Pukul
2.59 siang.
Aku
menahan langkahku dibalik gerbang besi karatan rumahku dengan tatapan mata yang
tak pernah dari jam tangan digital hadiah ulang tahun dari papaku yang
melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sepeda federalku sudah bersandari manis
ditubuhku sementara tangan kiriku sedang sibuk kupandangi, dan bola sepak
kesayanganku pun sudah siap diposisinya, aku kepit diantara tangan kanan dan
pinggangku. Sebentar lagi aku akan membuka pintu gerbang ini dan memberikan
sinyal pada seseorang yang menunggu disebelah. Kemudian, aku akan keluar dari
sini dan duduk ditrotoar depan rumahnya hanya untuk melihat ia mengamatiku
diam-diam.
Mengingat
itu semua membuat senyumku mendadak terbit. Inilah alasan kenapa tiap hari aku
pergi ketaman kompleks untuk bermain sepak bola meski aku tidak begitu
menyukainya. Inilah kenapa aku mau repot-repot menunggu teman-temanku di
trotoar depan rumahnya dari pada didepan rumahku, karena aku ingin melihat dia.
Karena aku suka mengamati dia yang diam-diam mengamatiku dari balkon kamarnya.
Pukul
3.00 siang.
Aku
membuka gerbang besi karatan rumahku perlahan dan menimbulkan suara berisik
yang aku tahu, terdengar jelas sampai ke balkon kamarnya. Aku melangkah perlahan,
menikmati setiap lima menit singkat yang aku habiskan secara tidak langsung
bersamanya. Sebelum menyeberangi jalan, aku memindahkan tumpuan sepedaku
ketangan kananku sementara bola sepakku kini aku kepit ditangan kiriku, seperti
yang biasa aku lakukan. Dengan santai aku menyeberangi jalan sementara
telingaku dengan siaga mendengarkan lagu milik Marcell yang seolah menjadi
soundtrack momen kecil kami yang tak lebih dari lima menit. Aku tersenyum geli
saat dari sudut mataku aku melihat dia menempel ketat didinding balkonnya
karena takut terlihat, meski sebenarnya, sejak pertama kali ia melakukan itu,
aku sudah melihatnya, sangat melihatnya.
Gadis
itu bernama Athena, nama yang diadaptasi dari mitologi Yunani. Nama seoang dewi
yang merupakan dewi ahli strategi perang dan juga kebijaksanaan. Secara
keseluruhan aku rasa nama itu cocok untuknya, bahkan terdengar manis. Bukan
hanya karena wajahnya cantik, tapi juga karena pembawaannya yang tenang dan
keputusan bijaksana yang diambilnya. Nama itu benar-benar mencerminkan
kepribadiannya, yang membuatku semakin tidak bisa mengakhiri kebersamaan tak
langsung selama lima menit yang berharga ini.
Seperti
biasa, aku duduk ditrotoar seberang jalan depan rumahnya hanya agar ia bisa
melihatku dengan lebih jelas, juga supaya aku bisa melihatnya, meski aku tahu,
ia tak tahu kalau selama ini aku juga melihatnya. Mungkin selama ini pula ia
tidak pernah tahu kalau aku juga melihatnya secara diam-diam, mengamati semua
yang dilakukannya dan mengingatnya dalam otakku. Ia mungkin tidak pernah tahu,
kalau dihatiku terukir namanya, sama seperti namaku terukit dihatinya. Tapi
entahlah, aku lebih suka menikmati saat-saat ini. Saat-saat kami mengamati dari
jauh, bukannya saling merengkuh dan terkadang saling menyakiti. Aku menyukai
saat-saat dimana aku dan dia saling menatap tanpa kami harus berinteraksi.
Saling menatap dalam diam dibalik selimut kesunyian melalui kebersamaan kami
yang sederhana dan singkat, hanya lima menit.
Sayup-sayup
diantara desau angin sore, aku mendengar lagi Tak Akan Terganti milik Marcell
mulai menginjak bagian akhir. Secara otomatis lengan kiriku terangkat dan
mataku menatap angka-angka digital yang tertera disana. Kurang dari satu menit
kebersamaanku dengannya akan berakhir. Tanpa pernah ia sadari, aku menatap
nanar kearah balkon kamarnya dan sedikit berharap kalau aku bisa memanggilnya,
meski kenyataannya aku tak pernah memanggilnya, tidak pernah sekalipun.
“Dan,
ayo cabut!” seruan Kevin menjadi akhir dari perjumpaan lima menit kami. Dengan
enggan aku bangkit dan menaiki sepedaku dan mengayuhnya pelan, perlahan menjauh
dari gadis itu, yang aku sukai dan aku cintai diam-diam. Aku terus mengayuh
sepedaku pelan, menjauhinya sambil merasakan tatapannya dipunggungku. Aku
mengulum senyum, sensasi ini tak akan pernah bisa aku lupakan. Dan aku pun
tidak ingin berhenti merasakannya. Karena aku mencintainya dalam diam, dan itu
sudah cukup untukku. Sangat cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar