Rabu, 20 Agustus 2014

Aku Tanpamu…



When you took it all you forgot your shadow…
*Sam Tsui – Shadow

Dear Samudra…

Ketika kamu membaca surat ini, aku pasti sudah berada di pesawat menuju Sorbonne. Ya, aku memutuskan untuk mengambil beasiswaku, maaf tidak memberitahu kamu sebelumnya dan membicarakannya secara langsung.

Aku memiliki banyak waktu bersamamu, tapi aku tak pernah bisa mengucapkan selamat tinggal secara langsung. Aku tidak sanggup. Aku tahu, aku tidak memiliki tempat dihatimu, tapi sejak hari pertunangan kita, kamu memiliki tempat tersendiri dihatiku, sebuah tempat yang hanya akan kamu miliki, baik dulu sekarang atau pun nanti.

Aku tidak ingin meminta cintamu lewat surat ini. aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal dan aku juga ingin bilang kalau aku memutuskan untuk menyerah. Mungkin memang bukan aku wanita yang akan memenangkan hatimu dan aku menerima kenyataan itu. Bersama surat ini, aku menyertakan cincin yang kamu berikan dihari pertunangan kita. Aku sudah tidak pantas mengenakannya lagi, dan suatu hari nanti aku yakin kamu akan menemukan seseorang yang pantas memakainya. Hanya saja maukah kamu berjanji satu hal untukku? maukah kamu berjanji kalau kamu akan bahagia?
Terimakasih atas semua kesempatan yang kamu berikan untukku. semoga kamu akan segera menemukan kebahagiaan yang sejati…

Bria


Entah untuk yang keberapa ratus kalinya selama hampir dua tahun terakhir ini Samudra membuka dan membaca lagi surat yang ditinggalkan Bria untuknya hampir dua tahun yang lalu, dan saat ini, di telapak tangannya, tergeletak sebuah cincin emas putih sederhana, cincin pertunangannya dengan Bria yang Bria kembalikan bersama dengan surat yang ia tinggalkan dihari kepergiannya dua tahun yang lalu. Saat ini Samudra ingin mengatakan pada Bria kalau ia bahagia tanpa Bria, kalau ia bisa hidup dengan baik tanpa gadis itu, tapi kenyataannya… hidup Samudra tanpa Bria bukanlah apa-apa.
Samudra benci Bria hadir dalam hidupnya. Baginya, Bria tak lebih dari sekedar tali kekang yang sengaja diikatkan kedua orang tuanya untuk mengatur hidupnya. Itulah sebabnya sejak pertuangan mereka, ia tak pernah memperlakukan Bria dengan baik meski gadis itu selalu bertahan dan terus bertahan. Samudra ingat, selama mereka bertunangan, Bria selalu datang ke apartemennya untuk membersihkan apartemennya dan memasak untuknya. Bria tidak pernah sekalipun tidak datang meski berkali-kali Samudra menyakiti Bria dengan berbagai cara yang terkadang melampaui batas. Bria tak pernah sekalipun menyerah, itulah kenapa, ketika suatu pagi hampir dua tahun yang lalu, ketika ia menemukan surat Bria tergeletak di meja makannya lengkap dengan sarapannya yang masih hangat, Samudra benar-benar terkejut. Ia tak membayangkan kalau Bria akan menyerah dan sejujurnya ia sedikit kecewa karena diam-diam dalam hatinya, Samudra mulai bisa menerima Bria bahkan mulai menyayangi gadis itu.
Ya… setelah Bria pergi dan kehidupan Samudra menjadi hampa tanpa kehadiran gadis itu, Samudra menyadari satu hal yang seharusnya ia sadari jauh sebelumnya, kalau ia mulai mencintai Bria. Saat itu Samudra tidak ingin mengakuinya dan berharap kalau perasaan itu hanyalah perwujudan dari rasa bersalahnya. Samudra hanya berharap kalau rasa itu akan pergi seiring dengan semua bayangan dan kenangan Bria dalam hidupnya.
Tapi sudah dua tahun berlalu… dan Samudra tak sekalipun bisa melupakan Bria. Gadis itu, dnegan caranya sendiri sanggup membuat Samudra mencintainya, bukan dengan cinta pada pandangan pertama yang meledak-ledak dan menggebu-gebu tapi dengan cinta yang datang perlahan dan menyusup dalam hatinya diam-diam. Cinta yang justru bercokol begitu kuat dalam benaknya.
Sekarang sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Bria dan ia tak pernah sekalipun menghubungi Bria. Samudra tidak ingin menganggu studi Bria disana. Jika Bria ingin meraih cita-citanya biarlah. Nanti, begitu Bria kembali ke Indonesia barulah Samudra akan mengejar Bria lagi dan mendapatkan cinta gadis itu seperti yang dulu dilakukan oleh Bria.
Samudra memejamkan matanya dan mengingat senyuman penuh kesabaran Bria yang begitu ia rindukan. Sebentar lagi Bria akan datang dan ia hanya bisa berharap kalau Bria yang akan ia temui adalah Bria yang dulu dikenalnya. Samudra menghela napas dan membuka matanya. Tepat disampaing ia meletakkan surat Bria, terdapat sebuah surat lain, surat yang ia tulis untuk Bria yang akan ia berikan ketika ia kembali nanti. Samudra berharap, kalau masih ada kesempatan kedua untuknya, untuk mencintai Bria dan memperlakukan Bria sebagaimana mestinya.

Dear Bria
Aku bukan lelaki romantis, aku bukan pula lelaki yang pintar merangkai kata-kata. Aku hanya ingin menyampaikan bagaimana perasaanku yang sebenarnya lewat surat yang kelewat sederhana ini.
Sudah dua tahun berlalu, Bria, apakah hatimu masih sama? Apakah masih ada tempat untukku masuk kembali dalam hidupmu?

Aku dulu memang bukan lelaki baik-baik yang bisa menjagamu, tapi hari ini, lewat surat ini, aku ingin mengatakan kalau aku tanpamu bukanlah apa-apa. Aku tanpamu hanyalah sebuah kehampaan. Untuk itu, aku ingin kamu mengisi kehampaan itu, aku ingin kamu menjadikanku berarti, agar aku bisa tertawa, agar aku bisa bahagia bersamamu…

Jika hatimu masih sama, kenakanlah lagi cincin yang kusertakan bersama surat ini.

Mungkin sudah terlambat, tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali bukan?

Lelaki yang mencintaimu…
Samudra.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar