Senin, 02 Desember 2013

Sunshine After The Rain



I'll be your sunshine after the rain
When the sky is turning grey
you know that I'm not far away

Langit mendung diluar sana menyapa Nara muram, mengukir senyuman yang sama muramnya dengan langit diluar sana. Pagi ini, tidak seperti pagi yang seharusnya cerah di Bulan Agustus, mendung kelabu tebal menghiasi langit, menyembunyikan kemilau sinar keemasan dari pelukan bumi yang selalu mendamba kehangatannya. Nara terbangun dengan murung, dan semakin bertambah murung seiring dengan tebalnya mendung diluar sana, bahkan berdiri didepan jendela, menatap jalanan yang perlahan mulai ramai dibawah sana, seperti yang selalu ia lakukan pun tak sanggup menghiburnya, tak sanggup meredakan sedikit kemurungan yan melanda hati Nara.

Suara Alexander Klaws yang merdu mengalun lembut dari ponsel Nara yang tergelatak diatas nakas, menandakan kalau saat ini jam sudah menunjukkan pukul enam pagi dan alarm yang selalu membangunkan Nara, kali ini lalai menunaikan tugasnya karena Nara sudah bangun hampir lima belas menit yang lalu.
Seraya menatap langit mendung diluar sana, Nara mulai bersenandung, mengiringi suara merdu Alexander Klaws dengan suaranya yang pas-pasan. Nara berharap, mendengarkan lagu itu di pagi kelabu seperti ini akan bisa mencerahkan sedikit harinya, namun Nara salah, semakin ia terhanyut dengan suara merdu Alexander Klaws, semakin ia terhanyut semakin jauh dalam kemurungan juga dalam kenangan yang mati-matian dihindarinya, kenangan lima tahun yang lalu.
“I’ll be your sunshine after the rain... when the sky is turning grey... you’re know that I’m not far away... sunshine after the rain... it’s the one thing i won’t change...”
Nara hampir percaya kalau orang yang menyanyikan refrain lagu itu untuknya lima tahun yang lalu ada disampinnya, kalau saja Nara tidak benar-benar meyakini kenyataan menyakitkan itu. Namun saat ini, kenangan dan kenyataan seolah melebur menjadi satu didepan Nara mengaburkan garis yang memisahan kenyataan dan kenangan yang selalu berusaha Nara perjelas dengan sekuat tenaga. Nara menggelengkan kepalanya, mencoba memperjelas batasan itu lagi agar ia tak perlu terseret pada luka yang sama, namun semua usaha Nara sia-sia saat refrain lagu itu kembali terngiang ditelinganya seolah orang itu tengah bernyanyi tepat disebelahnya. Akhirnya, sambil menghembuskan napas lelah, Nara memejamkan matanya dan membiarkan dirinya terhanyut dalam kenangan.

“I’ll be your sunshine after the rain... when the sky is turning grey... you’re know that I’m not far away... sunshine after the rain... it’s the one thing i won’t change...”
“manis banget ya lagunya, seolah bisa ngerubah image-nya hujan,” komentar Nara sambil mengulum senyum dan mendongak menatap langit mendung berwarna kelabu yang menghiasi harinya. Seseorang disamping Nara tersenyum, jenis senyum yang amat disukai Nara, yang secara otomatis membuat Nara kembali tersenyum untuk kedua kalinya. “tapi tetep aja, mendung bikin semuanya muram,” keluh Nara yang mendadak muram. Tawa seseorang disamping Nara mendadak berhenti yang langsung membuat Nara menyesal telah mengeluh. Ingin rasanya Nara menggigit lidahnya sendiri karena telah merajuk.
“I’ll be your sunshine after the rain, when the sky is turning grey, you’re know that I’m not far away,” kali ini orang itu tak mendendangan refrain lagu itu, melainkan mengucapkannya pelan-pelan dengan belaian disetiap kalimatnya.
“Iya... iya... aku tahu, lagu itu bagus banget,”gerutu Nara yang tak bisa mencegah sifat kekanakannya muncul setiap kali ia berada dekat dengan orang yang kini tengah berada disampingnya.
“Bukan itu maksudku,” gumam seseorang disamping Nara yang kentara sekali jengkel karena Nara sudah salah menangkan maksudnya. “Maksudku itu, aku akan jadi cahaya matahari sesudah hujan untuk kamu, agar kamu tahu kalau langit berubah kelabu, itu artinya aku udah nggak jauh, paham,” jelas seseorang disamping Nara denan penekanan disetiap katanya.
Kini Nara ternganga. Dengan gerakan pelan, seolah tengah terjadi adegan slow motion, Nara menatap seseorang disampingnya dengan tampak syok khas Nara. “Aku nggak paham,”gumam Nara yang tak yakin ia menangkan maksud yang benar dari kata-kata orang yang berada disampingnya barusan.
“Gini aja deh, dimanapun kamu berada, setiap kali langit mendung dan turun hujan, setelahnya aku pasti datang, dimanapun kamu berada.”jelas orang disebelah Nara yang kentarra sekali sudah kehilangan sebagian besar kesabarannya.
Dengan polos, Nara mengangkat kedua tangannya untuk menutup mulutnya dan meredam teriakannya sambil menatap orang didepannya dengan syok. “Apa itu artinya...” Nara tak sanggup meneruskan kata-katanya, tapi orang disamping Nara tersenyum dengan begitu manisnya hingga Nara merasa limbung dan mengangguk lembut, menjungkir balikkan dunia Nara hanya dalam waktu singkat.

Nara membuka matanya, setetes air mata meluncur turun membasahi pipi Nara yang bersemu kemerahan. Tanpa berniat menghapusnya, Nara menyentuh dadanya lembut, merasakan jantungnya berdetak teratur dibalik gugusan tulang dan dagingnya. Hingga hari ini jantung itu berdetak dengan teratur, meski seseorang yang bertanggung jawab membuat jantung itu terus berdetak tak lagi ada disini, Gardanara. Kenangan itu merangsek masuk lagi dalam kepala Nara, membuatnya terlempar pada waktu-waktu dimana Nara pernah tertawa begitu lepas dan merasa benar-benar bahagia.

Hujan lagi... Nara menatap murung keluar jendela kamarnya. Meski jauh dalam hati Nara ingin percaya kalau apa yang dikatakan Gardanara padanya dua hari yang lalu benar, kalau ia akan datang setiap kali matahari bersinar setelah hujan, tetap saja Nara tak percaya. Tak mungkin Gardanara bisa menemukannya dimanapun ia berada setiap kali hujan turun tanpa Nara harus memberitahunya. Gardanara tak mungkin sehebat itu, Nara meyakinkan dirinya sendiri sambil menunduk menatap lantai keramik kamarnya yang berwarna seputih salju.
Entah berapa lama Nara menunduk menatap lantai kamarnya hingga Nara nyaris tak sadar ketika hujan berhenti dan matahari perlahan terbit, menyinari jalanan basah didepan rumah Nara yang perlahan mulai ramai dengan orang yang berlalu lalan, menyelesaikan urusan mereka yang tertunda karena hujan. Nara menghela napas, gadis itu telah bosan berkutat dengan pikirannya dan mendongak, menatap lagi jendela kamarnya yang terbuka. Saat itulah sinar matahari begitu terang menyilaukan matanya hingga untuk sesaat ia dibutakan oleh cahaya keemasan cemerlang yang menyusup masuk kedalam kamarnya melalui jendelanya yang terbuka lebar. Selama beberapa saat Nara dibutakan oleh sinar matahari yang entah sejak kapan mulai bersinar, sampai akhirnya ia bisa kembali melihat, dan saat itulah ia melihatnya, Gardanara, tengah tersenyum manis kearahnya dari seberang jalan yang basah.
Tanpa perlu berpikir lagi, Nara berbalik, berlari sekencang-kencangnya menuruni tangga, meski sesekali Nara nyaris terpeleset, namun sekalipun Nara tak berniat menurunkan kecepatan larinya hingga akhirnya Nara sampai didepan gerbang rumahnya dan menghambur keluar, kearah pelukan Gardanara yang telah siap menyambutnya.
“Kamu tidak percaya kan kalau aku akan datang?” tanya Gardanara lembut lewat puncak kepala Nara yang menempel lembut didagunya. Nara menggeleng, meski yang bisa ia lakukan hanyalah menggeser kepalanya beberapa mili, mengingat pelukan Gardanara yang begitu erat. “Sekarang kamu percaya kan kalau aku akan selalu datang dan menemukan kamu dimanapun kamu berada?”
“Iya... aku percaya. Dimanapun aku berada, kamu akan datang. Benar kan?” simpul Nara sambil tersenyum lebar dan mempererat pelukannya ditubuh Gardanara hingga nyaris tak ada batas antara tubuh Nara dengan tubuh Gardanara.

Kali ini tak hanya setetes air mata yang membasahi pipi kemerahan Nara, melainkan cucuran air mata yang ia simpan selama berbulan-bulan sebelum ini, seiring dengan hujan yang semakin deras diluar sana, semakin deras pulalah air mata menuruni pipi kemerahan Nara. Tak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk Nara menahan semua perasaannya. Nara sudah menyerah, tidak lagi berjuang untuk menahan semua perasaan dan air matanya. Kini Nara jatuh berlutut didepan jendela kamarnya, menatap hujan turun yang jatuh diluar sana sementara kenangan lagi dan lagi melesak masuk kedalam kepalanya.

Nara tidak yakin sudah berapa lama ia dan Gardanara bersama sekarang. Semuanya terasa kabur disekeliling Nara seiring dengan semakin jelasnya Gardanara didalam hati Nara yang semula kosong dan hampa. Nara tidak yakin semenjak kapan Gardanara memiliki tempat sedemikian berarti dihatinya, mungkin sejak ia dan Gardanara pertama kali bertemu ditaman kanak-kanak, atau... mungkin ketika Gardanara berjanji padanya akan selalu menjadi cahaya mataharinya yang selalu datang seusai hujan. Nara tidak yakin. Yang Nara yakin hanya satu, kalau Gardanara akan selalu datang tiap kali hujan berhenti untuk menyambut bersama cahaya matahari yang menghangatkan bumi yang basah kuyup dengan air mata langit, begitu juga kali ini. Ketika hujan turun dengan begitu derasnya diluar sana, Nara berdiri didepan jendela kamarnya seperti biasa, menatap penuh harap seberang jalan, tempat Gardanara selalu muncul untuk menyambutnya. Nara yakin hari ini, seperti yang selalu dilakukan Gardanara, kalau kekasihnya itu akan datang, datang untuk memeluknya, datang untuk mencerahkan harinya yang murung.
Hujan turun nyaris satu jam lamanya, dan sekarang, setelah memuntahkan semua air matanya kepada sang gaia, uranus akhirnya berhenti dan memunculkan sang helios, matahari disela mendung-mendung kelabu yang perlahan menyingkir dengan lembut. Nara menatap penuh harap keseberang jalan. Semenit... dua menit... Nara menunggu dengan senyum terkembang diwajahnya. Sepuluh menit berlalu, senyum Nara mulai memudar. dan akhirnya, Nara sudah menunggu hampir tiga puluh menit lamanya ketika ponselnya berdering dengan nyaring, mengalihan perhatian Nara dari seberang jalan,tempat dimana Gardanara seharusnya muncul tiga puluh menit yang lalu.
Dengan enggan, Nara beranjak dari tempatnya berdiri dan meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja di ranjangnya sebelum menyentuh layarnya lembut.
“Iya... halo?” ujar Nara pelan, pelan sekali hingga nyaris menyerupai sebuah bisikan.
“Nara? Nara kan? Ra... ini Hilya, Ra, cepet kesini! Garda kecelakaan, Ra! Keadaannya kritis, cepet kesini Ra! Tunggu... tunggu...” Hilya, orang yang menelpon Nara berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya ia kembali kesambungan telpon yang semula ditinggalkannya. “Ra... sabar ya... yang tabah ya...” gumam Hilya, pelan, pelan sekali, nyaris seperti sebuah bisikan.
Semua darah diwajah Nara surut, meninggalkan wajah cantik itu tanpa rona, pucat. Bibir Nara yang gemetar perlahan menyusun kalimat. “Apa maksud kamu?” tanya Nara gemetar. Nara tahu, ada sesuatu yang tidak beres dibalik perubahan nada bicara Hilya yang tiba-tiba.
“Garda, Ra. Garda...” gumam Hilya yang tak yakin harus bagaimana menyampaikan kenyataan yang pahit itu pada temannya.
“Kenapa Garda?” tanya Nara yang anehnya mendadak saja merasa begitu kuat, tegar dan berani. Hilya menghela napas. Sesuatu dalam suara Nara membuat keberaniannya bangkit. Setelah beberapa saat menghela napas, akhirnya Hilya memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Nara.
“Garda meninggal, Ra.”
Nara gemetar hebat, ponsel itu terjatuh begitu saja dari tangannya. Sambil menahan air matanya yang hendak membanjiri wajahnya, Nara jatuh terduduk dilantai kamarnya yang dingin sementara diluar sana,Uranus kembali memuntahkan air matanya, membasahi Gaia yang hanya bisa membisu.

Kali ini Nara menarik dirinya keluar dari kenangan menyakitkan itu. Nara sudah tidak sanggup, Nara tidak sanggup lagi mengingat kelanjutan dari kenangan menyakitkan itu. Nara tidak bisa lagi mengingat kembali detail kenangan tentang pemakaman Gardanara, juga detail kenangan hari-hari mendung yang ia lalui sendiri tanpa Gardanara. Dengan putus asa Nara mengalihkan tatapannya ke jendela kamarnya yang terbuka lebar, menampilkan hujan yang perlahan berubah menjadi gerimis sebelum akhirnya berhenti total. Nara bagkit perlahan, dengan kaki gemetar, berjalan mendekat kejendela seiring dengan awan-awan kelabu yang mulai menyingkir dan menyingkap sinar keemasan matahari yang terang menyilaukan, memeluk tubuhnya, menghangatkan tubuhnya serta menghibur hatinya.
Untuk satu kesempatan ini Nara tidak menutup jendelanya dan kembali mengubur dirinya dalam kegelapan, untuk satu kesempatan ini Nara menyambut cahaya matahari yang menghangatkan tubuhnya karena dari semua ingatan menyakitkan tentang Gardanara, Nara sadar, meski Nara tak lagi bisa memeluknya setiap kali hujan berhenti, masih ada sinar matahari yang akan memeluknya dan menghiburnya, seperti yang kerap dilakukan Gardanara. Hari ini, setela 389 hari kepergian Gardanara, untuk pertama kalinya Nara bisa tersenyum dan menatap matahari dengan hangat, menyambutnya sebagai teman lama, yang akan selalu datang setelah hujan, yang akan selalu menemukannya dimanapun ia berada, seperti Gardanara yang akan selalu menemukannya dimanapun ia berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar