Teorinya… cinta itu datang dari dua
arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu
hanya datang dari satu arah
Sudah pukul 7.45,
Raline mempercepat larinya tak peduli jika paru-parunya telah berteriak
kehabisan udara. Ini perjuangan hidup dan mati. Terlambat satu menit saja bisa
mati dia. Ia sudah terlambat dua kali, jika sekali lagi ia terlambat, maka
tamat sudah riwayatnya, ia terpaksa harus mengulang kelas yang sama tahun
depan, dan Raline ngeri membayangkan kemungkinan itu. Untung saja tadi Keara
dan Nara membangunkannya, kalau tidak ia pasti benar-benar tamat sekarang.
“Dari mana saja kamu?”
tegur Keara saat Raline duduk dibangku kosong yang berada diantara bangku yang
diduduki Keara dan Nara. Raline mengangkat tangan kanannya, memberikan isyarat
pada Keara yang tidak sabaran itu untuk menunggunya mengatur napas sebentar.
Rasanya paru-parunya sudah hampir pecah.
“Apa smsku tadi pagi
nggak masuk, Lin?” tanya Nara pelan. Raline mengerling kearah Nara dan nyengir.
Tadi pagi Nara memang sempat mengiriminya sms. Tapi apalah artinya sebuah sms?
“Sorry, Ra. Aku nggak
denger waktu smsmu masuk,” aku Raline jujur. Nara yang kalem hanya menghela
napas sambil tersenyum sebelum kembali berkonsentasi pada bukunya, entah buku
apa.
“Jadi?” tuntut Keara
tepat saat pintu kelas terbuka dan seorang pemuda melangkah masuk. Untuk kedua
kalinya Raline mangabaikan Keara, perhatiannya langsung terpusat pada satu
objek tampan yang baru saja masuk kelas.
“seperti biasa,
ekspresi bodoh yang sama,” sindir Keara sebelum akhirnya gadis galak itu fokus
pada blackberry-nya. Anehnya, Nara yang biasanya asik dengan bukunya,
mengalihkan perhatiannya dari buku kesayangannya itu.
“Raline kan suka sama
Samudra, Ke.” Bela Nara kalem.
“Tuh, ke! Dengerin!
Mentang-mentang udah punya pacar sombong bener,” tambah Raline. Diantara kedua
sahabatnya, hanya Nara-lah yang dengan rajin dan sabar mendengarkan curhatannya
tentang Samudra, cowok yang diam-diam ditaksirnya sejak semester satu itu.
Sedangkan Keara, boro-boro mendengarkan, sahabatnya yang satu itu selalu
berhasil menemukan cara untuk menyindir Raline tentang rasa sukanya terhadap
Samudra. Kemudian dengan antusiasme yang baru, Raline berpaling dari Keara dan
mulai bercerita tentang perkembangan hubungannya dengan Samudra pada Nara, meski
gadis pendiam itu sudah mendengarkannya berulang kali.
Nara menghela napas
lega saat kuliah usai dan ia bisa kabur ke perpustakaan kampus, satu-satunya
tempat yang tak akan dikunjungi Raline karena gadis itu membenci segala hal
yang berhubungan dengan buku. Nara melangkah menuju bagian buku berlabel merah.
Disana jauh lebih tenang daripada bagian buku berlabel putih karena bagian buku
berlabel merah adalah buku-buku referensi dan biasanya, hanya mahasiswa yang
benar-benar membutuhkan referensi yang datang kesini. Karena itulah bagian
perpustakaan yang satu ini selalu sepi dan tenang. Nara memilih sebuah meja di
pojok ruangan dan mulai mengeluarkan bukunya. Bukan novel seperti favoritnya,
kali ini Nara memutuskan untuk membaca buku yang mengulas tentang tragedy
Holocaust yang didalangi oleh Hitler. Nara sudah benar-benar terlarut dalam
bukunya ketika kursi kosong yang berada diseberangnya tiba-tiba ditarik dan
seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia temui disini tiba-tiba saja duduk
dikursi kosong diseberangnya.
“Samudra?” gumam Nara
sangsi. Ia tidak pernah membayangkan cowok tipe Samudra berada diperpustakaan.
Rasanya cowok yang mengenakan kemeja yang tidak dikancingkan dengan lapisan
kaos dibaliknya, sepatu kets butut, headset yang selalu bertengger di bahunya
yang ia kalungkan dilehernya dan tas gitar yang ia bawa kemana-mana benar-benar
tidak cocok berada di perpustakaan, apalagi dibagian referensi.
“Nara, kan?” tanya
Samudra dengan santai seolah ini bukan pertama kalinya mereka berbicara. Dengan
gugup Nara mengangguk. Mendadak, Nara kehilangan minat untuk membaca bukunya.
Dengan sedikit tergesa-gesa, Nara mulai membereskan barang-barangnya dan hendak
berlalu ketika Samudra bicara lagi.
“Aku ganggung kamu ya?
Atau aku bikin kamu takut?” tanya Samudra lagi, masih sama santainya seperti
sebelumnya. Tanpa mengalihkan tatapannya dari Samudra, Nara menggeleng. “Kalau
begitu kenapa kamu pergi?”
Nara terbelalak. Cowok ini benar-benar… batik Nara
terheran-heran. Selama dikelas Samudra nyaris tak pernah berbicara. Ia hanya
mengeluarkan suara ketika ditanya, selain itu Samudra memilih diam.
“kalau nggak duduk lagi
dong, nggak enak dilihatin orang,” perintah Samudra. Nara menghela napas.
Sepertinya ia memang harus duduk lagi.
“Ra… lihat deh, Samudra
ganteng banget kan?” bisik Raline tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari
Samudra yang tengah memetik gitarnya atas perintah Ms. Evelyn untuk mengiringi
Arianna yang tengah membacakan salah satu puisi William Blake didepan kelas.
Nara hanya mengangguk, sementara Raline terus saja memuji-muji Samudra tanpa
peduli Nara mendengarkan atau tidak. Keara sendiri seperti biasa, sibuk dengan
blackberry-nya yang ia sembunyikan dibalik binder-nya.
Sambil terus
berpura-pura mendengarkan Arianna yang masih membacakan puisi dan Raline yang
terus saja memuji Samudra, pikiran Nara melayang pada saat-saat pertemuannya
dengan Samudra yang sudah terjadi lebih dari lima kali. Ia dan Samudra selalu
bertemu di perpustakaan tanpa membuat janji sebelumnya. Seperti biasa, usai
kuliah Nara selalu pergi ke perpustakaan dan membaca buku dibagian referensi.
Lima menit kemudian, Samudra datang dan dengan cueknya selalu duduk bersama
dengan Nara seperti yang ia lakukan pada kali pertama. Kemudian, ia dan Samudra
akan terlibat percakapan paling aneh yang pernah ada. Ia dan Samudra selalu
berbicara tentang berbagai topic secara acak, mulai dari politik, film hingga
buku dan percakapan itu dilakukan sambil Nara fokus membaca buku dan Samudra
fokus dengan laptop vaio-nya.
“Kamu dengerin aku kan,
Ra?” tanya Raline, entah untuk yang keberapa kalinya. Nara tersentak dari
lamunannya, kemudian cepat-cepat ia mengangguk mengiyakan pertanyaan Raline
sambil tersenyum. Melihat respon Nara, Raline tampak senang, kemudian tanpa
jeda cukup lama Raline kembali melanjutkan ceritanya tentang Samudra.
Sudah lebih dari lima
menit, apakah Samudra tidak datang? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak
Nara hingga ia tidak bisa benar-benar fokus pada bukunya. Nara terus saja
melirik pintu masuk, berharap kalau Samudra akan muncul dengan tiba-tiba
disana. Tapi sudah lebih dari tiga puluh menit dan Samudra tidak kunjung
datang. Akhirnya, Nara memutuskan untuk membereskan barang-barangnya dan hendak
pergi ketika tiba-tiba saja Samudra sudah duduk dikursi kosong yang berada
didepannya.
“Kamu sudah mau pergi?”
tanya Samudra sambil mengerutkan kenignya.
“Mamaku sudah
menyuruhku untuk segera pulang,” dusta Nara.
“Oh… begitu. Tentu.
Hati-hati dijalan,” ujar Samudra. Nara mengangguk pelan sebelum melangkah
pergi. “Oh! Nara!” baru beberapa langkah, Samudra memanggil Nara dan membuat
gadis itu berbalik. “Apakah kamu mengenal gadis itu?” tanya Samudra, untuk
pertama kalinya Nara melihat mata pemuda itu berbinar dengan ketertarikan yang
nyata.
“Gadis itu?” tanya
Nara, bingung.
“Iya… gadis yang selalu
bersama kamu, yang berambut ikal panjang,” jawab Samudra tampak begitu
antusias. Nara tahu siapa gadis yang dimaksud Samudra, tentu saja ia tahu!
Gadis itu sahabatnya sendiri, Raline.
“Raline?” tanya Nara.
“Ah ya… Raline.”
Samudra mengiyakan. “Apakah dia sudah punya pacar?”
Senyum bahagia itu
terlukis diwajah Raline yang memang selalu tersenyum. Tapi kali ini, wajah itu
bersinar dengan sinar yang tak biasa. Sinar yang hanya bisa didapat melalui
keinginan dan hasrat hati yang terpenuhi. Dan mata Raline, mata yang selalu
berbinar dengan semangat itu kini berbinar lembut penuh cinta, dengan satu
objeknya, Samudra yang duduk tepat disebelahnya sambil memetik gitarnya dan
menyanyikan lagu Mine-nya Petra Sihombing.
Raline dan Samudra
memang sudah resmi jadian sejak sebulan yang lalu dengan masa pendekatan yang
teramat singkat, hanya seminggu! Hubungan mereka pun mejadi topic pembicaraan
yang cukup populer di prodi sastra inggris karena selama ini Samudra terkenal
begitu dingin kepada perempuan dan Raline sendiri terkenal dengan reputasinya
sebagai gadis cantik berhati batu. Dua-duanya sama-sama selektif dalam menjalin
hubungan,jadi tak heran jika begitu mereka berdua justru jadian, kabar itu
sontak menjadi pembicaraan anak sastra inggris.
Raline sendiri sering
bertanya-tanya bagaimana mungkin ia bisa jadia dengan Samudra karena setahunya,
selama ini Samudra tak pernah mengenalnya, bahkan tahu ia ada pun tidak. Tapi
tiba-tiba saja Samudra mulai gencar mendekatinya hingga mereka jadian. Pernah
Raline bertanya kenapa tiba-tiba Samudra menyadari keberadaannya, dan jawaban
Samudra benar-benar diluar dugaannya. Samudra mengatakan ia jatuh cinta pada
Raline karena cerita Nara. Samudra juga akhirnya menceritakan tentang
perbincangannya tentang berbagai topik secara acak dengan Nara. Lewat
perbincangan itu, Nara sering menyinggung tentang pendapat-pendapat Raline dan
buah pikiran gadis itu. Awalnya Samudra kira itu semua pendapat Nara, tapi
ketika Samudra menanyakannya pada Nara, Nara dengan jujur menjawab kalau ia
mengutip semua itu dari pendapat dan pikiran sahabatnya yang selalu membawa
aura positif. Samudra sebenarnya tidak yakin siapa yang dimaksud Nara, tapi
setelah memastikan lewat pengamatannya sendiri, akhirnya Samudra tahu kalau
orang yang dimaksud Nara adalah Raline.
Mendadak Samudra
berhenti memainkan gitarnya membuat lamunan Raline terputus.
From : +6285933704005
Sederhana saja, aku cinta kamu
Dan kamu cinta dia.
Teorinya… cinta itu datang dari dua arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu hanya datang dari satu arah
Pernahkah kamu menganggapku ada?
Aku memang Cuma bagian hidupmu yang terlupakan
Jadi lanjutkan hidupku dan anggap aku tak ada
Samudra mengernyitkan
keningnya. Ia tak paham isi pesan itu dan nomor yang mengiriminya pesan itu
juga nomor asing. Sambil mengangkat bahu, Samudra kembali mengantongi
ponselnya.
“Siapa sayang?” tanya
Raline penasaran.
“Operator,” jawab
Samudra singkat.
“Siapa sayang?” tanya
Raline penasaran.
“Operator,” jawab
Samudra singkat.
Nara menghapus air
matanya yang tanpa sengaja menetes. Dua orang yang tengah jatuh cinta itu tak
menyadari keberadaannya karena ia bersembunyi dengan baik, seperti ia
menyembunyikan perasaannya dengan baik. Perlahan, dengan tangan yang gemetar,
Nara menekan beberapa tombol si ponselnya.
To : Cinta Satu Arah-Ku
Sederhana saja, aku cinta kamu
Dan kamu cinta dia.
Teorinya… cinta itu datang dari dua arah
Tapi praktiknya… cintaku padamu hanya datang dari satu arah
Pernahkah kamu menganggapku ada?
Aku memang Cuma bagian hidupmu yang terlupakan
Jadi lanjutkan hidupku dan anggap aku tak ada
Delete? Yes/No
Sambil mengubur
semuanya dalam-dalam agar tak ada yang muncul dipemukaan, Nara memilih option
yes. Biarlah semuanya hanya ia dan Tuhan yang tahu karena ia tahu, cinta-nya
hanyalah cinta satu arah yang tak akan pernah berbalas.
NB
:
·
A
: Raline
·
B
: Keara
·
C
: Nara
·
D
: Samudra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar