Rabu, 18 Desember 2013

I Used To Be Happy…



5.30 AM
Suara lembut Joyce Jonathan mengalun lembut menembus keheningan pagi. Gadis itu, Selene, yang meringkuk manja dibalik lindungan selimut tebalnya yang hangat dan nyaman mulai menggeliat. Mimpinya telah usai, kini sudah saatnya gadis sembilan belas tahun itu terbangun dan menghadapi sebentuk kenyataan yang tak lebih indah dari pada mimpi. Un Peu D’espoir-nya Joyce Jonathan masih mengalun, membuat Selene mengerang jengkel sebelum meraih ponselnya itu dan mengusap layarnya lembut, membungkam nyanyian Joyce Jonathan yang belum usai.

Selene mendesah dan membuka matanya. Didorongnya selimut tebal berwarna pink itu hingga turun sebatas pinggang, sementara Selene masih enggan turun dari ranjangnya. Hari masih terlalu pagi, bahkan untuk seorang mahasiswa. Biasanya Selene baru akan turun dari ranjangnya pukul 7.30 pagi untuk mandi dan membereskan kamarnya sebelum ia berangkat kuliah pukul 8.50 seperti yang tertera di jadwal kuliahnya, alih-alih berangkat lebih pagi. Namun hari ini Selene lebih memilih untuk menghabiskan harinya bergelung ditempat tidur karena tak ada rentetan kuliah yang menunggunya. Lagipula dosen mana yang rela menyia-nyiakan hari sabtu mereka untuk kuliah. Bahkan Selene pun enggan meninggalkan ranjang, apalagi mereka. Dengan malas Selene meraih ponselnya, mengusap layarnya lembut hanya untuk melihat ponsel itu mati total kehabisan baterai. Mengerang jengkel, Selene bangkit dan meraih ponsel lamanya, memasukkan kartu perdana-nya ke ponsel jadul itu sebelum mengaktifkannya. Ia sedang malas men-charge Android-nya, jadi Selene lebih memilih ponsel lamanya yang sudah ketinggalan zaman.
Lima menit kemudian Selene menghabiskan waktunya dengan menatap kosong layar ponselnya, menunggu ponsel itu benar-benar sudah aktif dan bisa digunakan tanpa harus tersendat-sendat karena belum loading sepenuhnya. Akhirnya, setelah lima menit yang panjang dan membosankan, ponsel itu menyala sepenuhnya, disambut senyuman manis dari Selene. Ia mencoret rencana untuk membuang ponsel jadul ini dalam benaknya.
Iseng, karena tidak bisa kembali tidur, Selene membuka fitur pesan dan menjelajahi pesan-pesan lama yang masuk ke dalam ponsel-nya itu hingga akhirnya, diurutan terbawah pesan masuknya, Selene menemukan sebuah pesan dari seseorang yang tak asing lagi dengan hati dan masa lalunya, mantan kekasihnya.
Selene terdiam. Ia masih tidak yakin untuk membuka pesan itu. Ia takut hatinya akan terluka lagi, tapi akhirnya, rasa penasaranlah yang menang. Setelah memantapkan hatinya, Selene membuka pesan itu dan terdiam. Bahkan waktu pun seakan ikut terdiam bersamanya. Pesan itu… pesan itu sama sekali tidak mengandung kata-kata yang menyakiti hatinya. Justru sebaliknya, dalam pesan itu ada kata-kata yang menguatkannya. Kata-kata yang membentuk beberapa kalimat manis yang Selene yakin, ketika ia membacanya, ia pasti tersenyum bahagia sambil tersipu.
Selene kembali tertegun, ia dulu pernah bahagia. Ya… ia yakin sekarang. Pesan inilah buktinya. Pesan inilah yang mengingatkannya kalau ia dulu pernah bahagia. Kalau ia dulu pernah merasa begitu dicintai, dilindungi dan diinginkan. Tapi sekarang… Selene mendesah, menutup pesan itu hanya untuk mendapati ada tujuh pesan yang datang dari orang yang sama, mantan kekasih terakhirnya. Dan tanpa diminta pun, kenangan-kenangan yang dengan usaha keras telah Selene coba lupakan kini melesak dalam ingatannya. Berjejalan, berebut untuk kembali digapai setelah sekian lama dibiarkan terdiam disudut kenangan dan berdebu disana.
“Cukup!” Selene tersentak sambil membuka matanya. Butuh usaha yang begitu keras untuk Selene memaksa otaknya berhenti memutar gambaran-gambaran bahagia itu. Dan Selene yakin, butuh usaha dua kali lebih keras untuk membuat hatinya keras seperti sebelumnya.
Selene ingat sekarang, ingat dengan sangat jelas betapa ia dulu merasa bahagia. Ia ingat ia dulu sering tersenyum sendiri sambil tersipu tiap kali membaca pesan singkat dari mantan kekasihnya itu. Dan sialnya, Selene juga ingat kalau dia-lah yang mengakhiri kebahagiaan itu. Kalau pilihannya sendiri lah yang membuat Selene merana seperti sekarang.
Selene ingat dengan sangat jelas, dulu ia lah yang memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Alasannya sederhana, karena kekasihnya tak pernah mau di ajak bertengkar olehnya. Kekasihnya itu terlalu sabar, terlalu baik hati dan terlalu sering mengalah hingga bagi Selene, hubungan yang baik-baik saja dan berjalan lancar itu ia anggap membosankan. Kemudian Selene menemukan banyak keasyikan lain diluar kekasihnya yang berada puluhan kilometer jauhnya darinya dan Selene terlalu asyik dengan semua itu hingga ia tak ingin kekasihnya-yang menurutnya-terlalu membosankan itu menganggu hidupnya yang kelewat menyenangkan. Perlahan tapi pasti Selene mulau mengabaikan kekasihnya. Ia mulai jarang membalas pesan singkat kekasihnya itu bahkan Selene menolak ketika di telfon ataupun di ajak ber-video call ria. Hingga akhirnya, lewat ledekan temannya yang menyuruh Selene memutuskan kekasihnya, Selene mengambil tindakan gegabah itu dan mengakhiri hubungan yang menurutnya dulu sangat membosankan yang sekarang jujur saja sangat Selene rindukan. Selene menghela napas. Kenyataan terbentang nyata didepannya, tampak kosong dan begitu pahit.
Sekarang ia merindukan mantan kekasihnya, bahkan ia ingin kembali seperti dulu, ketika ia merasa begitu bahagia, diinginkan, dicintai dan dilindungi. Tapi sekarang yang tersisa untuknya hanyalah kekosongan karena mantan kekasihnya yang dulu ia anggap membosankan kini telah memiliki seseorang yang jauh lebih baik dari padanya. Selene menghela napas dan bergelung makin rapat dibalik selimutnya. Penyesalan itu terasa mencekiknya, membuatnya makin enggan meninggalkan kepompong hangatnya. Pertahanan terakhir yang ia miliki, pertahanan terakhir untuk Selene menghadapi dunia nyata yang begitu sepi tanpa hadirnya seseorang yang telah ia sakiti karena kebodohannya. Perlahan Selene menutup matanya, mengusir semua kenangan dan penyesalan itu keluar dari dalam hati dan otaknya. Sebelum bergumam dengan lembut dan tertidur.
“Aku dulu pernah bahagia…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar