “Dan… dan aku… tidak punya pilihan lain selain menikahinya”. Mata Daniel tampak kosong. Entah apa yang sedang ia pikirkan atau ingat saat ini.
Hamil? Aku menghela napas entah untuk kesekian kalinya dalam setengah hari ini. Ku rasa aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Benar-benar khas Daniel, ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Teman kecilku, Daniel, ternyata masih tidak berubah. Aku kira waktu telah mengubahnya, tapi nyatanya ia masih sama membuatku benar-benar merasa bodoh karena telah menyia-nyiakan hampir seluruh hidupku untuk mencintainya.
Ya… bukankah sudah jelas kalau aku mencintai Daniel? Aku bahkan amat sangat mencintainya, bukan sekedar cinta monyet atau apalah mereka menyebutnya. Cintaku pada Daniel adalah cinta yang sebenar-benarnya dan nyata walau aku tahu selama ini Daniel hanya menganggapku tempat berlari, tempat singgah, atau apapun itu. Intinya aku hanyalah tempat pemberhentian sementara Daniel.
Sejak SMP, ketika Daniel mendapatkan pacar pertamanya, posisiku tak pernah berubah. Aku hanyalah tempatnya beristirahat ketika ia lelah. Ketika ia jenuh dengan pacar-pacarnya yang rewel dan banyak maunya, ia akan datang padaku, membandingkan semua gadisnya yang tukang mengeluh itu denganku yang terlalu bodoh bahkan untuk berhenti mencintainya. Sejak dulu aku tahu Daniel bukan tipe orang yang berhati-hati. Entah sudah berapa kali ia terjerumus pada gadis yang sama atu sudah berapa kali ia memohon-mohon padaku untuk menjauhkannya dari gadis-gadisnya yang terkadang berubag psikopat ketika ia meninggalkannya. Mungkin sejak dulu, jauh didalam hatiku aku tahu kalau hasil akhirnya akan seperti ini hingga aku tidak terlalu terkejut. Tapi tetap saja rasa sakit yang tak tertahankan itu merenggut hatiku yang sudah hancur dan membantingnya lagi, membuat satu-satunya hati yang aku punya tak lagi berbentuk.
“Fin… kumohon… katakana sesuatu,”
Aku memejamkan mata, menghentikan gelombang emosi yang tengah mempermainkanku. Hari ini mungkin Tuhan telah menamparku dan membuka mataku, membuatku menyadari tahun-tahun yang kusia-siakan untuk Daniel karena kenyataannya kami tak pernah bersama. Aku hanyalah tempatnya berlari, dan  jika aku tidak berhenti, maka aku akan menjadi tempat  Daniel berlari untuk selamanya, menjadi bayangan calon istri Daniel yang telah dinodainya itu.
“Kurasa aku tidak begitu terkejut, mengingat betapa cerobohnya kamu,”
Kalimat yang begitu dingin dan menyakitkan hingga bahkan Daniel pun tersentak ketika mendengarnya keluar dari mulutku, sementara aku mengernyit dalam hati, tak ingin menunjukkan pada Daniel kalau aku menyesal telah berkata sedemikian tajamnya padanya.
“Jadi… itu yang selama ini kamu pikirkan tentang aku?” Tanya Daniel tak percaya. Kini ia tak lagi duduk, melainkan berdiri dengan jarak hanya satu meter didepanku, membuat tanganku ingin meraihnya dan memeluknya, melupakan semua masalah ini dan menganggapnya baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa, kenyataan telah menamparku hari ini.
“Tidak hanya itu, aku juga merasa kalau kamu itu tidak bertanggung jawab dan egois,”tambahku tanpa perasaan.
“Infinity!” Daniel tersentak seraya tangannya terulur mencengkeram bahuku. “Apa yang terjadi sama kamu? Apakah semua ini karena rencana pernikahanku yang tolol?” Tanya Daniel sebelum terdiam dan menatap jauh ke dalam mataku. Aku memilih diam, menantangnya lewat tatapan mataku untuk membuat dia mengungkapkan kata yang sengaja ditahannya barusan. “Aku tahu kamu terluka, tapi aku benar-benar tidak bermaksud untuk melukaimu,” ujar Daniel setelah beberapa saat kami saling menantang lewat tatapan mata kami.
Aku tertawa, lebih mirip tawa histeris sebenarnya karena yah… aku baru tahu kalau selama ini Daniel mengetahui perasaanku, tapi sepertinya ia sama sekali tak memiliki perasaan yang sama denganku hingga ia dengan mudah mempermainkan perasaanku.
“Jadi selama ini kamu sudah tahu? Oh… beruntungnya aku,” sindirku disela-sela tawa sinisku.
“Fin… kumohon, jangan bersikap seperti ini. Dan ya! Demi tuhan Fin aku tidak buta! Bagaimana mungkin aku bisa tidak menyadari perasaanmu yang begitu tulus dan murni untukku? Karena itu Fin… karena aku tahu makanya aku meminta kamu untuk datang kesini. Aku ingin membatalkan pernikahanku dan bersama denganmu, Fin, satu-satunya gadis yang aku cintai.” Jelas Daniel panjang lebar dengan dibumbui disana-sini yang justru malah membuatku benar-benar marah.
“CUKUP!!!!” teriakku nyaris histeris sambil mundur menjauh dari Daniel. Aku tidak sudi lagi disentuh oleh laki-laki egois, tidak bertanggung jawab dan ceroboh seperti dia. Daniel benar-benar tercengang kali ini, tak menyangka dengan reaksiku yang tidak biasa.
“Kamu pikir aku gadis bodoh yang bisa kamu permainkan lagi?” tanyaku pelan, menahan tangis yang akan pecah. “Nanti, ketika pernikahanmu batal dan kamu bisa lari dari tanggung jawabmu, aku yakin kamu tidak akan bersamaku. Kamu terlalu egois untuk itu. Dan selama bertahun-tahun kita berteman dan menghabiskan waktu bersama, bagaimana bisa kamu pura-pura tidak tahu dan memperlakukanku seperti tempat pelarianmu? Dan sekarang kamu bilang kamu ingin bersamaku? Tidak! Tidak akan pernah! Aku tidak akan bisa lagi kamu bodohi karena aku sadar, semua kesabaran dan air mataku selama bertahun-tahun ini sia-sia saja karena kenyataannya kita tidak pernah bersama. Kamu terlalu mencintai dirimu sendiri, dan aku terlalu mencintai kamu. Jadi jangan pernah berharap kalau aku akan menjadi Infinity yang sama yang kamu permainkan selama bertahun-tahun ini untuk membebaskan kamu dari tanggung jawabmu, resikomu dan masalahmu!”
Aku memuntahkan semua kata-kata itu hingga ketika aku usia menumpahkan semuanya, napasku memburu seolah aku baru saja berlari berkali-kali mengelilingi lapangan bukan menumpahkan semua yang berkecamuk di hatiku selama bertahun-tahun ini.
“Fin…” hanya itu yang sanggup Daniel selama beberapa saat karena ia belum bisa mengatasi keterkejutannya.
“Sudahlah, Dan,” desahku merasa benar-benar lelah. “Jangan berbohong lagi, toh kenyataannya kita memang tidak bersama kan? Jadi jangan membuatku percaya lagi pada kebohonganmu yang tidak lagi bermutu,”
“Tapi Fin…”
“Kamu terlalu mencintai dirimu sendiri, aku terima itu Dan. Dan sekarang aku juga berusaha mencintai diriku sendiri.” Potongku tanpa berniat memberikan Daniel kesempatan bicara. “Selama tinggal, Daniel, dan cobalah untuk tidak lari dari tanggung jawabmu,”
Aku berbalik, merasa sedikit lega usai menumpahkan semuanya. Aku sekarang bisa pergi dengan tenang, meninggalkan Daniel dan keegoisannya. Aku sudah tidak sanggup lagi berjalan disisinya dan menjadi tempatnya beristirahat ketika lelah. Dengan langkah yang terbilang cepat, aku melangkah menjauh, meninggalkan Daniel yang memohon-mohon dan mengiba-iba dibelakang sana.
“Maaf, Dan. Tapi aku ingin mencintai diriku sendiri mulai sekarang,” gumamku ketika menyusup keluar lewat lubang didinding yang tanpa sengaja kami temukan beberapa tahun yang lalu dan meninggalkan Daniel untuk selamanya. Lagipula untuk apa aku bertahan, toh memang aku memamng tak pernah bersamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar