Tes…
Tetesan
hujan itu mengejutkanku. Sambil mengangkat sebelah tanganku keatas dan
mempererat peganganku pada ranselku yang kupeluk erat didada, aku berlari-lari
kecil menuju halte terdekat untuk berteduh dan menunggu bus yang biasa
kutumpangi setiap harinya. Ini adalah tetesan hujan pertama dibulan januari
yang seharusnya datang sejak seminggu yang lalu.
“Sialan,”umpatku
saat aku sampai dibawah naungan atap halte.
“maaf?”sahut
sebuah suara bening yang sama sekali tak kuperhatikan keberadaannya. Aku
menoleh dan menadapati gadis bermata bulat dan bening itu sedang menatapku
dengan heran. Aku balik menatapnya. Posisinya yang aneh membuatku penasaran. Ia
berdiri agak maju kejalan, tangannya terulur dan menengadar kearah hujan yang
semakin lama semakin deras.
“hanya
mengumpat pada hujan,”jawabku enggan. Aku berharap kalau gadis ini tak
mendengarkan umpatanku, tapi sayang, sepertinya ia sudah mendengar umpatanku
barusan. Oh tuhan! Apa yang dipikirkannya tentangku barusan?
Gadis
itu mengerutkan keningnya. Ia tampak tak suka dengan jawabanku. Mungkinkah ia
tersinggung dan mengira aku mengumpat padanya? Pertanyaanku terjawab saat ia
melontarkan sebuah komentar sarkatis yang membuatku memutar bola mataku saat
mendengarnya.
“Hujan
adalah salah satu cara langit untuk bersilaturahmi dengan bumi,”komentar gadis
itu sarkatis sebelum memasukkan ponselnya yang semula ada disakunya kedalam tas
ranselnya yang aku tahu terbuat dari bahan kedap air. Kemudian tanpa mengatakan
apapun, gadis itu meninggalkanku. Berjalan lambar-lambat menembus hujan seolah
ia menikmati setiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Setelah gadis itu
cukup jauh, aku baru menyadari jika gadis itu… cantik sekali.
“Hatchi…”
Entah
sudah berapa kali aku bersin hari ini. Kemarin setelah aku bertemu gadis itu,
aku memang nekat menembus hujan. Aku berniat menyusul gadis itu dan meminta
maaf padanya, tapi hingga aku sampai dihalte berikutnya, aku sama sekali tak
menemukan gadis itu. Sia-sia sajalah usahaku menembus hujan dan terkena flu
demi gadis itu.
“habis
ujan-ujanan ya lo,”komentar Kelvin sambil mengenyakkan pantatnya disebelahku.
Dengan kesal aku menggeser posisi dudukku, sedikit agak menjauh dari Kelvin
yang memang hobi duduk dekat-dekat itu.
“Nggak
lihat ya gue flu berat gini,”komentarku ketus. Tapi bukannya tersinggung Kelvin
malah nyengir dan mengambil sesuatu dari saku kemejanya.
“dari
pada lo marah-marah nggak jelas, lebih baik lo kasih komentar tentang cewek
gebetan gue yang satu ini,”ujar Kelvin bangga sambil menyodorkan selembar foto
yang diambilnya dari saku kemejanya tadi.
Dengan
jengkel aku mengambil foto gadis Kelvin itu dan mengamatinya. Bukankah? Aku
mengamati lebih teliti lagi. Dan benar, gadis ini memang gadis dihalte siang
itu. Gadis yang menceramahiku tentang hujan. Gadis yang sejak semalam memenuhi
lamunanku. Dalam foto itu gadis itu tampak sangat natural. Senyumnya pun bukan
senyum yang sengaja dibuat-buat, asumsiku, foto itu memang diambil tanpa
sepengetahuan si gadis halte.
“cantik,”komentarku
singkat sambil menyembunyikan rasa tertarik dalam diriku. “Siapa namanya?”
Kelvin
nyengir. Secepat kilat ia mengambil foto itu dari tanganku dan mengantonginya.
“Namanya Frea, satu tahun dibawah kita,”jelas Kelvin dengan bangga. Aku
mengangguk, pura-pura tak peduli meski kenyataannya aku penasaran setengah
mati. Frea, nama yang cantik, secantik orangnya, batinku senang.
Gadis
itu…
Aku
mempercepat langkahku menuju halte. Gadis itu berdiri disana sendirian, seperti
terakhir kali aku melihatnya dua hari yang lalu. Kira-kira apa yang ia lakukan
disekolah hingga ia harus pulang sesore ini sendirian?
“hai,”sapaku.
Gadis
itu menoleh dan tampak terkejut dengan sapaanku yang tiba-tiba. “kamu…” gadis
itu tampak ragu. Matanya yang semula membulat, kini justru menyipit menatapku.
Aku tersenyum dan dengan sekasual mungkin mengulurkan tangan kearahnya.
“Daniel,
dua hari yang lalu kita ketemu disini,”
Gadis
itu menyambut uluran tanganku dan tersenyum simpul. Sepertinya ia ingat kalau
kami pernah bertemu sebelumnya. “Frea,”gumamnya sopan sebelum cepat-cepat
menarik tangannya kembali saat sebuah bus-yang menurut asumsiku adalah bus yang
akan ditumpanginya-berhenti dihadapan kami. “duluan,”pemitnya sebelum berjalan
meninggalkanku dan naik keatas bus lewat pintu dekat sopir yang lebih dekat
dengan posisinya.
Bus
itu mulai berjalan pelan, dan aku baru tersadar dari lamunanku. Cepat-cepat aku
berlari mengejar bus itu dan naik lewat pintu belakang. Entah apa yang aku
pikirkan, tapi yang jelas saat ini aku ingin memastikan gadis cantik bernama
Frea itu sampai dirumahnya dengan selamat.
Gadis
itu berjalan pelan, anggun. Sementara aku harus berulang kali bersembunyi
dibalik podon ataupun baliho besar setiap kali gadis itu berbalik untuk
mengecek. Ini bukan pertama kalinya aku mengikuti Frea dan memastikan ia tiba
dirumahnya dengan selamat, jadi aku sudah terbiasa mengendap-endap beberapa
meter dibelakang Frea agar tak tertinggal darinya. Tapi sore ini sepertinya
Frea curiga ia merasa diikuti karena gadis itu mempercepat langkahnya hingga
aku kehilangan jejaknya disebuah belokan. Aku ikut berbelok dan frustasi ketika
mendapati Frea tak lagi dalam jarak pandangku.
“Ehem,”
Aku
tersentak dan berbalik. Dan betapa malunya aku saat mendapati Frea bersandar
disebuah pohon tepat dibelokan itu. Sepertinya Frea benar-benar sadar kalau ia
sedang diikuti.
“Ngapain
sih ngikutin aku terus?”Tanya gadis itu. Aku tersentak. Nada sinis dalam
suaranya benar-benar indah saat melewati gendang telingaku. Oh tuhan! Aku pasti
sudah gila saat ini.
“Cuma
ingin memastikan kalau kamu sampai dirumah dengan selamat,”akuku.
Kesinisan
dalam wajah Frea lenyap seketika dan digantikan oleh senyum manis penuh
pengertian. Oh tuhan… sepertinya kali ini dewi fortuna tengah berpihak padaku.
Mungkinkah saat ini Aphrodite telah mempersembahkan hati Frea untukku???
“Hei
bro!”sapaku saat mendapati Kelvin duduk dengan wajah murung dikantin.
Sepertinya hari ini mood sepupuku itu sedang rendah-rendahnya. Tidak biasanya
Kelvin yang lincah dan tidak mau diam jadi pemurung seperti ini. Pasti ada hal
luar biasa yang terjadi pada hatinya yang terbuat dari baja itu.
“hei,”sapa
Kelvin lemah. Semangat yang semula meledak-ledak dalam dirinya kini hilang
entah kemana. Menguap begitu saja.
“lo
kenapa? Kayak orang kalah taruhan aja,”komentarku asal sambil berharap Kelvin
akan menertawai komentarku. Tapi bukannya tertawa terbahak-bahak, Kelvin justru
tampak lebih murung. “lo kenapa sih, bro?”tanyaku lagi.
“patah
hati gue. Frea sejak beberapa hari ini sikapnya dingin banget sama gue.
Kayaknya dia udah punya pacar,”jelas Kelvin putus asa. Aku merasakan sebuah
pedang menghunus jantungku, menimbulkan rasa bersalah yang teramat sangat.
Selama ini aku lupa jika Kelvin menyukai Frea. Aku bahkan lupa jika Kelvin-lah
yang pertama kali mendekati Frea. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku
dan Frea sudah kelewat jauh. Kami tak lagi sekedar teman, tapi kami lebih dari
itu meski belum bisa dibilang pacar. Haruskah aku mengatakan pada Kelvin
tentang Frea?
“kamu
kenapa sih, Dan? Kok murung gitu?”desak Frea setelah beberapa kali aku mengelak
dari menjawab pertanyaannya. Aku hanya menggeleng. Frea tidak perlu tahu. Frea
tidak perlu ikut gundah bersamaku. Biarlah dia hidup dalam kebahagiaannya,
setidaknya untuk saat ini sampai aku mengambil keputusan yang tepat.
“kamu
ada masalah ya, Dan?”Tanya Frea lagi. Kening Frea berkerut hingga kedua alisnya
bertemu diatas hidungnya. Sambil tersenyum simpul aku menyentuh kerutan didahi
Frea dan menghaluskannya, membuat pipi Frea memerah seketika.
“berjanjilah
untuk selalu tersenyum, oke”pintaku setelah semburat dipipi Frea perlahan
menghilang. Meski saat itu mata bulat Frea dipenuhi tanda tanya, tapi akhirnya
Frea mengangguk dan memberikan janjinya padaku tanpa bertanya apapun lagi.
“jadi…
yang selama ini deket sama Frea ternyata elo, Dan,”tuduh Kelvin dingin. Aku
menghela napas. Cepat atau lambat Kelvin pasti akan tahu, dan jika saat itu
terjadi, aku sudah harus siap dengan segala konsekuensi yang kuterima.
“Iya.
Gue emang deket sama_”
“Emang
sialan ya lo!”maki Kelvin.
“calm
down, bro.”ujarku berusaha setenang mungkin. “gue sama Frea Cuma temanan aja,
sumpah,”
Kelvin
diam. Ia tampak sedang berpikir keras. Ya, aku memang tidak berbohong. Aku dan
Frea hanya berteman, meski kedekatan kami saat ini sudah melebihi teman.
“lo
nggak lagi bohong kan sama gue?”tanya Kelvin setelah beberapa saat ia diam.
Saat itulah melalui ekor mataku aku melihat Frea bersembunyi dibalik pohon
besar yang letaknya lumayan dekat dengan kami. Aku tahu Frea pasti tengah
mendengar pembicaraan kami.
“Buat
apa gue bohong sama lo? Lo sepupu gue, Vin. Gue nggak akan menusuk lo dari
belakang,”jelasku. Rasanya aku ingin menggigit lidahku sendiri saat aku bilang
pada Kelvin kalau aku tak akan menusuknya dari belakang. Sungguh kata-kata yang
munafik. Bukankah saat ini aku sudah menusuk Kelvin dari belakang?
“kalo
emang lo nggak bohong sama gue, gue minta lo janji satu hal sama gue,”
Saat
itu perasaanku benar-benar tidak enak. Aku ingin menolak mengiyakan permintaan
itu, tapi apa yang akan dikatakan oleh Kelvin dan juga Frea yang mendengarkan
percakapan kami diam-diam dari balik pohon. Akhirnya dengan berat hati, aku
mengangguk. “Gue minta lo janji sama gue buat nggak jadian sama Frea, nggak
peduli apapun yang terjadi,”
Deg…
Aku
merasakan semuanya berhenti. Saat ini tak peduli jika aku tak bisa melihat
wajah Frea yang bersembunyi dibalik pohon sana, aku yakin Frea pasti tengah
menahan napas dan harap-harap cemas. Selama ini melalui kedekatan kami, aku dan
Frea sudah saling mengutarakan perasaan meski belum ada status yang jelas
diantara kami. Dan haruskah aku dan Frea terus seperti ini? Saling menyayangi
tanpa status?
Kelvin
menatapku tak sabar. Mungkin bagi Kelvin ini adalah keputusan yang sangat
mudah, tapi tidak untukku. Mengiyakan janji Kelvin sama saja dengan
menghancurkan hati Frea. Bukankah seorang gadis tidak bisa bertahan dalam
sebuah perasaan jika tanpa didasari oleh status yang jelas?
“gue
janji,” ucapku pelan.
Dengan
senyum lebar, Kelvin memelukku sementara disana, dibalik pohon dibelakang
Kelvin, Frea perlahan-lahan menampakkan dirinya. Wajah Frea yang biasanya
tampak bercahaya, kini terlihat berkilau dengan air mata yang membasahi pipinya
yang bak pualam itu. Aku tahu Frea kecewa, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku
hanya lelaki bodoh yang mencoba mencintainya. Aku hanya lelaki bodoh yang tak
bisa mempertahankannya. Frea menangis dalam diam. Tatapannya matanya menghujam
tajam padaku. Saat itu aku tahu, semuanya telah berakhir dan yang tersisa
hanyalah aku, lelaki bodoh yang mencoba mencintainya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar