I'll be
your sunshine after the rain
When the
sky is turning grey
you know
that I'm not far away
Suara Alexander
Klaws yang merdu mengalun lembut dari ponsel Nara yang tergelatak diatas nakas,
menandakan kalau saat ini jam sudah menunjukkan pukul enam pagi dan alarm yang
selalu membangunkan Nara, kali ini lalai menunaikan tugasnya karena Nara sudah
bangun hampir lima belas menit yang lalu.
Seraya menatap
langit mendung diluar sana, Nara mulai bersenandung, mengiringi suara merdu
Alexander Klaws dengan suaranya yang pas-pasan. Nara berharap, mendengarkan
lagu itu di pagi kelabu seperti ini akan bisa mencerahkan sedikit harinya,
namun Nara salah, semakin ia terhanyut dengan suara merdu Alexander Klaws,
semakin ia terhanyut semakin jauh dalam kemurungan juga dalam kenangan yang
mati-matian dihindarinya, kenangan lima tahun yang lalu.
“I’ll be your sunshine after the rain... when the
sky is turning grey... you’re know that I’m not far away... sunshine after the
rain... it’s the one thing i won’t change...”
Nara hampir
percaya kalau orang yang menyanyikan refrain lagu itu untuknya lima tahun yang
lalu ada disampinnya, kalau saja Nara tidak benar-benar meyakini kenyataan
menyakitkan itu. Namun saat ini, kenangan dan kenyataan seolah melebur menjadi
satu didepan Nara mengaburkan garis yang memisahan kenyataan dan kenangan yang
selalu berusaha Nara perjelas dengan sekuat tenaga. Nara menggelengkan
kepalanya, mencoba memperjelas batasan itu lagi agar ia tak perlu terseret pada
luka yang sama, namun semua usaha Nara sia-sia saat refrain lagu itu kembali
terngiang ditelinganya seolah orang itu tengah bernyanyi tepat disebelahnya.
Akhirnya, sambil menghembuskan napas lelah, Nara memejamkan matanya dan
membiarkan dirinya terhanyut dalam kenangan.
“I’ll be your sunshine after the rain... when the
sky is turning grey... you’re know that I’m not far away... sunshine after the
rain... it’s the one thing i won’t change...”
“manis banget ya lagunya, seolah bisa ngerubah
image-nya hujan,” komentar Nara sambil mengulum senyum dan mendongak menatap
langit mendung berwarna kelabu yang menghiasi harinya. Seseorang disamping Nara
tersenyum, jenis senyum yang amat disukai Nara, yang secara otomatis membuat
Nara kembali tersenyum untuk kedua kalinya. “tapi tetep aja, mendung bikin
semuanya muram,” keluh Nara yang mendadak muram. Tawa seseorang disamping Nara
mendadak berhenti yang langsung membuat Nara menyesal telah mengeluh. Ingin
rasanya Nara menggigit lidahnya sendiri karena telah merajuk.
“I’ll be your sunshine after the rain, when the sky
is turning grey, you’re know that I’m not far away,” kali ini orang itu tak mendendangan
refrain lagu itu, melainkan mengucapkannya pelan-pelan dengan belaian disetiap
kalimatnya.
“Iya... iya... aku tahu, lagu itu bagus
banget,”gerutu Nara yang tak bisa mencegah sifat kekanakannya muncul setiap
kali ia berada dekat dengan orang yang kini tengah berada disampingnya.
“Bukan itu maksudku,” gumam seseorang disamping Nara
yang kentara sekali jengkel karena Nara sudah salah menangkan maksudnya.
“Maksudku itu, aku akan jadi cahaya matahari sesudah hujan untuk kamu, agar
kamu tahu kalau langit berubah kelabu, itu artinya aku udah nggak jauh, paham,”
jelas seseorang disamping Nara denan penekanan disetiap katanya.
Kini Nara ternganga. Dengan gerakan pelan, seolah
tengah terjadi adegan slow motion, Nara menatap seseorang disampingnya dengan
tampak syok khas Nara. “Aku nggak paham,”gumam Nara yang tak yakin ia menangkan
maksud yang benar dari kata-kata orang yang berada disampingnya barusan.
“Gini aja deh, dimanapun kamu berada, setiap kali
langit mendung dan turun hujan, setelahnya aku pasti datang, dimanapun kamu
berada.”jelas orang disebelah Nara yang kentarra sekali sudah kehilangan
sebagian besar kesabarannya.
Dengan polos, Nara mengangkat kedua tangannya untuk
menutup mulutnya dan meredam teriakannya sambil menatap orang didepannya dengan
syok. “Apa itu artinya...” Nara tak sanggup meneruskan kata-katanya, tapi orang
disamping Nara tersenyum dengan begitu manisnya hingga Nara merasa limbung dan
mengangguk lembut, menjungkir balikkan dunia Nara hanya dalam waktu singkat.
Nara membuka
matanya, setetes air mata meluncur turun membasahi pipi Nara yang bersemu
kemerahan. Tanpa berniat menghapusnya, Nara menyentuh dadanya lembut, merasakan
jantungnya berdetak teratur dibalik gugusan tulang dan dagingnya. Hingga hari
ini jantung itu berdetak dengan teratur, meski seseorang yang bertanggung jawab
membuat jantung itu terus berdetak tak lagi ada disini, Gardanara. Kenangan itu
merangsek masuk lagi dalam kepala Nara, membuatnya terlempar pada waktu-waktu
dimana Nara pernah tertawa begitu lepas dan merasa benar-benar bahagia.
Hujan lagi... Nara menatap murung keluar jendela
kamarnya. Meski jauh dalam hati Nara ingin percaya kalau apa yang dikatakan
Gardanara padanya dua hari yang lalu benar, kalau ia akan datang setiap kali
matahari bersinar setelah hujan, tetap saja Nara tak percaya. Tak mungkin
Gardanara bisa menemukannya dimanapun ia berada setiap kali hujan turun tanpa
Nara harus memberitahunya. Gardanara tak mungkin sehebat itu, Nara meyakinkan
dirinya sendiri sambil menunduk menatap lantai keramik kamarnya yang berwarna
seputih salju.
Entah berapa lama Nara menunduk menatap lantai
kamarnya hingga Nara nyaris tak sadar ketika hujan berhenti dan matahari
perlahan terbit, menyinari jalanan basah didepan rumah Nara yang perlahan mulai
ramai dengan orang yang berlalu lalan, menyelesaikan urusan mereka yang
tertunda karena hujan. Nara menghela napas, gadis itu telah bosan berkutat
dengan pikirannya dan mendongak, menatap lagi jendela kamarnya yang terbuka.
Saat itulah sinar matahari begitu terang menyilaukan matanya hingga untuk
sesaat ia dibutakan oleh cahaya keemasan cemerlang yang menyusup masuk kedalam
kamarnya melalui jendelanya yang terbuka lebar. Selama beberapa saat Nara
dibutakan oleh sinar matahari yang entah sejak kapan mulai bersinar, sampai
akhirnya ia bisa kembali melihat, dan saat itulah ia melihatnya, Gardanara,
tengah tersenyum manis kearahnya dari seberang jalan yang basah.
Tanpa perlu berpikir lagi, Nara berbalik, berlari
sekencang-kencangnya menuruni tangga, meski sesekali Nara nyaris terpeleset,
namun sekalipun Nara tak berniat menurunkan kecepatan larinya hingga akhirnya
Nara sampai didepan gerbang rumahnya dan menghambur keluar, kearah pelukan
Gardanara yang telah siap menyambutnya.
“Kamu tidak percaya kan kalau aku akan datang?” tanya
Gardanara lembut lewat puncak kepala Nara yang menempel lembut didagunya. Nara
menggeleng, meski yang bisa ia lakukan hanyalah menggeser kepalanya beberapa
mili, mengingat pelukan Gardanara yang begitu erat. “Sekarang kamu percaya kan
kalau aku akan selalu datang dan menemukan kamu dimanapun kamu berada?”
“Iya... aku percaya. Dimanapun aku berada, kamu akan
datang. Benar kan?” simpul Nara sambil tersenyum lebar dan mempererat
pelukannya ditubuh Gardanara hingga nyaris tak ada batas antara tubuh Nara dengan
tubuh Gardanara.
Kali ini tak
hanya setetes air mata yang membasahi pipi kemerahan Nara, melainkan cucuran
air mata yang ia simpan selama berbulan-bulan sebelum ini, seiring dengan hujan
yang semakin deras diluar sana, semakin deras pulalah air mata menuruni pipi
kemerahan Nara. Tak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk Nara menahan semua
perasaannya. Nara sudah menyerah, tidak lagi berjuang untuk menahan semua
perasaan dan air matanya. Kini Nara jatuh berlutut didepan jendela kamarnya,
menatap hujan turun yang jatuh diluar sana sementara kenangan lagi dan lagi
melesak masuk kedalam kepalanya.
Nara tidak yakin sudah berapa lama ia dan Gardanara
bersama sekarang. Semuanya terasa kabur disekeliling Nara seiring dengan
semakin jelasnya Gardanara didalam hati Nara yang semula kosong dan hampa. Nara
tidak yakin semenjak kapan Gardanara memiliki tempat sedemikian berarti
dihatinya, mungkin sejak ia dan Gardanara pertama kali bertemu ditaman
kanak-kanak, atau... mungkin ketika Gardanara berjanji padanya akan selalu
menjadi cahaya mataharinya yang selalu datang seusai hujan. Nara tidak yakin.
Yang Nara yakin hanya satu, kalau Gardanara akan selalu datang tiap kali hujan
berhenti untuk menyambut bersama cahaya matahari yang menghangatkan bumi yang
basah kuyup dengan air mata langit, begitu juga kali ini. Ketika hujan turun
dengan begitu derasnya diluar sana, Nara berdiri didepan jendela kamarnya
seperti biasa, menatap penuh harap seberang jalan, tempat Gardanara selalu
muncul untuk menyambutnya. Nara yakin hari ini, seperti yang selalu dilakukan
Gardanara, kalau kekasihnya itu akan datang, datang untuk memeluknya, datang
untuk mencerahkan harinya yang murung.
Hujan turun nyaris satu jam lamanya, dan sekarang,
setelah memuntahkan semua air matanya kepada sang gaia, uranus akhirnya
berhenti dan memunculkan sang helios, matahari disela mendung-mendung kelabu
yang perlahan menyingkir dengan lembut. Nara menatap penuh harap keseberang
jalan. Semenit... dua menit... Nara menunggu dengan senyum terkembang
diwajahnya. Sepuluh menit berlalu, senyum Nara mulai memudar. dan akhirnya,
Nara sudah menunggu hampir tiga puluh menit lamanya ketika ponselnya berdering
dengan nyaring, mengalihan perhatian Nara dari seberang jalan,tempat dimana
Gardanara seharusnya muncul tiga puluh menit yang lalu.
Dengan enggan, Nara beranjak dari tempatnya berdiri
dan meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja di ranjangnya sebelum
menyentuh layarnya lembut.
“Iya... halo?” ujar Nara pelan, pelan sekali hingga
nyaris menyerupai sebuah bisikan.
“Nara? Nara kan? Ra... ini Hilya, Ra, cepet kesini!
Garda kecelakaan, Ra! Keadaannya kritis, cepet kesini Ra! Tunggu... tunggu...”
Hilya, orang yang menelpon Nara berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya ia
kembali kesambungan telpon yang semula ditinggalkannya. “Ra... sabar ya... yang
tabah ya...” gumam Hilya, pelan, pelan sekali, nyaris seperti sebuah bisikan.
Semua darah diwajah Nara surut, meninggalkan wajah
cantik itu tanpa rona, pucat. Bibir Nara yang gemetar perlahan menyusun
kalimat. “Apa maksud kamu?” tanya Nara gemetar. Nara tahu, ada sesuatu yang
tidak beres dibalik perubahan nada bicara Hilya yang tiba-tiba.
“Garda, Ra. Garda...” gumam Hilya yang tak yakin
harus bagaimana menyampaikan kenyataan yang pahit itu pada temannya.
“Kenapa Garda?” tanya Nara yang anehnya mendadak
saja merasa begitu kuat, tegar dan berani. Hilya menghela napas. Sesuatu dalam
suara Nara membuat keberaniannya bangkit. Setelah beberapa saat menghela napas,
akhirnya Hilya memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Nara.
“Garda meninggal, Ra.”
Nara gemetar hebat, ponsel itu terjatuh begitu saja
dari tangannya. Sambil menahan air matanya yang hendak membanjiri wajahnya,
Nara jatuh terduduk dilantai kamarnya yang dingin sementara diluar sana,Uranus
kembali memuntahkan air matanya, membasahi Gaia yang hanya bisa membisu.
Kali ini Nara
menarik dirinya keluar dari kenangan menyakitkan itu. Nara sudah tidak sanggup,
Nara tidak sanggup lagi mengingat kelanjutan dari kenangan menyakitkan itu.
Nara tidak bisa lagi mengingat kembali detail kenangan tentang pemakaman
Gardanara, juga detail kenangan hari-hari mendung yang ia lalui sendiri tanpa
Gardanara. Dengan putus asa Nara mengalihkan tatapannya ke jendela kamarnya
yang terbuka lebar, menampilkan hujan yang perlahan berubah menjadi gerimis
sebelum akhirnya berhenti total. Nara bagkit perlahan, dengan kaki gemetar,
berjalan mendekat kejendela seiring dengan awan-awan kelabu yang mulai
menyingkir dan menyingkap sinar keemasan matahari yang terang menyilaukan,
memeluk tubuhnya, menghangatkan tubuhnya serta menghibur hatinya.
Untuk satu
kesempatan ini Nara tidak menutup jendelanya dan kembali mengubur dirinya dalam
kegelapan, untuk satu kesempatan ini Nara menyambut cahaya matahari yang
menghangatkan tubuhnya karena dari semua ingatan menyakitkan tentang Gardanara,
Nara sadar, meski Nara tak lagi bisa memeluknya setiap kali hujan berhenti,
masih ada sinar matahari yang akan memeluknya dan menghiburnya, seperti yang
kerap dilakukan Gardanara. Hari ini, setela 389 hari kepergian Gardanara, untuk
pertama kalinya Nara bisa tersenyum dan menatap matahari dengan hangat,
menyambutnya sebagai teman lama, yang akan selalu datang setelah hujan, yang
akan selalu menemukannya dimanapun ia berada, seperti Gardanara yang akan
selalu menemukannya dimanapun ia berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar