Nanti
pulang kuliah aku jemput ya?
Entah untuk keberapa
kalinya hari itu aku membuka sms yang dikirim oleh Janu semalam dan membaca
berulang-ulang. Hingga sesiang ini, aku masih enggan untuk menjawabnya.
Bukannya tidak beniat untuk membalasnya, sungguh aku tidak ingin menggantungkan
Janu terlalu lama. Aku hanya tidak tahu harus menjawab apa. Ya atau tidak. Aku
tahu, perasaan Janu padaku tidaklah murni sebagai seorang teman. Sudah sejak
lama Janu secara terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku, tapi bagaimana
denganku sendiri? Adakah sedikit perasaan yang kumiliki untuk Janu?
“Ngelamun aja, Ngga!
Kesambet loh!” tegur Segara-Gara-yang tiba-tiba saja sudah duduk disebelahku
sambil menghisap rokoknya. Cepat-cepat kumasukkan ponsel yang sedari tadi
kugenggam kesaku celanaku. Gara tidak perlu tahu tentang sms Janu padaku. Sejak
dulu hubungan Gara dan Janu memang tidak pernah baik.
“Nggak sayang apa duit
dibakar kayak gitu,” gerutuku sambil mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengusir
asap rokok Gara dengan gaya berlebihan. Melihat tingkahku Gara hanya nyengir
sebelum melemparkan rokoknya begitu saja ke pot bunga yang ada di sampingnya.
“Udah ngerokok sembarangan, eh… sekarang buang sampah juga sembarangan,”
omelku.
“Ngomel mulu, ngga.
Nggak capek apa,” balas Gara sambil mencubit hidungku yang langsung kusambut
dengan gerutuan jengkel yang malah membuat senyum Gara semakin lebar. Sejak
awal kuliah hubunganku dengan Gara memang cukup dekat. Bukan hanya karena kami
satu program studi dan sering kali satu kelas, tapi juga karena tempat kos Gara
yang dekat dengan kosku sehingga aku sering sekali nebeng motor Gara kalau
sedang malas jalan kaki. Belum lagi kalau aku sedang malas keluar cari makan,
Gara pasti akan membelikan makan untukku dan mengantarnya ke kosku. Sebentuk
perhatian yang sangat kuhargai dari Gara.
“Ga, ntar balik kuliah
jalan yuk?” ajakku. Sudah cukup lama aku dan Gara tidak jalan berdua. Biasanya
hampir tiap malam minggu kami keluar.
Gara tampak
mengernyitkan dahinya dan kelihatan salah tingkah yang kuanggap sebagai
pertanda buruk. Biasanya kalau memang bisa Gara akan langsung saja mengiyakan
ajakanku.
“Nggak bisa ya, Ga?”
tanyaku. Akhir-akhir ini aku dan Gara memang sudah jarang pergi bersama. Bukan
karena kesibukan kuliah kami, tapi karena Gara sibuk dengan pacar-pacarnya.
Sudahkah aku mengatakan kalau Gara adalah playboy
kelas kakap yang tidak hanya mempermainkan cewek-cewek Barbie yang tidak berotak tetapi juga aku? Ya… kuakui, alasanku
tidak menanggapi perasaan Janu adalah karena Gara. Karena aku menunggu lelaki
bandel tapi baik yang menjadi partner in
crime ku sejak awal masuk kuliah ini mengalihkan perhatiannya dari
cewek-cewek Barbie itu dan pada
akhirnya memilihku.
Gara mengangguk yang langsung mengempiskan
semangat serta harapanku. “Sorry ya,
Ngga. Dian minta diantar pergi nanti sore dan aku sudah terlanjur bilang iya,”
ujar Gara sambil memasang tampang memelasnya yang selalu ampuh untuk meluluhkan
hatiku. Aku menghela napas, berusaha menahan gejolak perasaanku. Dian, aku tahu
cewek Barbie yang satu itu. Yang
jelas ia cantik, berpenampilan menarik dengan make up tebal dan dada yang
seolah tumpah ruah dari balik bajunya. Tapi sayang, sudah hampir tujuh tahun
kuliah, cewek Barbie itu masih saja
betah di kampus.
“Santailah, Ga. Lain
kali juga bisa,” hiburku yang sebenarnya lebih kutujukan kepada diriku sendiri.
Apakah aku harus berubah menjadi Barbie
tak berotak untuk mendapatkan
perhatianmu, Ga? Tanyaku kecut.
Jam sudah menunjukkan
pukul tiga sore ketika kelas terakhirku berakhir. Dengan langkah gontai aku
menuruni anak tangga satu persatu sambil mengulur waktu untuk bertemu dengan
Janu yang sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu didepan gedung
fakultas. Tadi setelah ajakanku ditolak Gara dan Gara pergi untuk mengampiri
Dian, aku langsung membalas sms Janu dan mengiyakan permintaannya. Jahatkah
aku? Ya… kuakui aku jahat. Aku selalu memanfaatkan Janu tiap kali Gara
menyakiti hatiku. Ingin rasanya aku mengakhiri lingkaran setan ini. menghapus
perasaanku pada Gara dan mulai belajar menyukai Janu, lelaki yang aku tahu
mencintaiku dengan tulus.
“Duluan ya, Ngga.”
Pamit Karin saat melewatiku. Aku tersenyum dan mengangguk. Gara sudah
menghilang sejak tadi, mungkin menjemput Dian, pacarnya yang baru. Aku menghela
napas dan mencoba menghilangkan rasa sakit yang mulai menderaku. Biar saja Gara
bersenang-senang saat ini. Mungkin nanti jika waktunya sudah tepat Gara akan
melihatku, batinku sambil menghibur diriku sendiri.
“Mukamu kok murung
gitu, Ngga? Ada apa?” tanya Janu saat kami berdua telah duduk manis di kafe
kesukaanku yang selalu menyajikan mocachino yang menurutku enak sekali. Aku
sengaja menunda menjawab pertanyaan Janu dan malah memesan minuman favoritku.
“Ada masalah ya?” tanya Janu lagi usai aku memesan es mocachino kesukaanku.
Aku tersenyum dan
menggeleng. Aku tidak ingin melukai Janu lebih dalam lagi dengan menceritakan
kegalauanku karena Gara. Sudah cukup aku menyakiti hatinya dengan
memanfaatkannya seperti ini.
“Pasti karena Gara, ya”
Itu pernyataan, bukan
pertanyaan. Apakah sejelas itu? Aku menghela napas lagi yang entah untuk
keberapa kalinya dalam hari ini dan mengangguk enggan.
“Kelihatan ya?” tanyaku
dengan nada tidak enak.
Janu menggeleng dan
tersenyum. Ah… betapa menyenangkannya andai aku bisa menyukai Janu seperti aku
menyukai Gara. Pasti saat ini hidupku akan tenang dan damai. Aku tidak perlu
merasa galau ataupun sakit seperti saat ini.
“Nggak kelihatan kok,
Ngga. Cuma aku udah hapal dan tahu aja sama ekspresi wajahmu,” jelas Janu
lembut. Aku terdiam, kehilangan kata-kata. Terbuat dari apakah hati Janu
sebenarnya? Kenapa lelaki itu begitu sabar menghadapiku yang terang-terangan
hanya bisa menyakitinya alih-alih membalas perasaannya?
“Ingga!”
Sebuah seruan tertahan
menyeretku dari lamunanku. Cepat-cepat aku mengedarkan tatapanku dan mencari
sumber seruan tertahan itu. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat
melihat Gara ada di café ini dengan Dian si cewek Barbie yang menggelayut manja di lengannya. Dengan takut-takut aku
melirik Janu yang duduk didepanku. Ekspresi lelaki itu tampak tenang dan
terkendali, jauh berbeda dengan Gara yang tampak begitu marah.
Dengan langkah
lebarnya, Gara menghampiriku dan menyeretku berdiri tanpa mempedulikan
tatapan-tatapan mata penuh rasa penasaran yang menatap kami terang-terangan.
“Ayo pulang,” geram Gara.
“Lepas, Ga… sakit…”
pintaku sambil berusaha menarik lenganku yang dicengkeram Gara erat-erat. Tapi
alih-alih mendengarkanku, Gara justru menatap marah ke arah Janu yang masih
memasang ekspresi tenangnya.
“Lepaskan Ingga, Ga.
Dia kesakitan.” Ujar Janu, tenang dan terkendali.
“Apa hak lo
merintah-merintah gue buat lepasin Ingga? Emang lo siapannya?” tanya Gara yang
sudah tidak bisa mengendalikan suaranya. Aku menggigit bibir bawahku, menahan
malu sekaligus marah. Apa-apaan Gara? Kenapa dia bersikap seperti ini?
“Dan kamu, memang kamu
siapanya Ingga?” Janu balas bertanya. Ia masih bagaikan danau yang tenang dan
tak berombak, tapi aku tahu, Janu menyimpan amarahnya sendiri. Janu selalu
menjadi sosok yang jauh lebih dewasa. Ia selalu mampu mengendalikan emosinya,
berbeda jauh dengan Gara yang emosinya sering meledak-ledak. Meski kuakui,
ledakan emosi Gara saat ini adalah yang terhebat.
“Sialan lo!?” teriak
Gara seraya meninju wajah Janu hingga membuat lelaki itu jatuh terduduk
dilantai café. Aku yang sudah bebas dari cengkeraman Gara ketika lelaki itu
mencoba meninju Janu, segera menghampiri Janu dan berlutut disebelahnya.
“Kamu nggak apa-apa,
Jan?” tanyaku sambil membantu Janu untuk berdiri.
“Ngapain kamu nolongin
dia, Ngga!?” teriak Gara yang masih tak bisa mengendalikan emosinya. aku
mengalihkan perhatianku dari Janu dan menatap Gara penuh amarah dan kebencian.
Aku tidak mengenal Gara yang kini berdiri didepanku. Biasanya walaupun emosinya
sering kali suka meledak-meledak, aku selalu luput dari ledakan emosi Gara.
Lelaki itu akan tetap memperlakukanku dengan baik dan selembut sebelumnya, tapi
ini…
“Dan kamu!” seruku.
“Ngapain kamu nonjok Janu? Memang kamu siapaku?” tanyaku dengan nada bicara
yang kubuat setegas dan sedingin mungkin. Gara tampak terkejut dengan
pertanyaanku.
“Aku… aku…” Gara
tergagap.
“Kenapa kamu harus marah
kalau aku jalan sama Janu? Memang aku pernah marah kalau kamu jalan sama
cewek-cewek Barbie yang engga punya
otak yang kamu bilang pacarmu itu? Engga kan? Jadi aku harap kamu melakukan hal
yang sama denganku karena sekalipun aku tidak pernah ikut campur urusan
pribadimu!” semburku.
Lalu tanpa mengatakan
apa-apa lagi, aku menyeret Janu meninggalkan Gara dan juga Dina di café itu.
Ngga…
please keluar bentar. Aku mau jelasin semuanya.
Aku menghela napas.
Sudah lima belas menit berlalu sejak sms itu masuk ke ponselku tapi aku masih
enggan melangkahkan kaki keluar dari kosku dan menemui Gara. Aku masih marah
padanya, dan lebih parahnya lagi aku kecewa. Aku tidak menyangka Gara akan bertindak
sebar-bar itu. Aku tahu hubungannya dengan Janu tidak baik karena memang sejak
mereka kanak-kanak, Gara membenci Janu dan juga ibunya Janu yang masuk kedalam
keluarga Gara beberapa tahun setelah ibunya Gara meninggal. Tapi pantaskah Janu
menerima semua itu dari Gara? Aku tahu Janu lelaki baik dan dia diam-diam juga
menyayangi Gara. Aku tahu itu karena aku sering kali melihat kesedihan di mata
Janu tiap kali Janu menatap Gara, seolah-olah ia telah menyesal, menyesal
karena telah menyakiti Gara dengan masuk dalam kehidupan lelaki itu.
Sebuah pekikan
terdengar lagi dari ponselku. Dengan jengkel kuraih ponselku dan kubuka sebuah
pesan yang baru saja masuk. Dari Gara.
Aku
nggak akan pergi sebelum kamu mau keluar dan mendengarkan penjelasanku.
Aku menghela napas
panjang. Ya… mungkin sekaranglah waktunya aku menegaskan semuanya. Aku tidak
mungkin terus terombang-ambing dalam ketidakpastian seperti ini. Lagipula Janu
pantas mendapatkan yang terbaik. Dengan langkah berderap aku keluar kosku dan
mendapati Gara tengah duduk dengan gelisah diatas motornya yang terparkir manis
didepan pagar kosku.
“Ingga… syukurlah…”
desah Gara penuh kelegaan saat aku datang menghampirinya.
“Sebaiknya cepat, aku
nggak punya banyak waktu” perintahku tanpa basa-basi.
Gara menghela napas
panjang, “Baiklah kalau itu maumu,” Gara mengiyakan kemudian memulai
penjelasannya yang hanya kudengarkan setengah hati.
“Ngga… please maafin aku. Aku tahu sikapku tadi
salah tapi aku cemburu, Ngga. Aku cemburu lihat kamu jalan sama Janu. Kamu tahu
kan aku nggak suka sama Janu, dan aku lebih nggak suka lagi kalau kamu jalan
sama dia. Tidak… tidak… bukan hanya nggak suka, tapi aku cemburu Ngga. Aku
cemburu lihat kamu sama dia,”
Gara menyelesaikan
penjelasaannya yang hanya bisa membuatku ternganga. Cemburu?
“Cemburu?” tanyaku
bingung.
“Iya, Ngga. Cemburu,”
Gara membenarkan
“Kenapa?” tanyaku
bingung. Kini amarah dan kejengkelanku menguap seketika digantikan rasa bingung
yang kini memenuhi benakku. Gara tampak salah tingkah didepanku sebelum
akhirnya lelaki itu mengembuskan napas panjang. Mungkin ia telah memutuskan
sesuatu, terlihat dari wajahnya yang tampak mengeras dengan tekad yang berkobar
dimatanya yang tajam.
“Karena aku cinta kamu,
Ngga.” Jawab Gara mantap.
Alih-alih senang dengan
ungkapan cinta dari Gara, aku justru tertawa. Tawa sini dan hambar. Masuk
akalkah jika Gara mencintaiku? Ingin rasanya aku mempercayai Gara, tapi sulit
rasanya. Apalagi jika mengingat petualangan lelaki itu selama ini.
“Cinta? Kamu bilang
cinta?” tanyaku sinis sebelum kembali tertawa terbahak-bahak.
Gara hanya bisa berdiri
pasrah melihat reaksiku yang jelas sekali diluar dugaannya. Setelah puas
bertanya, aku diam sambil menatap Gara dengan tajam. “Bagaimana bisa kamu
bilang cinta sama aku kalau selama ini sikapmu menunjukkan sebaliknya?” tanyaku
dengan nada menuntut. Gara yang aku tahu sudah membuat keputusan tampak sedang
menguatkan tekadnya.
“Pernah dengan
kata-kata save the best for the last?”
tanya Gara. Aku mengangguk mengiyakan, meski aku tak tahu apa hubungannya
kata-kata itu dengan hubungan kami. “Kata-kata itu berlaku untuk hubungan kita,
Ngga” jelas Gara seolah bisa membaca pikiranku. “Aku mencintaimu entah sejak
kapan. Mungkin sejak pertama kali melihatmu atau sejak pertama melihatmu
menangis kesakitan, aku tidak tahu. Yang jelas aku mencintaimu. Aku sengaja
tidak mengatakan perasaanku padamu walau aku tahu kamu juga mencintaiku. Aku
ingin menghabiskan masa mudaku untuk bersenang-senang sebelum akhirnya aku
kembali padamu dan memulai hubungan kita menuju langkah selanjutnya. Aku ingin
menyimpan yang terbaik- dalam hal ini kamu-untuk yang terakhir,”
Gara menyelesaikan
penjelasannya yang sukses membuatku ternganga. Senangkah aku? Tentu saja. Sudah
hilangkah kemarahanku? Tidak, justru aku semakin marah. Gara pikir siapa dia
bisa seenaknya saja menggantung perasaanku sedemikian rupa untuk sikap playboy dan kekanakannya. Tidak
pernahkah Gara berpikir kalau aku ingin jadi yang pertama dan terakhir
untuknya? Dan tidak pernahkah Gara mempertimbangkan perasaanku selama ini?
“Apa kamu pikir aku
makanan, Ga? Atau mungkin barang?” tanyaku sengit.
“Ngga…”
“Cukup, Gara!”
perintahku menghentikan apapun penjelasannya. Aku sudah lelah dan muak. Rupanya
lelaki yang kucintai hanyalah lelaki egois yang hanya ingin bermain-main dengan
hidupnya. Gara tidak pernah serius, seharusnya aku tahu. Aku kecewa pada Gara,
tapi aku jauh lebih kecewa pada diriku sendiri karena telah mencintai lelaki
egois dan manja macam Gara.
“Aku kecewa, Ga…”
gumamku dengan suara terluka.
Melihatku seperti ini
Gara tampak begitu tersiksa, hal yang kubenci sebelumnya. “Please Ngga, jangan kecewa sama aku,” pinta Gara memelas.
Aku menggeleng,
mati-matian menahan air mata. Hatiku sudah mantap sekarang. Aku tidak bisa
bersama seorang lelaki yang menganggap hubungan kami sebuah mainan. Save the best for the last? Bah! Yang
benar saja?
“Aku kecewa pada diriku
sendiri, Ga. Kecewa karena telah mencintai lelaki egois dan manja sepertimu,”
ujarku tajam.
Gara membuka mulutnya
kemudian menutupnya lagi. Ia kehilangan kata-kata.
“Sekarang pergilah, Ga.
Aku tidak mau melihatmu lagi. Aku sudah lelah dan muak dengan semua ini. mulai
sekarang, anggap saja aku tidak ada karena aku pun akan menganggap kamu seperti
itu,” putusku sebelum berbalik dan meninggalkan Gara. Mungkin memang sampai
disinilah hubunganku dengan Gara. Begitu sampai di kamar, aku meraih ponselku
dan langsung menelpon seseorang.
“Janu? Apakah tawaranmu
waktu itu masih berlaku? Aku ingin belajar mencintaimu dan mencintai diriku
sendiri,”
The Best Casinos & Games in Biloxi, MS | MapyRO
BalasHapusFind 전라남도 출장샵 the best casinos 문경 출장마사지 in Biloxi, MS and compare 부천 출장샵 all the top slots, 울산광역 출장안마 video poker 김제 출장마사지 and table games for a more relaxed experience!