Selasa, 17 Februari 2015

Save the Best for the Last



Nanti pulang kuliah aku jemput ya?
Entah untuk keberapa kalinya hari itu aku membuka sms yang dikirim oleh Janu semalam dan membaca berulang-ulang. Hingga sesiang ini, aku masih enggan untuk menjawabnya. Bukannya tidak beniat untuk membalasnya, sungguh aku tidak ingin menggantungkan Janu terlalu lama. Aku hanya tidak tahu harus menjawab apa. Ya atau tidak. Aku tahu, perasaan Janu padaku tidaklah murni sebagai seorang teman. Sudah sejak lama Janu secara terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku, tapi bagaimana denganku sendiri? Adakah sedikit perasaan yang kumiliki untuk Janu?
“Ngelamun aja, Ngga! Kesambet loh!” tegur Segara-Gara-yang tiba-tiba saja sudah duduk disebelahku sambil menghisap rokoknya. Cepat-cepat kumasukkan ponsel yang sedari tadi kugenggam kesaku celanaku. Gara tidak perlu tahu tentang sms Janu padaku. Sejak dulu hubungan Gara dan Janu memang tidak pernah baik.
“Nggak sayang apa duit dibakar kayak gitu,” gerutuku sambil mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengusir asap rokok Gara dengan gaya berlebihan. Melihat tingkahku Gara hanya nyengir sebelum melemparkan rokoknya begitu saja ke pot bunga yang ada di sampingnya. “Udah ngerokok sembarangan, eh… sekarang buang sampah juga sembarangan,” omelku.
“Ngomel mulu, ngga. Nggak capek apa,” balas Gara sambil mencubit hidungku yang langsung kusambut dengan gerutuan jengkel yang malah membuat senyum Gara semakin lebar. Sejak awal kuliah hubunganku dengan Gara memang cukup dekat. Bukan hanya karena kami satu program studi dan sering kali satu kelas, tapi juga karena tempat kos Gara yang dekat dengan kosku sehingga aku sering sekali nebeng motor Gara kalau sedang malas jalan kaki. Belum lagi kalau aku sedang malas keluar cari makan, Gara pasti akan membelikan makan untukku dan mengantarnya ke kosku. Sebentuk perhatian yang sangat kuhargai dari Gara.
“Ga, ntar balik kuliah jalan yuk?” ajakku. Sudah cukup lama aku dan Gara tidak jalan berdua. Biasanya hampir tiap malam minggu kami keluar.
Gara tampak mengernyitkan dahinya dan kelihatan salah tingkah yang kuanggap sebagai pertanda buruk. Biasanya kalau memang bisa Gara akan langsung saja mengiyakan ajakanku.
“Nggak bisa ya, Ga?” tanyaku. Akhir-akhir ini aku dan Gara memang sudah jarang pergi bersama. Bukan karena kesibukan kuliah kami, tapi karena Gara sibuk dengan pacar-pacarnya. Sudahkah aku mengatakan kalau Gara adalah playboy kelas kakap yang tidak hanya mempermainkan cewek-cewek Barbie yang tidak berotak tetapi juga aku? Ya… kuakui, alasanku tidak menanggapi perasaan Janu adalah karena Gara. Karena aku menunggu lelaki bandel tapi baik yang menjadi partner in crime ku sejak awal masuk kuliah ini mengalihkan perhatiannya dari cewek-cewek Barbie itu dan pada akhirnya memilihku.
 Gara mengangguk yang langsung mengempiskan semangat serta harapanku. “Sorry ya, Ngga. Dian minta diantar pergi nanti sore dan aku sudah terlanjur bilang iya,” ujar Gara sambil memasang tampang memelasnya yang selalu ampuh untuk meluluhkan hatiku. Aku menghela napas, berusaha menahan gejolak perasaanku. Dian, aku tahu cewek Barbie yang satu itu. Yang jelas ia cantik, berpenampilan menarik dengan make up tebal dan dada yang seolah tumpah ruah dari balik bajunya. Tapi sayang, sudah hampir tujuh tahun kuliah, cewek Barbie itu masih saja betah di kampus.
“Santailah, Ga. Lain kali juga bisa,” hiburku yang sebenarnya lebih kutujukan kepada diriku sendiri. Apakah aku harus berubah menjadi Barbie tak berotak untuk mendapatkan perhatianmu, Ga? Tanyaku kecut.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika kelas terakhirku berakhir. Dengan langkah gontai aku menuruni anak tangga satu persatu sambil mengulur waktu untuk bertemu dengan Janu yang sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu didepan gedung fakultas. Tadi setelah ajakanku ditolak Gara dan Gara pergi untuk mengampiri Dian, aku langsung membalas sms Janu dan mengiyakan permintaannya. Jahatkah aku? Ya… kuakui aku jahat. Aku selalu memanfaatkan Janu tiap kali Gara menyakiti hatiku. Ingin rasanya aku mengakhiri lingkaran setan ini. menghapus perasaanku pada Gara dan mulai belajar menyukai Janu, lelaki yang aku tahu mencintaiku dengan tulus.
“Duluan ya, Ngga.” Pamit Karin saat melewatiku. Aku tersenyum dan mengangguk. Gara sudah menghilang sejak tadi, mungkin menjemput Dian, pacarnya yang baru. Aku menghela napas dan mencoba menghilangkan rasa sakit yang mulai menderaku. Biar saja Gara bersenang-senang saat ini. Mungkin nanti jika waktunya sudah tepat Gara akan melihatku, batinku sambil menghibur diriku sendiri.

“Mukamu kok murung gitu, Ngga? Ada apa?” tanya Janu saat kami berdua telah duduk manis di kafe kesukaanku yang selalu menyajikan mocachino yang menurutku enak sekali. Aku sengaja menunda menjawab pertanyaan Janu dan malah memesan minuman favoritku. “Ada masalah ya?” tanya Janu lagi usai aku memesan es mocachino kesukaanku.
Aku tersenyum dan menggeleng. Aku tidak ingin melukai Janu lebih dalam lagi dengan menceritakan kegalauanku karena Gara. Sudah cukup aku menyakiti hatinya dengan memanfaatkannya seperti ini.
“Pasti karena Gara, ya”
Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Apakah sejelas itu? Aku menghela napas lagi yang entah untuk keberapa kalinya dalam hari ini dan mengangguk enggan.
“Kelihatan ya?” tanyaku dengan nada tidak enak.
Janu menggeleng dan tersenyum. Ah… betapa menyenangkannya andai aku bisa menyukai Janu seperti aku menyukai Gara. Pasti saat ini hidupku akan tenang dan damai. Aku tidak perlu merasa galau ataupun sakit seperti saat ini.
“Nggak kelihatan kok, Ngga. Cuma aku udah hapal dan tahu aja sama ekspresi wajahmu,” jelas Janu lembut. Aku terdiam, kehilangan kata-kata. Terbuat dari apakah hati Janu sebenarnya? Kenapa lelaki itu begitu sabar menghadapiku yang terang-terangan hanya bisa menyakitinya alih-alih membalas perasaannya?
“Ingga!”
Sebuah seruan tertahan menyeretku dari lamunanku. Cepat-cepat aku mengedarkan tatapanku dan mencari sumber seruan tertahan itu. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat melihat Gara ada di café ini dengan Dian si cewek Barbie yang menggelayut manja di lengannya. Dengan takut-takut aku melirik Janu yang duduk didepanku. Ekspresi lelaki itu tampak tenang dan terkendali, jauh berbeda dengan Gara yang tampak begitu marah.
Dengan langkah lebarnya, Gara menghampiriku dan menyeretku berdiri tanpa mempedulikan tatapan-tatapan mata penuh rasa penasaran yang menatap kami terang-terangan. “Ayo pulang,” geram Gara.
“Lepas, Ga… sakit…” pintaku sambil berusaha menarik lenganku yang dicengkeram Gara erat-erat. Tapi alih-alih mendengarkanku, Gara justru menatap marah ke arah Janu yang masih memasang ekspresi tenangnya.
“Lepaskan Ingga, Ga. Dia kesakitan.” Ujar Janu, tenang dan terkendali.
“Apa hak lo merintah-merintah gue buat lepasin Ingga? Emang lo siapannya?” tanya Gara yang sudah tidak bisa mengendalikan suaranya. Aku menggigit bibir bawahku, menahan malu sekaligus marah. Apa-apaan Gara? Kenapa dia bersikap seperti ini?
“Dan kamu, memang kamu siapanya Ingga?” Janu balas bertanya. Ia masih bagaikan danau yang tenang dan tak berombak, tapi aku tahu, Janu menyimpan amarahnya sendiri. Janu selalu menjadi sosok yang jauh lebih dewasa. Ia selalu mampu mengendalikan emosinya, berbeda jauh dengan Gara yang emosinya sering meledak-ledak. Meski kuakui, ledakan emosi Gara saat ini adalah yang terhebat.
“Sialan lo!?” teriak Gara seraya meninju wajah Janu hingga membuat lelaki itu jatuh terduduk dilantai café. Aku yang sudah bebas dari cengkeraman Gara ketika lelaki itu mencoba meninju Janu, segera menghampiri Janu dan berlutut disebelahnya.
“Kamu nggak apa-apa, Jan?” tanyaku sambil membantu Janu untuk berdiri.
“Ngapain kamu nolongin dia, Ngga!?” teriak Gara yang masih tak bisa mengendalikan emosinya. aku mengalihkan perhatianku dari Janu dan menatap Gara penuh amarah dan kebencian. Aku tidak mengenal Gara yang kini berdiri didepanku. Biasanya walaupun emosinya sering kali suka meledak-meledak, aku selalu luput dari ledakan emosi Gara. Lelaki itu akan tetap memperlakukanku dengan baik dan selembut sebelumnya, tapi ini…
“Dan kamu!” seruku. “Ngapain kamu nonjok Janu? Memang kamu siapaku?” tanyaku dengan nada bicara yang kubuat setegas dan sedingin mungkin. Gara tampak terkejut dengan pertanyaanku.
“Aku… aku…” Gara tergagap.
“Kenapa kamu harus marah kalau aku jalan sama Janu? Memang aku pernah marah kalau kamu jalan sama cewek-cewek Barbie yang engga punya otak yang kamu bilang pacarmu itu? Engga kan? Jadi aku harap kamu melakukan hal yang sama denganku karena sekalipun aku tidak pernah ikut campur urusan pribadimu!” semburku.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku menyeret Janu meninggalkan Gara dan juga Dina di café itu.


Ngga… please keluar bentar. Aku mau jelasin semuanya.
Aku menghela napas. Sudah lima belas menit berlalu sejak sms itu masuk ke ponselku tapi aku masih enggan melangkahkan kaki keluar dari kosku dan menemui Gara. Aku masih marah padanya, dan lebih parahnya lagi aku kecewa. Aku tidak menyangka Gara akan bertindak sebar-bar itu. Aku tahu hubungannya dengan Janu tidak baik karena memang sejak mereka kanak-kanak, Gara membenci Janu dan juga ibunya Janu yang masuk kedalam keluarga Gara beberapa tahun setelah ibunya Gara meninggal. Tapi pantaskah Janu menerima semua itu dari Gara? Aku tahu Janu lelaki baik dan dia diam-diam juga menyayangi Gara. Aku tahu itu karena aku sering kali melihat kesedihan di mata Janu tiap kali Janu menatap Gara, seolah-olah ia telah menyesal, menyesal karena telah menyakiti Gara dengan masuk dalam kehidupan lelaki itu.
Sebuah pekikan terdengar lagi dari ponselku. Dengan jengkel kuraih ponselku dan kubuka sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari Gara.
Aku nggak akan pergi sebelum kamu mau keluar dan mendengarkan penjelasanku.
Aku menghela napas panjang. Ya… mungkin sekaranglah waktunya aku menegaskan semuanya. Aku tidak mungkin terus terombang-ambing dalam ketidakpastian seperti ini. Lagipula Janu pantas mendapatkan yang terbaik. Dengan langkah berderap aku keluar kosku dan mendapati Gara tengah duduk dengan gelisah diatas motornya yang terparkir manis didepan pagar kosku.
“Ingga… syukurlah…” desah Gara penuh kelegaan saat aku datang menghampirinya.
“Sebaiknya cepat, aku nggak punya banyak waktu” perintahku tanpa basa-basi.
Gara menghela napas panjang, “Baiklah kalau itu maumu,” Gara mengiyakan kemudian memulai penjelasannya yang hanya kudengarkan setengah hati.
“Ngga… please maafin aku. Aku tahu sikapku tadi salah tapi aku cemburu, Ngga. Aku cemburu lihat kamu jalan sama Janu. Kamu tahu kan aku nggak suka sama Janu, dan aku lebih nggak suka lagi kalau kamu jalan sama dia. Tidak… tidak… bukan hanya nggak suka, tapi aku cemburu Ngga. Aku cemburu lihat kamu sama dia,”
Gara menyelesaikan penjelasaannya yang hanya bisa membuatku ternganga. Cemburu?
“Cemburu?” tanyaku bingung.
“Iya, Ngga. Cemburu,” Gara membenarkan
“Kenapa?” tanyaku bingung. Kini amarah dan kejengkelanku menguap seketika digantikan rasa bingung yang kini memenuhi benakku. Gara tampak salah tingkah didepanku sebelum akhirnya lelaki itu mengembuskan napas panjang. Mungkin ia telah memutuskan sesuatu, terlihat dari wajahnya yang tampak mengeras dengan tekad yang berkobar dimatanya yang tajam.
“Karena aku cinta kamu, Ngga.” Jawab Gara mantap.
Alih-alih senang dengan ungkapan cinta dari Gara, aku justru tertawa. Tawa sini dan hambar. Masuk akalkah jika Gara mencintaiku? Ingin rasanya aku mempercayai Gara, tapi sulit rasanya. Apalagi jika mengingat petualangan lelaki itu selama ini.
“Cinta? Kamu bilang cinta?” tanyaku sinis sebelum kembali tertawa terbahak-bahak.
Gara hanya bisa berdiri pasrah melihat reaksiku yang jelas sekali diluar dugaannya. Setelah puas bertanya, aku diam sambil menatap Gara dengan tajam. “Bagaimana bisa kamu bilang cinta sama aku kalau selama ini sikapmu menunjukkan sebaliknya?” tanyaku dengan nada menuntut. Gara yang aku tahu sudah membuat keputusan tampak sedang menguatkan tekadnya.
“Pernah dengan kata-kata save the best for the last?” tanya Gara. Aku mengangguk mengiyakan, meski aku tak tahu apa hubungannya kata-kata itu dengan hubungan kami. “Kata-kata itu berlaku untuk hubungan kita, Ngga” jelas Gara seolah bisa membaca pikiranku. “Aku mencintaimu entah sejak kapan. Mungkin sejak pertama kali melihatmu atau sejak pertama melihatmu menangis kesakitan, aku tidak tahu. Yang jelas aku mencintaimu. Aku sengaja tidak mengatakan perasaanku padamu walau aku tahu kamu juga mencintaiku. Aku ingin menghabiskan masa mudaku untuk bersenang-senang sebelum akhirnya aku kembali padamu dan memulai hubungan kita menuju langkah selanjutnya. Aku ingin menyimpan yang terbaik- dalam hal ini kamu-untuk yang terakhir,”
Gara menyelesaikan penjelasannya yang sukses membuatku ternganga. Senangkah aku? Tentu saja. Sudah hilangkah kemarahanku? Tidak, justru aku semakin marah. Gara pikir siapa dia bisa seenaknya saja menggantung perasaanku sedemikian rupa untuk sikap playboy dan kekanakannya. Tidak pernahkah Gara berpikir kalau aku ingin jadi yang pertama dan terakhir untuknya? Dan tidak pernahkah Gara mempertimbangkan perasaanku selama ini?
“Apa kamu pikir aku makanan, Ga? Atau mungkin barang?” tanyaku sengit.
“Ngga…”
“Cukup, Gara!” perintahku menghentikan apapun penjelasannya. Aku sudah lelah dan muak. Rupanya lelaki yang kucintai hanyalah lelaki egois yang hanya ingin bermain-main dengan hidupnya. Gara tidak pernah serius, seharusnya aku tahu. Aku kecewa pada Gara, tapi aku jauh lebih kecewa pada diriku sendiri karena telah mencintai lelaki egois dan manja macam Gara.
“Aku kecewa, Ga…” gumamku dengan suara terluka.
Melihatku seperti ini Gara tampak begitu tersiksa, hal yang kubenci sebelumnya. “Please Ngga, jangan kecewa sama aku,” pinta Gara memelas.
Aku menggeleng, mati-matian menahan air mata. Hatiku sudah mantap sekarang. Aku tidak bisa bersama seorang lelaki yang menganggap hubungan kami sebuah mainan. Save the best for the last? Bah! Yang benar saja?
“Aku kecewa pada diriku sendiri, Ga. Kecewa karena telah mencintai lelaki egois dan manja sepertimu,” ujarku tajam.
Gara membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi. Ia kehilangan kata-kata.
“Sekarang pergilah, Ga. Aku tidak mau melihatmu lagi. Aku sudah lelah dan muak dengan semua ini. mulai sekarang, anggap saja aku tidak ada karena aku pun akan menganggap kamu seperti itu,” putusku sebelum berbalik dan meninggalkan Gara. Mungkin memang sampai disinilah hubunganku dengan Gara. Begitu sampai di kamar, aku meraih ponselku dan langsung menelpon seseorang.

“Janu? Apakah tawaranmu waktu itu masih berlaku? Aku ingin belajar mencintaimu dan mencintai diriku sendiri,”

1 komentar:

  1. The Best Casinos & Games in Biloxi, MS | MapyRO
    Find 전라남도 출장샵 the best casinos 문경 출장마사지 in Biloxi, MS and compare 부천 출장샵 all the top slots, 울산광역 출장안마 video poker 김제 출장마사지 and table games for a more relaxed experience!

    BalasHapus