Jumat, 29 November 2013

Malaikat Juga Tau



Pukul dua siang, aku melirik jam tanganku dengan perasaan puas yang begitu kentara. Aku tiba duluan, seperti biasanya. Dan seperti yang selalu ia lakukan, ia akan muncul denga santainya kira-kira lima belas menit lagi tanpa merasa bersalah karena telah membuatku menunggu. Aku menghela napas, tak peduli berapa lamapun ia membuatku menunggu, aku tahu, aku tak akan bisa marah, aku tak akan bisa meninggalkannya, bahkan aku tak akan bisa melakukan apapun yang akan menyakiti hatinya, karena ia terlalu berharga untukku.
Aku menyusuri taman kota yang tengah sepi itu. Pukul dua siang bukan waktu yang lazim bagi seseorang untuk bersantai, bukan? Apalagi mengingat tuntutan hidup yang semakin tinggi, jelas hampir semua orang kantoran saat ini tengah sibuk dengan rutinitas mereka, mereka bahkan tak memiliki waktu untuk sekedar duduk terlalu lama, apalagi berkunjung ke taman dan bersantai, jelas tidak mungkin.
Setelah mengelilingi taman yang tak begitu besar ini sekali-hanya dibutuhkan waktu lima menit untu melakukannya-aku menemukan sebuah bangku yang terletak dibawah naungan pohon akasia, membuatnya begitu rindang dan nyaman, apalagi bangku itu menghadap air mancur yang menjadi pusat taman, membuatku bisa menatap air mancur yang tidak besar namun indah itu, juga langit biru tanpa awan yang terhampar diatasnya. Sambil meletakkan ransel hitam kesayanganku ditanah dekat kakiku, aku duduk dibangku taman kosong itu dan mendongak, menatap langit biru tanpa awan dan membiarkan angin sepoi-sepoi di taman itu bermain-main dengan rambut ikal sebahuku yang sengaja kuurai hari ini.
“Sedang menikmati siang yang santai rupanya,” sapa Galang yang sudah duduk dengan santai disebelahku, sama sekali tak merasa bersalah karena telah membuatku menunggu hampir lima belas menit lamanya. “Sudah lama?” tanya Galang basa-basi sambil melepaskan jaket baseball yang dikenakannya dan meletakkannya diruang kosong diantara kami.
Dengan santai, aku menyandarkan kepalaku di bahu Galang sambil tetap menatap langit seperti yang selalu aku lakukan dulu, saat kami masih sering bermain dan berbagi segalanya bersama. Gilang membenahi posisinya, membuatku senyaman mungin, sementara aku hanya bisa menahan seulas senyum yang hendak terbit diwajahku.
“Tidak ada kuliah siang ini?” tanya Galang setelah hampir lima menit kami saling diam dan hanya menatap langit biru tanpa awan diatas sana.
“Bukanah kamu yang memintaku meninggalkan apapun yang akan aku lakukan siang ini dan menemuimu disini?” aku balik bertanya. Pertanyaan Galang membuatku teringat akan tujuan sebenarnya aku meninggalkan agenda kegiatanku hari ini dan menemui Galang. Kini aku sudah duduk dengan tegak, dengan posisi duduk miring empat puluh lima derajat kearah Galang agar aku bisa menatapnya saat ia bicara. Satu hal yang selalu kusukai dari Galang, ia tak pernah merasa risih ketika aku menatapnya lama-lama. “Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan? Kelihatannya emergency sekali,” tambahku sambil mengingat-ingat betapa bersikerasnya Galang memintaku datang menemuinya siang ini.
“Kamu nggak akan percaya ini, Fin!” seru Galang yang mendadak antusias. Sekarang posisi duduk Galang pun sedikit miring menghadapku. “Aku yakin kamu nggak akan pernah percaya ini!” serunya lagi sambil melontarkan tangannya keatas penuh semangat sementara aku hanya bisa menatap Galang dengan heran. Beberapa saat yang lalu Galang tampak santai-santai saja, tapi sekarang Galang tampak begitu bersemangat dan bahagia. Apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir kali aku melihat Galang seperti ini itupun saat ia baru saja mendapatkan SIM-nya dan ia mendapat hadiah motor gede dari kedua orang tuanya. Apakah mungkin Galang baru saja mendapatkan hadiah yang sangat didambakannya lagi? Tapi hari ini jelas bukan hari ulang tahunnya, dan hari ini pun bukan hari spesial.
“Apakah kamu baru saja mendapat motor gede yang lain?” tanyaku terheran-heran. Sikap Galang hari ini benar-benar membuatku bingung. Dan sialnya, otakku yang sudah kepenuhan ini tak bisa menemukan jawabannya secepat yang kuinginkan.
“Hah? Motor gede yang lain? Apa maksudmu?” Galang justru balik bertanya sambil menatapku dengan heran. Oh... oh... rupanya aku salah menduga.
“Terakhir kali aku melihat kamu seperti ini itu saat kamu mendapatkan motor gede. Aku kira kamu mungkin mendapat sesuatu yang lain yang sangat kamu harapkan,” jelasku.
“Oh, Fin...” desah Galang, sebelum memelukku. Meski aku tengah penasaran setengah mati dengan apa yang sedang terjadi pada Galang, aku balas memeluknya, seperti yang selalu aku lakukan. “Kamu adalah teman terbaik yang kumiliki, kamu mengenalku, sangat mengenalku. Tapi kali ini bukan karena motor gede”
Teman. Aku tersenyum kecut. Status itu lah yang mencekikku selama bertahun-tahun ini, bahan status itulah yang menghalangi semua jalanku. Dan sekarang, sekali lagi aku haru dihadapkan pada masalah yang sama yang disebabkan status itu. Dan apa pilihan yang tersisa untukku selain diam?
“Lantas apa yang membuatmu bahagia seperti ini?” tanyaku seraya menarik lepas tubuhku dari pelukan Galang sehalus mungkin agar ia tak perlu merasa tersinggung. Dan rupanya berhasil, Galang sama sekali tak tersinggung, ia justru tersenyum lebar.
“Aku jatuh cinta!” pekik Galang.
Oh.. mendadak aku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa menatap Galang dalam diam, aku bahkan masih diam saat ia kembali memelukku dan melepaskan aku lagi. Mungkinkah apa yang aku rasakan saat ini benar-benar tidak nampak meski aku hanya diam ditengah semua euforianya, ataukah memang Galang yang tak peka dengan perasaanku? Karena sekarang Galang kembali merubah posisinya, tidak lagi duduk menyamping, melainkan duduk tegang sambil mendongak menatap langit.
“Kamu pasti diam karena kamu tidak percaya, Fin. Aku juga begitu, aku tidak percaya aku bisa mencintai perempuan lain setelah kematian Bella. Tapi inilah yang terjadi Fin, aku sedang jatuh cinta sekarang dan gadis itu...”
Aku memejamkan mata, tak sanggup lagi mendengar apa yang akan dikatakan Galang. Ia mengatakan semua itu sambil tersenyum sementara matanya menatap penuh kebahagiaan ke langit biru tak berawan yang terbentang diatas kami. Aku berharap, meski harapan itu mustahil kalau namakulah yang akan disebuatkannya. Tapi tak peduli seberapa keras aku membuat diriku berharap, toh aku tetap tahu kalau Galang tak akan menyebutkan namaku. Karena aku bukan gadis yang membuatnya jatuh cinta, karena aku bukan gadis yang bisa mengambil alih posisi Bella dihatinya. Karena aku hanyalah temannya... temannya, tidak lebih.
“gadis itu adalah Sandra!” Galang menyelesaikan kalimatnya. Dan yang bisa kulakukan hanya menghela napas. Terlambat sudah. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Sampai kapanpun aku hanya teman untuk Galang, tak akan pernah berubah. Kami masih tetap berbagi, tapi tidak soal jatuh hati. Galang memilih jalannya sendiri, dan apa yang bisa aku lakukan selain memberikan dukungan untuknya? Untuk kedua kalinya aku menghela napas panjang, memejamkan mataku sejenak sebelum menunduk menatap rerumputan disekitar kakiku. Perlahan, aku mulai menata perasaanku sebelum akhirnya aku kembali menatap langit sambil tersenyum. Mungkin bagi Galang aku adalah temannya, tapi langit, udara bahkan malaikat pun juga tau kalau aku mencintainya, lebih dari hidupku.
“Selamat. Aku senang akhirnya kamu bisa jatuh cinta lagi,” ujarku setelus yang aku bisa. Galang tersenyum kearahku dan memelukku erat membuatku sekali lagi berharap kalau aku bukanlah temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar