Senin, 02 September 2013

Menangggapi Isu SARA Bang Haji Rhoma Irama



M
engutip dari salah satu kalimat dalam latar belakang TAP MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, “Bangsa Indonesia diciptakan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa berdasar atas Ras, Suku, Agama dan Budaya”. Dari kutipan kalimat tersebut, bukankah sudah jelas jika Bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang manjemuk, bangsa yang plural, bangsa yang multicultural?

Menurut saya, sebagai bangsa yang multikulturan dan menyadari ke-multikulturan-nya, seharusnya Bangsa Indonesia memiliki rasa toleransi, rasa saling menghormati dan rasa tenggang rasa yang besar. Sehingga, antarbangsa tak perlu ada perdebatan tentang sesuatu yang memang sudah ada dan tidak bisa berubah.
Saya sebagai seorang pelajar Indonesia merasa prihatin dengan kurangnya kesadaran akan kemajemukan bangsa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Saya pribadi beragama islam dan saya tidak pernah menyangkal satupun bunyi dari hadist ataupun ayat Al-Qur’an. Tetapi, dalam hal ini, kita tidak boleh mengesampingkan keberadaan agama lain, keyakinan lain dan budaya lain dalam bangsa kita yang majemuk. Kita boleh memiliki rasa primordial, tapi harusnya hendaknya didasari oleh rasa tenggang rasa, rasa saling menghormati dan rasa toleransi sehingga kedepannya, tidak perlu lagi muncul pertentangan mengenai hal-hal diluar kekuasaan kita.
Setiap warga Negara, pada hakikatnya, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak peduli kita dari ras apa, golongan apa, bahkan agama apa. Setiap orang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing, dan hak setiap orang dibatasi oleh hak orang lain. Kita hendaknya harus selalu mengingat hal ini, karena sebagai manusia yang beradab kita harus menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28J ayat 1.
Menurut saya, setiap orang, setiap pemimpin agama memiliki hak untuk menyampaikan apa yang diyakininya, selama tidak menyinggung orang lain. Menyinggung dalam hal ini tidak hanya menyinggung mengenai perasaan, tetapi juga menyinggung dalam hal lain, nama misalnya.  Dan dalam hal ini, kita sebagai manusia yang beradab dan memiliki hati nurani hendaknya sadar dan mawas diri. Kita tidak bisa membenarkan apa yang hanya menurut kita benar. Kita juga harus mempertimbangkan keyakinan dari orang lain, suku lain, ras lain. Kita adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang multicultural. Dan sebagai bangsa yang multicultural dan berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA, kita harus selalu bisa menghormati dan menjaga hubungan baik antar masyarakat multicultural yang ada sehingga kedepannya, tidak timbul konflik berkepanjangan hanya karena primordialisme yang terlalu tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar