Sabtu, 11 Januari 2014

Lelaki Bodoh Yang Mencintaimu



Tes…
Tetesan hujan itu mengejutkanku. Sambil mengangkat sebelah tanganku keatas dan mempererat peganganku pada ranselku yang kupeluk erat didada, aku berlari-lari kecil menuju halte terdekat untuk berteduh dan menunggu bus yang biasa kutumpangi setiap harinya. Ini adalah tetesan hujan pertama dibulan januari yang seharusnya datang sejak seminggu yang lalu.
“Sialan,”umpatku saat aku sampai dibawah naungan atap halte.
“maaf?”sahut sebuah suara bening yang sama sekali tak kuperhatikan keberadaannya. Aku menoleh dan menadapati gadis bermata bulat dan bening itu sedang menatapku dengan heran. Aku balik menatapnya. Posisinya yang aneh membuatku penasaran. Ia berdiri agak maju kejalan, tangannya terulur dan menengadar kearah hujan yang semakin lama semakin deras.
“hanya mengumpat pada hujan,”jawabku enggan. Aku berharap kalau gadis ini tak mendengarkan umpatanku, tapi sayang, sepertinya ia sudah mendengar umpatanku barusan. Oh tuhan! Apa yang dipikirkannya tentangku barusan?
Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia tampak tak suka dengan jawabanku. Mungkinkah ia tersinggung dan mengira aku mengumpat padanya? Pertanyaanku terjawab saat ia melontarkan sebuah komentar sarkatis yang membuatku memutar bola mataku saat mendengarnya.
“Hujan adalah salah satu cara langit untuk bersilaturahmi dengan bumi,”komentar gadis itu sarkatis sebelum memasukkan ponselnya yang semula ada disakunya kedalam tas ranselnya yang aku tahu terbuat dari bahan kedap air. Kemudian tanpa mengatakan apapun, gadis itu meninggalkanku. Berjalan lambar-lambat menembus hujan seolah ia menikmati setiap tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Setelah gadis itu cukup jauh, aku baru menyadari jika gadis itu… cantik sekali.

“Hatchi…”
Entah sudah berapa kali aku bersin hari ini. Kemarin setelah aku bertemu gadis itu, aku memang nekat menembus hujan. Aku berniat menyusul gadis itu dan meminta maaf padanya, tapi hingga aku sampai dihalte berikutnya, aku sama sekali tak menemukan gadis itu. Sia-sia sajalah usahaku menembus hujan dan terkena flu demi gadis itu.
“habis ujan-ujanan ya lo,”komentar Kelvin sambil mengenyakkan pantatnya disebelahku. Dengan kesal aku menggeser posisi dudukku, sedikit agak menjauh dari Kelvin yang memang hobi duduk dekat-dekat itu.
“Nggak lihat ya gue flu berat gini,”komentarku ketus. Tapi bukannya tersinggung Kelvin malah nyengir dan mengambil sesuatu dari saku kemejanya.
“dari pada lo marah-marah nggak jelas, lebih baik lo kasih komentar tentang cewek gebetan gue yang satu ini,”ujar Kelvin bangga sambil menyodorkan selembar foto yang diambilnya dari saku kemejanya tadi.
Dengan jengkel aku mengambil foto gadis Kelvin itu dan mengamatinya. Bukankah? Aku mengamati lebih teliti lagi. Dan benar, gadis ini memang gadis dihalte siang itu. Gadis yang menceramahiku tentang hujan. Gadis yang sejak semalam memenuhi lamunanku. Dalam foto itu gadis itu tampak sangat natural. Senyumnya pun bukan senyum yang sengaja dibuat-buat, asumsiku, foto itu memang diambil tanpa sepengetahuan si gadis halte.
“cantik,”komentarku singkat sambil menyembunyikan rasa tertarik dalam diriku. “Siapa namanya?”
Kelvin nyengir. Secepat kilat ia mengambil foto itu dari tanganku dan mengantonginya. “Namanya Frea, satu tahun dibawah kita,”jelas Kelvin dengan bangga. Aku mengangguk, pura-pura tak peduli meski kenyataannya aku penasaran setengah mati. Frea, nama yang cantik, secantik orangnya, batinku senang.

Gadis itu…
Aku mempercepat langkahku menuju halte. Gadis itu berdiri disana sendirian, seperti terakhir kali aku melihatnya dua hari yang lalu. Kira-kira apa yang ia lakukan disekolah hingga ia harus pulang sesore ini sendirian?
“hai,”sapaku.
Gadis itu menoleh dan tampak terkejut dengan sapaanku yang tiba-tiba. “kamu…” gadis itu tampak ragu. Matanya yang semula membulat, kini justru menyipit menatapku. Aku tersenyum dan dengan sekasual mungkin mengulurkan tangan kearahnya.
“Daniel, dua hari yang lalu kita ketemu disini,”
Gadis itu menyambut uluran tanganku dan tersenyum simpul. Sepertinya ia ingat kalau kami pernah bertemu sebelumnya. “Frea,”gumamnya sopan sebelum cepat-cepat menarik tangannya kembali saat sebuah bus-yang menurut asumsiku adalah bus yang akan ditumpanginya-berhenti dihadapan kami. “duluan,”pemitnya sebelum berjalan meninggalkanku dan naik keatas bus lewat pintu dekat sopir yang lebih dekat dengan posisinya.
Bus itu mulai berjalan pelan, dan aku baru tersadar dari lamunanku. Cepat-cepat aku berlari mengejar bus itu dan naik lewat pintu belakang. Entah apa yang aku pikirkan, tapi yang jelas saat ini aku ingin memastikan gadis cantik bernama Frea itu sampai dirumahnya dengan selamat.

Gadis itu berjalan pelan, anggun. Sementara aku harus berulang kali bersembunyi dibalik podon ataupun baliho besar setiap kali gadis itu berbalik untuk mengecek. Ini bukan pertama kalinya aku mengikuti Frea dan memastikan ia tiba dirumahnya dengan selamat, jadi aku sudah terbiasa mengendap-endap beberapa meter dibelakang Frea agar tak tertinggal darinya. Tapi sore ini sepertinya Frea curiga ia merasa diikuti karena gadis itu mempercepat langkahnya hingga aku kehilangan jejaknya disebuah belokan. Aku ikut berbelok dan frustasi ketika mendapati Frea tak lagi dalam jarak pandangku.
“Ehem,”
Aku tersentak dan berbalik. Dan betapa malunya aku saat mendapati Frea bersandar disebuah pohon tepat dibelokan itu. Sepertinya Frea benar-benar sadar kalau ia sedang diikuti.
“Ngapain sih ngikutin aku terus?”Tanya gadis itu. Aku tersentak. Nada sinis dalam suaranya benar-benar indah saat melewati gendang telingaku. Oh tuhan! Aku pasti sudah gila saat ini.
“Cuma ingin memastikan  kalau kamu sampai dirumah dengan selamat,”akuku.
Kesinisan dalam wajah Frea lenyap seketika dan digantikan oleh senyum manis penuh pengertian. Oh tuhan… sepertinya kali ini dewi fortuna tengah berpihak padaku. Mungkinkah saat ini Aphrodite telah mempersembahkan hati Frea untukku???

“Hei bro!”sapaku saat mendapati Kelvin duduk dengan wajah murung dikantin. Sepertinya hari ini mood sepupuku itu sedang rendah-rendahnya. Tidak biasanya Kelvin yang lincah dan tidak mau diam jadi pemurung seperti ini. Pasti ada hal luar biasa yang terjadi pada hatinya yang terbuat dari baja itu.
“hei,”sapa Kelvin lemah. Semangat yang semula meledak-ledak dalam dirinya kini hilang entah kemana. Menguap begitu saja.
“lo kenapa? Kayak orang kalah taruhan aja,”komentarku asal sambil berharap Kelvin akan menertawai komentarku. Tapi bukannya tertawa terbahak-bahak, Kelvin justru tampak lebih murung. “lo kenapa sih, bro?”tanyaku lagi.
“patah hati gue. Frea sejak beberapa hari ini sikapnya dingin banget sama gue. Kayaknya dia udah punya pacar,”jelas Kelvin putus asa. Aku merasakan sebuah pedang menghunus jantungku, menimbulkan rasa bersalah yang teramat sangat. Selama ini aku lupa jika Kelvin menyukai Frea. Aku bahkan lupa jika Kelvin-lah yang pertama kali mendekati Frea. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku dan Frea sudah kelewat jauh. Kami tak lagi sekedar teman, tapi kami lebih dari itu meski belum bisa dibilang pacar. Haruskah aku mengatakan pada Kelvin tentang Frea?

“kamu kenapa sih, Dan? Kok murung gitu?”desak Frea setelah beberapa kali aku mengelak dari menjawab pertanyaannya. Aku hanya menggeleng. Frea tidak perlu tahu. Frea tidak perlu ikut gundah bersamaku. Biarlah dia hidup dalam kebahagiaannya, setidaknya untuk saat ini sampai aku mengambil keputusan yang tepat.
“kamu ada masalah ya, Dan?”Tanya Frea lagi. Kening Frea berkerut hingga kedua alisnya bertemu diatas hidungnya. Sambil tersenyum simpul aku menyentuh kerutan didahi Frea dan menghaluskannya, membuat pipi Frea memerah seketika.
“berjanjilah untuk selalu tersenyum, oke”pintaku setelah semburat dipipi Frea perlahan menghilang. Meski saat itu mata bulat Frea dipenuhi tanda tanya, tapi akhirnya Frea mengangguk dan memberikan janjinya padaku tanpa bertanya apapun lagi.

“jadi… yang selama ini deket sama Frea ternyata elo, Dan,”tuduh Kelvin dingin. Aku menghela napas. Cepat atau lambat Kelvin pasti akan tahu, dan jika saat itu terjadi, aku sudah harus siap dengan segala konsekuensi yang kuterima.
“Iya. Gue emang deket sama_”
“Emang sialan ya lo!”maki Kelvin.
“calm down, bro.”ujarku berusaha setenang mungkin. “gue sama Frea Cuma temanan aja, sumpah,”
Kelvin diam. Ia tampak sedang berpikir keras. Ya, aku memang tidak berbohong. Aku dan Frea hanya berteman, meski kedekatan kami saat ini sudah melebihi teman.
“lo nggak lagi bohong kan sama gue?”tanya Kelvin setelah beberapa saat ia diam. Saat itulah melalui ekor mataku aku melihat Frea bersembunyi dibalik pohon besar yang letaknya lumayan dekat dengan kami. Aku tahu Frea pasti tengah mendengar pembicaraan kami.
“Buat apa gue bohong sama lo? Lo sepupu gue, Vin. Gue nggak akan menusuk lo dari belakang,”jelasku. Rasanya aku ingin menggigit lidahku sendiri saat aku bilang pada Kelvin kalau aku tak akan menusuknya dari belakang. Sungguh kata-kata yang munafik. Bukankah saat ini aku sudah menusuk Kelvin dari belakang?
“kalo emang lo nggak bohong sama gue, gue minta lo janji satu hal sama gue,”
Saat itu perasaanku benar-benar tidak enak. Aku ingin menolak mengiyakan permintaan itu, tapi apa yang akan dikatakan oleh Kelvin dan juga Frea yang mendengarkan percakapan kami diam-diam dari balik pohon. Akhirnya dengan berat hati, aku mengangguk. “Gue minta lo janji sama gue buat nggak jadian sama Frea, nggak peduli apapun yang terjadi,”
Deg…
Aku merasakan semuanya berhenti. Saat ini tak peduli jika aku tak bisa melihat wajah Frea yang bersembunyi dibalik pohon sana, aku yakin Frea pasti tengah menahan napas dan harap-harap cemas. Selama ini melalui kedekatan kami, aku dan Frea sudah saling mengutarakan perasaan meski belum ada status yang jelas diantara kami. Dan haruskah aku dan Frea terus seperti ini? Saling menyayangi tanpa status?
Kelvin menatapku tak sabar. Mungkin bagi Kelvin ini adalah keputusan yang sangat mudah, tapi tidak untukku. Mengiyakan janji Kelvin sama saja dengan menghancurkan hati Frea. Bukankah seorang gadis tidak bisa bertahan dalam sebuah perasaan jika tanpa didasari oleh status yang jelas?
“gue janji,” ucapku pelan.
Dengan senyum lebar, Kelvin memelukku sementara disana, dibalik pohon dibelakang Kelvin, Frea perlahan-lahan menampakkan dirinya. Wajah Frea yang biasanya tampak bercahaya, kini terlihat berkilau dengan air mata yang membasahi pipinya yang bak pualam itu. Aku tahu Frea kecewa, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya lelaki bodoh yang mencoba mencintainya. Aku hanya lelaki bodoh yang tak bisa mempertahankannya. Frea menangis dalam diam. Tatapannya matanya menghujam tajam padaku. Saat itu aku tahu, semuanya telah berakhir dan yang tersisa hanyalah aku, lelaki bodoh yang mencoba mencintainya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar