Jumat, 18 Juli 2014

Cinta Satu Arah…



Teorinya… cinta itu datang dari dua arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu hanya datang dari satu arah


Sudah pukul 7.45, Raline mempercepat larinya tak peduli jika paru-parunya telah berteriak kehabisan udara. Ini perjuangan hidup dan mati. Terlambat satu menit saja bisa mati dia. Ia sudah terlambat dua kali, jika sekali lagi ia terlambat, maka tamat sudah riwayatnya, ia terpaksa harus mengulang kelas yang sama tahun depan, dan Raline ngeri membayangkan kemungkinan itu. Untung saja tadi Keara dan Nara membangunkannya, kalau tidak ia pasti benar-benar tamat sekarang.
“Dari mana saja kamu?” tegur Keara saat Raline duduk dibangku kosong yang berada diantara bangku yang diduduki Keara dan Nara. Raline mengangkat tangan kanannya, memberikan isyarat pada Keara yang tidak sabaran itu untuk menunggunya mengatur napas sebentar. Rasanya paru-parunya sudah hampir pecah.
“Apa smsku tadi pagi nggak masuk, Lin?” tanya Nara pelan. Raline mengerling kearah Nara dan nyengir. Tadi pagi Nara memang sempat mengiriminya sms. Tapi apalah artinya sebuah sms?
“Sorry, Ra. Aku nggak denger waktu smsmu masuk,” aku Raline jujur. Nara yang kalem hanya menghela napas sambil tersenyum sebelum kembali berkonsentasi pada bukunya, entah buku apa.
“Jadi?” tuntut Keara tepat saat pintu kelas terbuka dan seorang pemuda melangkah masuk. Untuk kedua kalinya Raline mangabaikan Keara, perhatiannya langsung terpusat pada satu objek tampan yang baru saja masuk kelas.
“seperti biasa, ekspresi bodoh yang sama,” sindir Keara sebelum akhirnya gadis galak itu fokus pada blackberry-nya. Anehnya, Nara yang biasanya asik dengan bukunya, mengalihkan perhatiannya dari buku kesayangannya itu.
“Raline kan suka sama Samudra, Ke.” Bela Nara kalem.
“Tuh, ke! Dengerin! Mentang-mentang udah punya pacar sombong bener,” tambah Raline. Diantara kedua sahabatnya, hanya Nara-lah yang dengan rajin dan sabar mendengarkan curhatannya tentang Samudra, cowok yang diam-diam ditaksirnya sejak semester satu itu. Sedangkan Keara, boro-boro mendengarkan, sahabatnya yang satu itu selalu berhasil menemukan cara untuk menyindir Raline tentang rasa sukanya terhadap Samudra. Kemudian dengan antusiasme yang baru, Raline berpaling dari Keara dan mulai bercerita tentang perkembangan hubungannya dengan Samudra pada Nara, meski gadis pendiam itu sudah mendengarkannya berulang kali.

Nara menghela napas lega saat kuliah usai dan ia bisa kabur ke perpustakaan kampus, satu-satunya tempat yang tak akan dikunjungi Raline karena gadis itu membenci segala hal yang berhubungan dengan buku. Nara melangkah menuju bagian buku berlabel merah. Disana jauh lebih tenang daripada bagian buku berlabel putih karena bagian buku berlabel merah adalah buku-buku referensi dan biasanya, hanya mahasiswa yang benar-benar membutuhkan referensi yang datang kesini. Karena itulah bagian perpustakaan yang satu ini selalu sepi dan tenang. Nara memilih sebuah meja di pojok ruangan dan mulai mengeluarkan bukunya. Bukan novel seperti favoritnya, kali ini Nara memutuskan untuk membaca buku yang mengulas tentang tragedy Holocaust yang didalangi oleh Hitler. Nara sudah benar-benar terlarut dalam bukunya ketika kursi kosong yang berada diseberangnya tiba-tiba ditarik dan seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia temui disini tiba-tiba saja duduk dikursi kosong diseberangnya.
“Samudra?” gumam Nara sangsi. Ia tidak pernah membayangkan cowok tipe Samudra berada diperpustakaan. Rasanya cowok yang mengenakan kemeja yang tidak dikancingkan dengan lapisan kaos dibaliknya, sepatu kets butut, headset yang selalu bertengger di bahunya yang ia kalungkan dilehernya dan tas gitar yang ia bawa kemana-mana benar-benar tidak cocok berada di perpustakaan, apalagi dibagian referensi.
“Nara, kan?” tanya Samudra dengan santai seolah ini bukan pertama kalinya mereka berbicara. Dengan gugup Nara mengangguk. Mendadak, Nara kehilangan minat untuk membaca bukunya. Dengan sedikit tergesa-gesa, Nara mulai membereskan barang-barangnya dan hendak berlalu ketika Samudra bicara lagi.
“Aku ganggung kamu ya? Atau aku bikin kamu takut?” tanya Samudra lagi, masih sama santainya seperti sebelumnya. Tanpa mengalihkan tatapannya dari Samudra, Nara menggeleng. “Kalau begitu kenapa kamu pergi?”
Nara terbelalak. Cowok ini benar-benar… batik Nara terheran-heran. Selama dikelas Samudra nyaris tak pernah berbicara. Ia hanya mengeluarkan suara ketika ditanya, selain itu Samudra memilih diam.
“kalau nggak duduk lagi dong, nggak enak dilihatin orang,” perintah Samudra. Nara menghela napas. Sepertinya ia memang harus duduk lagi.

“Ra… lihat deh, Samudra ganteng banget kan?” bisik Raline tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Samudra yang tengah memetik gitarnya atas perintah Ms. Evelyn untuk mengiringi Arianna yang tengah membacakan salah satu puisi William Blake didepan kelas. Nara hanya mengangguk, sementara Raline terus saja memuji-muji Samudra tanpa peduli Nara mendengarkan atau tidak. Keara sendiri seperti biasa, sibuk dengan blackberry-nya yang ia sembunyikan dibalik binder-nya.
Sambil terus berpura-pura mendengarkan Arianna yang masih membacakan puisi dan Raline yang terus saja memuji Samudra, pikiran Nara melayang pada saat-saat pertemuannya dengan Samudra yang sudah terjadi lebih dari lima kali. Ia dan Samudra selalu bertemu di perpustakaan tanpa membuat janji sebelumnya. Seperti biasa, usai kuliah Nara selalu pergi ke perpustakaan dan membaca buku dibagian referensi. Lima menit kemudian, Samudra datang dan dengan cueknya selalu duduk bersama dengan Nara seperti yang ia lakukan pada kali pertama. Kemudian, ia dan Samudra akan terlibat percakapan paling aneh yang pernah ada. Ia dan Samudra selalu berbicara tentang berbagai topic secara acak, mulai dari politik, film hingga buku dan percakapan itu dilakukan sambil Nara fokus membaca buku dan Samudra fokus dengan laptop vaio-nya.
“Kamu dengerin aku kan, Ra?” tanya Raline, entah untuk yang keberapa kalinya. Nara tersentak dari lamunannya, kemudian cepat-cepat ia mengangguk mengiyakan pertanyaan Raline sambil tersenyum. Melihat respon Nara, Raline tampak senang, kemudian tanpa jeda cukup lama Raline kembali melanjutkan ceritanya tentang Samudra.

Sudah lebih dari lima menit, apakah Samudra tidak datang? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak Nara hingga ia tidak bisa benar-benar fokus pada bukunya. Nara terus saja melirik pintu masuk, berharap kalau Samudra akan muncul dengan tiba-tiba disana. Tapi sudah lebih dari tiga puluh menit dan Samudra tidak kunjung datang. Akhirnya, Nara memutuskan untuk membereskan barang-barangnya dan hendak pergi ketika tiba-tiba saja Samudra sudah duduk dikursi kosong yang berada didepannya.
“Kamu sudah mau pergi?” tanya Samudra sambil mengerutkan kenignya.
“Mamaku sudah menyuruhku untuk segera pulang,” dusta Nara.
“Oh… begitu. Tentu. Hati-hati dijalan,” ujar Samudra. Nara mengangguk pelan sebelum melangkah pergi. “Oh! Nara!” baru beberapa langkah, Samudra memanggil Nara dan membuat gadis itu berbalik. “Apakah kamu mengenal gadis itu?” tanya Samudra, untuk pertama kalinya Nara melihat mata pemuda itu berbinar dengan ketertarikan yang nyata.
“Gadis itu?” tanya Nara, bingung.
“Iya… gadis yang selalu bersama kamu, yang berambut ikal panjang,” jawab Samudra tampak begitu antusias. Nara tahu siapa gadis yang dimaksud Samudra, tentu saja ia tahu! Gadis itu sahabatnya sendiri, Raline.
“Raline?” tanya Nara.
“Ah ya… Raline.” Samudra mengiyakan. “Apakah dia sudah punya pacar?”

Senyum bahagia itu terlukis diwajah Raline yang memang selalu tersenyum. Tapi kali ini, wajah itu bersinar dengan sinar yang tak biasa. Sinar yang hanya bisa didapat melalui keinginan dan hasrat hati yang terpenuhi. Dan mata Raline, mata yang selalu berbinar dengan semangat itu kini berbinar lembut penuh cinta, dengan satu objeknya, Samudra yang duduk tepat disebelahnya sambil memetik gitarnya dan menyanyikan lagu Mine-nya Petra Sihombing.
Raline dan Samudra memang sudah resmi jadian sejak sebulan yang lalu dengan masa pendekatan yang teramat singkat, hanya seminggu! Hubungan mereka pun mejadi topic pembicaraan yang cukup populer di prodi sastra inggris karena selama ini Samudra terkenal begitu dingin kepada perempuan dan Raline sendiri terkenal dengan reputasinya sebagai gadis cantik berhati batu. Dua-duanya sama-sama selektif dalam menjalin hubungan,jadi tak heran jika begitu mereka berdua justru jadian, kabar itu sontak menjadi pembicaraan anak sastra inggris.
Raline sendiri sering bertanya-tanya bagaimana mungkin ia bisa jadia dengan Samudra karena setahunya, selama ini Samudra tak pernah mengenalnya, bahkan tahu ia ada pun tidak. Tapi tiba-tiba saja Samudra mulai gencar mendekatinya hingga mereka jadian. Pernah Raline bertanya kenapa tiba-tiba Samudra menyadari keberadaannya, dan jawaban Samudra benar-benar diluar dugaannya. Samudra mengatakan ia jatuh cinta pada Raline karena cerita Nara. Samudra juga akhirnya menceritakan tentang perbincangannya tentang berbagai topik secara acak dengan Nara. Lewat perbincangan itu, Nara sering menyinggung tentang pendapat-pendapat Raline dan buah pikiran gadis itu. Awalnya Samudra kira itu semua pendapat Nara, tapi ketika Samudra menanyakannya pada Nara, Nara dengan jujur menjawab kalau ia mengutip semua itu dari pendapat dan pikiran sahabatnya yang selalu membawa aura positif. Samudra sebenarnya tidak yakin siapa yang dimaksud Nara, tapi setelah memastikan lewat pengamatannya sendiri, akhirnya Samudra tahu kalau orang yang dimaksud Nara adalah Raline.
Mendadak Samudra berhenti memainkan gitarnya membuat lamunan Raline terputus.

From : +6285933704005

Sederhana saja, aku cinta kamu
Dan kamu cinta dia.

Teorinya… cinta itu datang dari dua arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu hanya datang dari satu arah

Pernahkah kamu menganggapku ada?

Aku memang Cuma bagian hidupmu yang terlupakan
Jadi lanjutkan hidupku dan anggap aku tak ada

Samudra mengernyitkan keningnya. Ia tak paham isi pesan itu dan nomor yang mengiriminya pesan itu juga nomor asing. Sambil mengangkat bahu, Samudra kembali mengantongi ponselnya.
“Siapa sayang?” tanya Raline penasaran.
“Operator,” jawab Samudra singkat.

“Siapa sayang?” tanya Raline penasaran.
“Operator,” jawab Samudra singkat.
Nara menghapus air matanya yang tanpa sengaja menetes. Dua orang yang tengah jatuh cinta itu tak menyadari keberadaannya karena ia bersembunyi dengan baik, seperti ia menyembunyikan perasaannya dengan baik. Perlahan, dengan tangan yang gemetar, Nara menekan beberapa tombol si ponselnya.

To : Cinta Satu Arah-Ku

Sederhana saja, aku cinta kamu
Dan kamu cinta dia.

Teorinya… cinta itu datang dari dua arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu hanya datang dari satu arah

Pernahkah kamu menganggapku ada?

Aku memang Cuma bagian hidupmu yang terlupakan
Jadi lanjutkan hidupku dan anggap aku tak ada

Delete? Yes/No

Sambil mengubur semuanya dalam-dalam agar tak ada yang muncul dipemukaan, Nara memilih option yes. Biarlah semuanya hanya ia dan Tuhan yang tahu karena ia tahu, cinta-nya hanyalah cinta satu arah yang tak akan pernah berbalas.

NB :
·         A : Raline
·         B : Keara
·         C : Nara
·         D : Samudra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar