M
|
engutip
dari salah satu kalimat dalam latar belakang TAP MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa, “Bangsa Indonesia diciptakan Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa berdasar atas Ras, Suku, Agama dan Budaya”. Dari kutipan kalimat
tersebut, bukankah sudah jelas jika Bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang
manjemuk, bangsa yang plural, bangsa yang multicultural?
Menurut saya, sebagai bangsa yang multikulturan dan menyadari
ke-multikulturan-nya, seharusnya Bangsa Indonesia memiliki rasa toleransi, rasa
saling menghormati dan rasa tenggang rasa yang besar. Sehingga, antarbangsa tak
perlu ada perdebatan tentang sesuatu yang memang sudah ada dan tidak bisa
berubah.
Saya sebagai seorang pelajar Indonesia merasa prihatin dengan
kurangnya kesadaran akan kemajemukan bangsa Indonesia oleh bangsa Indonesia
sendiri. Saya pribadi beragama islam dan saya tidak pernah menyangkal satupun
bunyi dari hadist ataupun ayat Al-Qur’an. Tetapi, dalam hal ini, kita tidak boleh
mengesampingkan keberadaan agama lain, keyakinan lain dan budaya lain dalam
bangsa kita yang majemuk. Kita boleh memiliki rasa primordial, tapi harusnya
hendaknya didasari oleh rasa tenggang rasa, rasa saling menghormati dan rasa
toleransi sehingga kedepannya, tidak perlu lagi muncul pertentangan mengenai
hal-hal diluar kekuasaan kita.
Setiap warga Negara, pada hakikatnya, memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Tidak peduli kita dari ras apa, golongan apa, bahkan agama
apa. Setiap orang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing, dan hak setiap
orang dibatasi oleh hak orang lain. Kita hendaknya harus selalu mengingat hal
ini, karena sebagai manusia yang beradab kita harus menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28J ayat 1.
Menurut saya, setiap orang, setiap pemimpin agama memiliki
hak untuk menyampaikan apa yang diyakininya, selama tidak menyinggung orang
lain. Menyinggung dalam hal ini tidak hanya menyinggung mengenai perasaan,
tetapi juga menyinggung dalam hal lain, nama misalnya. Dan dalam hal ini, kita sebagai manusia yang
beradab dan memiliki hati nurani hendaknya sadar dan mawas diri. Kita tidak
bisa membenarkan apa yang hanya menurut kita benar. Kita juga harus
mempertimbangkan keyakinan dari orang lain, suku lain, ras lain. Kita adalah
bangsa yang majemuk, bangsa yang multicultural. Dan sebagai bangsa yang
multicultural dan berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA, kita harus selalu
bisa menghormati dan menjaga hubungan baik antar masyarakat multicultural yang
ada sehingga kedepannya, tidak timbul konflik berkepanjangan hanya karena
primordialisme yang terlalu tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar