"kota ini tak lagi sama tanpa hadirmu. sinar matahari yang semula menyinari kota ini seolah meredup tanpa kehadiranmu. segala hal yang begitu menyenangkan tentang kota ini, mendadak jadi membosankan. aku kehilangan arah, aku kehilangan hasratku. tak ada lagi sinar keemasan matahari yang menyambutku tiap kali aku datang kekota ini, yang tersisa sekarang hanyalah gulungan langit mendung berwarna kelabu yang selalu menaungi kota ini. kota ini tak lagi sama, tak lagi seperti dulu karena kota ini telah kehilangan daya tarik utamanya untukku, yaitu kamu"
Tanganku
bergetar, aku tak sanggup lagi menulis lebih banyak dari pada setengah halaman
notebookku. Tulisan tanganku yang tampak begitu mengerikkan dengan tetes air
mata disana-sini membuatku makin tak sanggup untuk menuliskan apa yang
kurasakan dihalaman yang tersisa di notebook itu. Segalanya terasa hambar
sekarang, yang tersisa hanyalah rasa sakit dan kehilangan. Kemana perginya
semua keceriaan? Kemana perginya semua antusiasmeku? Aku menatap jauh,
menerawang melewati jendela kamar kosku yang setengah terbuka, mengirimkan hawa
dingin dan udara lembab yang basah, khas hari berhujan yang beberapa minggu
belakangan ini menyapa malang. Aneh,
bukankah saat ini harusnya musim kemarau? Ataukah Persephone kembali lebih awal
ke Underwold sehingga Demeter merasa sedih?
Aku bangkit,
meninggalkan begitu saja notebookku yang terbuka dimeja belajar dan bolpoinku
yang entah terjatuh dimana saat aku meletakkannya tadi. Kaki telanjangku
menginjak keramik yang dingin, membuatku bergidik sesaat sebelum akhirnya aku
bisa beradaptasi dan menyeberangi kamar kosku yang kecil dan nyaman itu menuju
jendela kamarku yang terbuka dan menampakkan pemandangan taman yang berada
tepat didepan kamarku, yang basah kuyup didera air mata uranus. Apakah Uranus
sedang sedih sekarang? Ataukah ia tengah menghukum Gaia dengan mengiriminya
puluhan ton air? Aku menggelengkan kepalaku, mencegah otakku yang sudah tak
berjalan dengan baik lagi untuk melantur lebih jauh. Minggu-minggu ini aku
kehilangan diriku, diriku yang penuh dengan otoritas, tekad, cita-cita dan
ambisi.
Ah... ambisi.
Memikirkannya saja sudah membuat aku kecut sendiri. Betapa ambisi membuatku
menjadi gadis menyedihkan seperti ini. Andaikan saja aku tak terlalu menomor
satukan ambisiku, tapi... ah, untuk apa aku berandai-andai, toh tak akan
merubah semuanya. Apa yang telah terjadi tak akan bisa kurubah dengan hanya
berandai-andai. Bahkan hujanpun tak akan berhenti hanya karena aku berandai-andai.
Aku memeluk
diriku sendiri, membiarka kehangatan semu itu membungkusku, melindungiku dari
luka kecil yang kini menggerogotiku perlahan-lahan. Malang..., betapa indahnya
kota ini untukku dulu, ketika aku datang pertama kali untuk meraih mimpiku
sebagai mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di kota ini. Dulu kota ini
terasa begitu istimewa, bahkan hanya dengan menyebutkan namanya saja sudah
mampu untuk membuatku berkhayar, bermimpi dan sekali lagi bermabisi. Tapi itu
dulu, bukan begitu?
Sekarang kota ini
terasa asing bagiku, sama seperti kata Catherine Earnshaw dalam novel klasik
Wuthering Heights karangan Emily Bronte, “dan
kalau segala hal lain tetap ada, dan dia dibinasakan, semesta ini akan menjadi
asing bagiku, aku tak akan merasa menjadi bagian darinya,”. Dia memang
tidak dibinasakan, tapi dia pergi dari hidupku, dia tidak lagi menjadi sesuatu
yang mengisi hari-hariku. Mungkin, aku bukan lagi sang tokoh utama, saat ini,
aku tengah menjadi pemeran pembantu yang hanya bisa sakit hati dan iri melihat sang
tokoh utama bahagia, tapi paling tidak, sebagai tokoh permbantu, dan dibalik
semua sakit hati dan rasa iriku, aku masih berharap untuk kebahagiaannya, untuk
setidaknya ia bisa tersenyum setiap saat, setiap hari sama seperti saat aku dan
dia bersama dulu.
Aku ingat,
betapa dulu aku dan dia menghabiskan waktu bersama, betapa dulu aku begitu
bangganya mengenalkannya sebagai pacarku kepada teman kuliahku. Aku juga ingat,
betapa senangnya aku ketika teman-temanku memujiku kalau aku adalah gadis yang
hebat dan beruntung. Hebat karena aku bisa bertahan begitu lamanya dengan dia,
beruntung karena aku memiliki ambisi yang begitu kuat. Tapi mereka salah,
mereka salah besar jika mengatakan aku beruntung karena memiliki ambisi yang
begitu kuat karena ambisiku yang begitu kuat ini tak mampu membuatku menjadi
Tuhan yang bisa menentukan takdir dan akhir perjalanan seseorang, dan sialnya,
ambisi ini pulalah yang membawaku pada akhir seperti ini. Akhir yang
menyedihkan dengan hanya berdiri dibalik jendela, memandangi hujan yang turun
dengan gamang.
Apa yang sedang
terjadi sekarang? Kenapa aku begitu menyedihkan? Dulu, ketika aku menatap hujan
yang turun seperti ini, aku selalu menatapnya dengan senyum. Menganggap hujan
yang turun itu sebagai anugerah yang diberikan Tuhan untukku, untuk sekedar
memberi hariku yang kering kerontang sedikit kesegeran. Namun sekarang, hujan
diluar sana terasa begitu menyedihkan, apalagi ketika hujan itu membuatku
mengingat seseorang, seseorang yang membuat hidupku berbalik seratus delapan puluh
derajat, Daren.
Ya, namanya
Daren, orang yang mengisi hidupku selama empat tahun dikota ini. Orang yang
telah memberikan warna dan juga menghilangkan warna dalam hidupku. Orang yang
sama yang telah membuatku tertawa dan juga menangis. Aku masih ingat kata-kata
terakhir Daren sebelum kami berpisah beberapa minggu yang lalu, “Kamu harus percaya kalau aku tidak pernah
berniat meninggalkanmu, tapi sekarang tujuan akhir kita berbeda. Ambisimu
terlalu kuat untukku yang terlalu lemah. Maaf telah membuatmu menangis, dan
ingatlah kalau aku tak pernah bermaksud untuk menyakitimu,”. Aku jelas tak
akan melupakan kata-kata itu. Kata-kata yang mengakhiri segalanya, kata-kata
yang membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat.
Aku tahu... ya,
aku tahu sekali kalau semua ini salahku. Salahku karena aku terlalu keras
kepala dan mempertahankan ambisiku. Salahku karena aku tidak langsung menjawab “ya” ketika ia mengajakku menikah dan
mewarnai Malang dengan warna yang berbeda. Semua salahku, dan sekarang aku
menerima akibatnya. Sekarang aku hanya bisa berdiri sendiri disini, menatap
hujan diluar sana dengan sedih, sementara dibelakangku, tergeletak tepat
disamping notebookku, sebuah undangan berdesain sederhana yang entah bagaimana
tampak elegan dengan naman Daren dan calon istrinya tercetak disana, seolah
mengejekku. Semuanya tak akan sama lagi sekarang, tidak tanpa Daren. Bahkan
kota yang telah membuatku bahagia selama empat tahun terakhir ini pun terasa
begitu asing untukku.
“dan kalau
segala hal lain tetap ada, dan dia dibinasakan, semesta ini akan menjadi asing
bagiku, aku tak akan merasa menjadi bagian darinya,” aku menggumamkan kalimat
itu perlahan, menorehkannya huruf demi huruf dihatiku. Semesta ini, kota ini
tak terasa sama lagi. Dan Malang tanpamu, terasa begitu asing dan hambar untuk
kutinggali sendirian bersama ambisiku yang terlalu keras untuk kamu taklukan.
Aku menghela
napas dan berbalik, aku kembali duduk dimeja belajarku dan meraih kembali
bolpoinku yang tadi kucampakkan. Perlahan, dengan tanganku yang tak lagi
gemetar, aku menuliskan potongan kata-kata Catherine Earnshaw dalam novel
Wuthering Heigts dinotebookku, mengisi setengah halaman kosong yang tadi
kutinggalkan.
“kalau
segala hal lain musnah,
dan
dia tetap ada, aku akan tetap ada,
dan
kalau segala hal lain tetap ada, dan dia dibinasakan,
semesta
ini akan menjadi asing bagiku
aku
tak akan merasa menjadi bagian darinya”
Aku menutup
mataku sejenak, sebelum kembali membukanya dan menulis dua kalimat terakhir di
baris teratas notebook-ku..
“Malang
Tanpamu...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar