Rabu, 12 Maret 2014

Karena Aku Mencintainya Dalam Diam


Pukul 2.59 siang.
Aku menahan langkahku dibalik gerbang besi karatan rumahku dengan tatapan mata yang tak pernah dari jam tangan digital hadiah ulang tahun dari papaku yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sepeda federalku sudah bersandari manis ditubuhku sementara tangan kiriku sedang sibuk kupandangi, dan bola sepak kesayanganku pun sudah siap diposisinya, aku kepit diantara tangan kanan dan pinggangku. Sebentar lagi aku akan membuka pintu gerbang ini dan memberikan sinyal pada seseorang yang menunggu disebelah. Kemudian, aku akan keluar dari sini dan duduk ditrotoar depan rumahnya hanya untuk melihat ia mengamatiku diam-diam.

Mengingat itu semua membuat senyumku mendadak terbit. Inilah alasan kenapa tiap hari aku pergi ketaman kompleks untuk bermain sepak bola meski aku tidak begitu menyukainya. Inilah kenapa aku mau repot-repot menunggu teman-temanku di trotoar depan rumahnya dari pada didepan rumahku, karena aku ingin melihat dia. Karena aku suka mengamati dia yang diam-diam mengamatiku dari balkon kamarnya.
Pukul 3.00 siang.
Aku membuka gerbang besi karatan rumahku perlahan dan menimbulkan suara berisik yang aku tahu, terdengar jelas sampai ke balkon kamarnya. Aku melangkah perlahan, menikmati setiap lima menit singkat yang aku habiskan secara tidak langsung bersamanya. Sebelum menyeberangi jalan, aku memindahkan tumpuan sepedaku ketangan kananku sementara bola sepakku kini aku kepit ditangan kiriku, seperti yang biasa aku lakukan. Dengan santai aku menyeberangi jalan sementara telingaku dengan siaga mendengarkan lagu milik Marcell yang seolah menjadi soundtrack momen kecil kami yang tak lebih dari lima menit. Aku tersenyum geli saat dari sudut mataku aku melihat dia menempel ketat didinding balkonnya karena takut terlihat, meski sebenarnya, sejak pertama kali ia melakukan itu, aku sudah melihatnya, sangat melihatnya.
Gadis itu bernama Athena, nama yang diadaptasi dari mitologi Yunani. Nama seoang dewi yang merupakan dewi ahli strategi perang dan juga kebijaksanaan. Secara keseluruhan aku rasa nama itu cocok untuknya, bahkan terdengar manis. Bukan hanya karena wajahnya cantik, tapi juga karena pembawaannya yang tenang dan keputusan bijaksana yang diambilnya. Nama itu benar-benar mencerminkan kepribadiannya, yang membuatku semakin tidak bisa mengakhiri kebersamaan tak langsung selama lima menit yang berharga ini.
Seperti biasa, aku duduk ditrotoar seberang jalan depan rumahnya hanya agar ia bisa melihatku dengan lebih jelas, juga supaya aku bisa melihatnya, meski aku tahu, ia tak tahu kalau selama ini aku juga melihatnya. Mungkin selama ini pula ia tidak pernah tahu kalau aku juga melihatnya secara diam-diam, mengamati semua yang dilakukannya dan mengingatnya dalam otakku. Ia mungkin tidak pernah tahu, kalau dihatiku terukir namanya, sama seperti namaku terukit dihatinya. Tapi entahlah, aku lebih suka menikmati saat-saat ini. Saat-saat kami mengamati dari jauh, bukannya saling merengkuh dan terkadang saling menyakiti. Aku menyukai saat-saat dimana aku dan dia saling menatap tanpa kami harus berinteraksi. Saling menatap dalam diam dibalik selimut kesunyian melalui kebersamaan kami yang sederhana dan singkat, hanya lima menit.
Sayup-sayup diantara desau angin sore, aku mendengar lagi Tak Akan Terganti milik Marcell mulai menginjak bagian akhir. Secara otomatis lengan kiriku terangkat dan mataku menatap angka-angka digital yang tertera disana. Kurang dari satu menit kebersamaanku dengannya akan berakhir. Tanpa pernah ia sadari, aku menatap nanar kearah balkon kamarnya dan sedikit berharap kalau aku bisa memanggilnya, meski kenyataannya aku tak pernah memanggilnya, tidak pernah sekalipun.

“Dan, ayo cabut!” seruan Kevin menjadi akhir dari perjumpaan lima menit kami. Dengan enggan aku bangkit dan menaiki sepedaku dan mengayuhnya pelan, perlahan menjauh dari gadis itu, yang aku sukai dan aku cintai diam-diam. Aku terus mengayuh sepedaku pelan, menjauhinya sambil merasakan tatapannya dipunggungku. Aku mengulum senyum, sensasi ini tak akan pernah bisa aku lupakan. Dan aku pun tidak ingin berhenti merasakannya. Karena aku mencintainya dalam diam, dan itu sudah cukup untukku. Sangat cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar