5.30 AM
Selene mendesah dan
membuka matanya. Didorongnya selimut tebal berwarna pink itu hingga turun
sebatas pinggang, sementara Selene masih enggan turun dari ranjangnya. Hari
masih terlalu pagi, bahkan untuk seorang mahasiswa. Biasanya Selene baru akan
turun dari ranjangnya pukul 7.30 pagi untuk mandi dan membereskan kamarnya
sebelum ia berangkat kuliah pukul 8.50 seperti yang tertera di jadwal
kuliahnya, alih-alih berangkat lebih pagi. Namun hari ini Selene lebih memilih
untuk menghabiskan harinya bergelung ditempat tidur karena tak ada rentetan
kuliah yang menunggunya. Lagipula dosen mana yang rela menyia-nyiakan hari
sabtu mereka untuk kuliah. Bahkan Selene pun enggan meninggalkan ranjang,
apalagi mereka. Dengan malas Selene meraih ponselnya, mengusap layarnya lembut
hanya untuk melihat ponsel itu mati total kehabisan baterai. Mengerang jengkel,
Selene bangkit dan meraih ponsel lamanya, memasukkan kartu perdana-nya ke
ponsel jadul itu sebelum mengaktifkannya. Ia sedang malas men-charge
Android-nya, jadi Selene lebih memilih ponsel lamanya yang sudah ketinggalan
zaman.
Lima menit kemudian
Selene menghabiskan waktunya dengan menatap kosong layar ponselnya, menunggu
ponsel itu benar-benar sudah aktif dan bisa digunakan tanpa harus
tersendat-sendat karena belum loading sepenuhnya. Akhirnya, setelah lima menit
yang panjang dan membosankan, ponsel itu menyala sepenuhnya, disambut senyuman
manis dari Selene. Ia mencoret rencana untuk membuang ponsel jadul ini dalam
benaknya.
Iseng, karena tidak
bisa kembali tidur, Selene membuka fitur pesan dan menjelajahi pesan-pesan lama
yang masuk ke dalam ponsel-nya itu hingga akhirnya, diurutan terbawah pesan
masuknya, Selene menemukan sebuah pesan dari seseorang yang tak asing lagi
dengan hati dan masa lalunya, mantan kekasihnya.
Selene terdiam. Ia
masih tidak yakin untuk membuka pesan itu. Ia takut hatinya akan terluka lagi,
tapi akhirnya, rasa penasaranlah yang menang. Setelah memantapkan hatinya,
Selene membuka pesan itu dan terdiam. Bahkan waktu pun seakan ikut terdiam
bersamanya. Pesan itu… pesan itu sama sekali tidak mengandung kata-kata yang
menyakiti hatinya. Justru sebaliknya, dalam pesan itu ada kata-kata yang
menguatkannya. Kata-kata yang membentuk beberapa kalimat manis yang Selene
yakin, ketika ia membacanya, ia pasti tersenyum bahagia sambil tersipu.
Selene kembali
tertegun, ia dulu pernah bahagia. Ya… ia yakin sekarang. Pesan inilah buktinya.
Pesan inilah yang mengingatkannya kalau ia dulu pernah bahagia. Kalau ia dulu
pernah merasa begitu dicintai, dilindungi dan diinginkan. Tapi sekarang… Selene
mendesah, menutup pesan itu hanya untuk mendapati ada tujuh pesan yang datang
dari orang yang sama, mantan kekasih terakhirnya. Dan tanpa diminta pun,
kenangan-kenangan yang dengan usaha keras telah Selene coba lupakan kini
melesak dalam ingatannya. Berjejalan, berebut untuk kembali digapai setelah
sekian lama dibiarkan terdiam disudut kenangan dan berdebu disana.
“Cukup!” Selene
tersentak sambil membuka matanya. Butuh usaha yang begitu keras untuk Selene
memaksa otaknya berhenti memutar gambaran-gambaran bahagia itu. Dan Selene
yakin, butuh usaha dua kali lebih keras untuk membuat hatinya keras seperti
sebelumnya.
Selene ingat sekarang,
ingat dengan sangat jelas betapa ia dulu merasa bahagia. Ia ingat ia dulu
sering tersenyum sendiri sambil tersipu tiap kali membaca pesan singkat dari
mantan kekasihnya itu. Dan sialnya, Selene juga ingat kalau dia-lah yang
mengakhiri kebahagiaan itu. Kalau pilihannya sendiri lah yang membuat Selene
merana seperti sekarang.
Selene ingat dengan
sangat jelas, dulu ia lah yang memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Alasannya
sederhana, karena kekasihnya tak pernah mau di ajak bertengkar olehnya.
Kekasihnya itu terlalu sabar, terlalu baik hati dan terlalu sering mengalah
hingga bagi Selene, hubungan yang baik-baik saja dan berjalan lancar itu ia
anggap membosankan. Kemudian Selene menemukan banyak keasyikan lain diluar
kekasihnya yang berada puluhan kilometer jauhnya darinya dan Selene terlalu
asyik dengan semua itu hingga ia tak ingin kekasihnya-yang menurutnya-terlalu
membosankan itu menganggu hidupnya yang kelewat menyenangkan. Perlahan tapi
pasti Selene mulau mengabaikan kekasihnya. Ia mulai jarang membalas pesan
singkat kekasihnya itu bahkan Selene menolak ketika di telfon ataupun di ajak
ber-video call ria. Hingga akhirnya, lewat ledekan temannya yang menyuruh
Selene memutuskan kekasihnya, Selene mengambil tindakan gegabah itu dan
mengakhiri hubungan yang menurutnya dulu sangat membosankan yang sekarang jujur
saja sangat Selene rindukan. Selene menghela napas. Kenyataan terbentang nyata
didepannya, tampak kosong dan begitu pahit.
Sekarang ia merindukan
mantan kekasihnya, bahkan ia ingin kembali seperti dulu, ketika ia merasa
begitu bahagia, diinginkan, dicintai dan dilindungi. Tapi sekarang yang tersisa
untuknya hanyalah kekosongan karena mantan kekasihnya yang dulu ia anggap
membosankan kini telah memiliki seseorang yang jauh lebih baik dari padanya.
Selene menghela napas dan bergelung makin rapat dibalik selimutnya. Penyesalan
itu terasa mencekiknya, membuatnya makin enggan meninggalkan kepompong
hangatnya. Pertahanan terakhir yang ia miliki, pertahanan terakhir untuk Selene
menghadapi dunia nyata yang begitu sepi tanpa hadirnya seseorang yang telah ia
sakiti karena kebodohannya. Perlahan Selene menutup matanya, mengusir semua
kenangan dan penyesalan itu keluar dari dalam hati dan otaknya. Sebelum
bergumam dengan lembut dan tertidur.
“Aku dulu pernah
bahagia…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar