Pukul
dua siang, aku melirik jam tanganku dengan perasaan puas yang begitu kentara.
Aku tiba duluan, seperti biasanya. Dan seperti yang selalu ia lakukan, ia akan
muncul denga santainya kira-kira lima belas menit lagi tanpa merasa bersalah
karena telah membuatku menunggu. Aku menghela napas, tak peduli berapa lamapun
ia membuatku menunggu, aku tahu, aku tak akan bisa marah, aku tak akan bisa
meninggalkannya, bahkan aku tak akan bisa melakukan apapun yang akan menyakiti
hatinya, karena ia terlalu berharga untukku.
Aku
menyusuri taman kota yang tengah sepi itu. Pukul dua siang bukan waktu yang
lazim bagi seseorang untuk bersantai, bukan? Apalagi mengingat tuntutan hidup
yang semakin tinggi, jelas hampir semua orang kantoran saat ini tengah sibuk
dengan rutinitas mereka, mereka bahkan tak memiliki waktu untuk sekedar duduk
terlalu lama, apalagi berkunjung ke taman dan bersantai, jelas tidak mungkin.
Setelah
mengelilingi taman yang tak begitu besar ini sekali-hanya dibutuhkan waktu lima
menit untu melakukannya-aku menemukan sebuah bangku yang terletak dibawah
naungan pohon akasia, membuatnya begitu rindang dan nyaman, apalagi bangku itu
menghadap air mancur yang menjadi pusat taman, membuatku bisa menatap air
mancur yang tidak besar namun indah itu, juga langit biru tanpa awan yang
terhampar diatasnya. Sambil meletakkan ransel hitam kesayanganku ditanah dekat
kakiku, aku duduk dibangku taman kosong itu dan mendongak, menatap langit biru
tanpa awan dan membiarkan angin sepoi-sepoi di taman itu bermain-main dengan
rambut ikal sebahuku yang sengaja kuurai hari ini.
“Sedang
menikmati siang yang santai rupanya,” sapa Galang yang sudah duduk dengan
santai disebelahku, sama sekali tak merasa bersalah karena telah membuatku
menunggu hampir lima belas menit lamanya. “Sudah lama?” tanya Galang basa-basi
sambil melepaskan jaket baseball yang dikenakannya dan meletakkannya diruang
kosong diantara kami.
Dengan
santai, aku menyandarkan kepalaku di bahu Galang sambil tetap menatap langit
seperti yang selalu aku lakukan dulu, saat kami masih sering bermain dan
berbagi segalanya bersama. Gilang membenahi posisinya, membuatku senyaman
mungin, sementara aku hanya bisa menahan seulas senyum yang hendak terbit
diwajahku.
“Tidak
ada kuliah siang ini?” tanya Galang setelah hampir lima menit kami saling diam
dan hanya menatap langit biru tanpa awan diatas sana.
“Bukanah
kamu yang memintaku meninggalkan apapun yang akan aku lakukan siang ini dan
menemuimu disini?” aku balik bertanya. Pertanyaan Galang membuatku teringat
akan tujuan sebenarnya aku meninggalkan agenda kegiatanku hari ini dan menemui
Galang. Kini aku sudah duduk dengan tegak, dengan posisi duduk miring empat
puluh lima derajat kearah Galang agar aku bisa menatapnya saat ia bicara. Satu
hal yang selalu kusukai dari Galang, ia tak pernah merasa risih ketika aku
menatapnya lama-lama. “Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan? Kelihatannya
emergency sekali,” tambahku sambil mengingat-ingat betapa bersikerasnya Galang
memintaku datang menemuinya siang ini.
“Kamu
nggak akan percaya ini, Fin!” seru Galang yang mendadak antusias. Sekarang
posisi duduk Galang pun sedikit miring menghadapku. “Aku yakin kamu nggak akan
pernah percaya ini!” serunya lagi sambil melontarkan tangannya keatas penuh
semangat sementara aku hanya bisa menatap Galang dengan heran. Beberapa saat
yang lalu Galang tampak santai-santai saja, tapi sekarang Galang tampak begitu
bersemangat dan bahagia. Apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir kali aku melihat
Galang seperti ini itupun saat ia baru saja mendapatkan SIM-nya dan ia mendapat
hadiah motor gede dari kedua orang tuanya. Apakah mungkin Galang baru saja
mendapatkan hadiah yang sangat didambakannya lagi? Tapi hari ini jelas bukan
hari ulang tahunnya, dan hari ini pun bukan hari spesial.
“Apakah
kamu baru saja mendapat motor gede yang lain?” tanyaku terheran-heran. Sikap
Galang hari ini benar-benar membuatku bingung. Dan sialnya, otakku yang sudah
kepenuhan ini tak bisa menemukan jawabannya secepat yang kuinginkan.
“Hah?
Motor gede yang lain? Apa maksudmu?” Galang justru balik bertanya sambil
menatapku dengan heran. Oh... oh... rupanya aku salah menduga.
“Terakhir
kali aku melihat kamu seperti ini itu saat kamu mendapatkan motor gede. Aku
kira kamu mungkin mendapat sesuatu yang lain yang sangat kamu harapkan,”
jelasku.
“Oh,
Fin...” desah Galang, sebelum memelukku. Meski aku tengah penasaran setengah
mati dengan apa yang sedang terjadi pada Galang, aku balas memeluknya, seperti
yang selalu aku lakukan. “Kamu adalah teman terbaik yang kumiliki, kamu
mengenalku, sangat mengenalku. Tapi kali ini bukan karena motor gede”
Teman.
Aku tersenyum kecut. Status itu lah yang mencekikku selama bertahun-tahun ini,
bahan status itulah yang menghalangi semua jalanku. Dan sekarang, sekali lagi
aku haru dihadapkan pada masalah yang sama yang disebabkan status itu. Dan apa
pilihan yang tersisa untukku selain diam?
“Lantas
apa yang membuatmu bahagia seperti ini?” tanyaku seraya menarik lepas tubuhku
dari pelukan Galang sehalus mungkin agar ia tak perlu merasa tersinggung. Dan
rupanya berhasil, Galang sama sekali tak tersinggung, ia justru tersenyum
lebar.
“Aku
jatuh cinta!” pekik Galang.
Oh..
mendadak aku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa menatap Galang dalam diam,
aku bahkan masih diam saat ia kembali memelukku dan melepaskan aku lagi.
Mungkinkah apa yang aku rasakan saat ini benar-benar tidak nampak meski aku
hanya diam ditengah semua euforianya, ataukah memang Galang yang tak peka
dengan perasaanku? Karena sekarang Galang kembali merubah posisinya, tidak lagi
duduk menyamping, melainkan duduk tegang sambil mendongak menatap langit.
“Kamu
pasti diam karena kamu tidak percaya, Fin. Aku juga begitu, aku tidak percaya
aku bisa mencintai perempuan lain setelah kematian Bella. Tapi inilah yang
terjadi Fin, aku sedang jatuh cinta sekarang dan gadis itu...”
Aku
memejamkan mata, tak sanggup lagi mendengar apa yang akan dikatakan Galang. Ia
mengatakan semua itu sambil tersenyum sementara matanya menatap penuh
kebahagiaan ke langit biru tak berawan yang terbentang diatas kami. Aku
berharap, meski harapan itu mustahil kalau namakulah yang akan disebuatkannya.
Tapi tak peduli seberapa keras aku membuat diriku berharap, toh aku tetap tahu
kalau Galang tak akan menyebutkan namaku. Karena aku bukan gadis yang membuatnya
jatuh cinta, karena aku bukan gadis yang bisa mengambil alih posisi Bella
dihatinya. Karena aku hanyalah temannya... temannya, tidak lebih.
“gadis
itu adalah Sandra!” Galang menyelesaikan kalimatnya. Dan yang bisa kulakukan
hanya menghela napas. Terlambat sudah. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan.
Sampai kapanpun aku hanya teman untuk Galang, tak akan pernah berubah. Kami
masih tetap berbagi, tapi tidak soal jatuh hati. Galang memilih jalannya
sendiri, dan apa yang bisa aku lakukan selain memberikan dukungan untuknya?
Untuk kedua kalinya aku menghela napas panjang, memejamkan mataku sejenak
sebelum menunduk menatap rerumputan disekitar kakiku. Perlahan, aku mulai
menata perasaanku sebelum akhirnya aku kembali menatap langit sambil tersenyum.
Mungkin bagi Galang aku adalah temannya, tapi langit, udara bahkan malaikat pun
juga tau kalau aku mencintainya, lebih dari hidupku.
“Selamat.
Aku senang akhirnya kamu bisa jatuh cinta lagi,” ujarku setelus yang aku bisa.
Galang tersenyum kearahku dan memelukku erat membuatku sekali lagi berharap
kalau aku bukanlah temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar