Apa yang dicari lelaki
dari seorang perempuan? Kecantikan? Kepintaran? Ataukah kebaikan? Bagiku lelaki
paling beruntung adalah lelaki yang setidaknya menemukan dua dari tiga kriteria
wanita idaman. Setidaknya seorang lelaki akan beruntung jika memiliki perempuan
yang cantik dan pintar atau setidaknya cantik dan baik. Tapi beberapa bulan
belakangan ini, sejak semester baru dimulai, mendadak saja aku menjadi lelaki
yang cukup beruntung didunia ini. Cukup beruntung, bukan beruntung karena aku
hanya bisa melihat bukan memiliki perempuan sempurna yang memiliki semua
kriteria perempuan ideal. Perempuan itu bernama Nesha Anggabaya. Ketika pertama
kali melihat Nesha, yang ada di benakku hanyalah ”she’s the one”, dia perempuan
yang aku cari selama ini. Aku memang belum lama mengenal Nesha, namun lewat
interaksi-interaksi singkat diantara kami seusai kelas, aku tahu, kalau Nesha
adalah perempuan baik-baik dengan kecantikan yang selalu bersinar dan
kepintaran yang membuat matanya selalu berbinar-binar. Itulah kenapa aku tidak
pernah mengalihkan tatapanku dari Nesha ketika kami satu kelas yang sialnya
hanya terjadi seminggu sekali.
Nesha bukan orang yang
mudah didekati, aku akui itu. Meski ia selalu baik pada setiap orang, selalu
menyunggingkan senyum kepada siapapun yang mengenalnya, entah kenapa aku selalu
merasa Nesha memiliki sebuah benteng pertahanan dalam dirinya. Benteng
pertahanan yang menjaga setiap orang lain diluar, benteng pertahanan yang
selalu menjaga Nesha agar tak tersentuh dan aman dalam dunianya. Aku sering
mengamati Nesha, melihat bagaimana ekspresi wajahnya ketika bersama dengan
orang lain dan ekspresi wajahnya ketika ia sedang sendirian atau ketika ia
pikir tak ada orang lain yang memperhatikan. Sungguh kontradiksi yang begitu
jauh. Ketika Nesha berinteraksi dalam orang lain, ia selalu menjaga ekspresi
wajahnya netral, ia tersenyum ketika saatnya tersenyum dan berbicara pada
saatnya berbicara. Hanya itu. Tak ada cerita tentang kehidupannya. Ia hanya
mengomentari bukan menimpali. Dan ketika Nesha pikir ia sendirian dan tak ada
orang yang memperhatikan, gadis yang semula mengumbar senyum kepada semua orang
mendadak lenyap digantikan dengan seorang gadis dengan wajah berkerut, seolah
menahan sakit.
Aku tidak mengenal
Nesha sebaik itu sebenarnya, semua yang aku pikirkan hanyalah hasil dari
pengamatan singkat yang aku lakukan seminggu sekali. Nesha terlalu sulit untuk
dikenal, dia hanya menunjukkan kepada semua orang satu versi dirinya. Nesha
yang baik, cerdas, ramah dan selalu terkendali. Dari teman-temannya, aku tahu
kalau Nesha tak pernah sekalipun menunjukkan emosi negatif pada mereka, yang
mereka tahu adalah satu versi Nesha seperti yang diketahui semua orang. Entah
apa yang disembunyikan Nesha dibalik benteng yang ia bangun, tapi yang jelas,
saat ini aku akan mengungkapkan semua itu.
Aku tengah dalam
perjalanan menjemput Kira, adikku yang bawel setengah mati saat tanpa sengaja
aku melihat Nesha yang tengah memberhentikan sebuah taksi. Tapi bukan itu yang
membuatku mendadak melupakan Kira dan mengikuti Nesha, melainkan gerak-gerik
Nesha saat perempuan itu hendak masuk kedalam taksi. Nesha yang biasanya
mengenakan celana jeans dan kemeja longgar, hari itu mengenakan polo shirt
putih yang dipadupadankan dengan rok hitam selutut, dan Nesha yang biasanya
tidak menggunakan make up, hari itu mengenakan make up tebal. Aku memelankan laju motorku dan mengamati
Nesha saat gadis itu secara cepat menyapukan pandangan kesekitar, seolah
memastikan tak ada yang melihatnya dan masuk ke dalam taksi dengan
terburu-buru, seolah ia tak ingin ada yang tahu. Saat itulah mendadak saja aku
menemukan sebuah momentum, momentum yang menurut firasatku akan membuka semua
yang Nesha sembunyikan didalam bentengnya, Nesha dalam versi yang berbeda.
Perlahan, taksi yang
ditumpangi Nesha mulai melaju menembus lalu lintas siang yang selalu padat. Aku
yang saat itu untunnya mengenakan helm teropong kesayanganku dengan kaca film
sebagai pelindung dari sinar matahari dengan mudah mengikuti taksi yang
ditumpangi Nesha tanpa takut ketahuan, toh… orang lain tak akan bisa melihat
wajahku. Aku terus menjaga jarak dengan taksi Nesha, berusaha tampak sewajar
mungkin meski pada kenyataannya saat ini aku tengah mengikuti gadis yang
diam-diam memiliki hatiku dan mengabaikan ponselku yang terus bergetar. Tanpa
melihat pun aku tahu, Kira tengah mengomel sambil mencoba menelponku. Aku hanya
bisa berharap kalau apapun yang akan aku temukan nanti akan sepadan dengan
mendengarkan omelan Kira seharian.
Aku sama sekali tidak
memiliki ide kemana sebenarnya Nesha akan pergi dengan taksinya. Aku hanya
terus mengikutinya meski taksi yang ditumpangi Nesha mulai berkendara ke
pinggiran kota, tempat beberapa perumahan mewah berdiri dengan gagahnya.
Setelah hampir tiga puluh menit berkendara dan menembus lalu lintas siang yang
padat, akhirnya taksi yang ditumpangi Nesha berbelok dan memasuki sebuah
kompleks perumahan mewah yang berfungsi ganda sebagai rumah peristirahatan
karena lokasinya yang cukup strategis. Aku menyingkirkan semua pemikiran yang
mendadak saja melintasi kepalaku karena aku tahu, Nesha tidak tinggal di
perumahan ini. Nesha tinggal di perumahan yang jauh lebih sederhana ditengah
kota, bukan perumahan mewah di tepi kota seperti ini. Aku terus saja berkutat
dengan pikiranku, hingga akhirnya, taksi yang ditumpangi Nesha berhenti didepan
sebuah rumah mewah yang tampak lengang.
Kuhentikan motorku
beberapa meter dari taksi Nesha dan berpura-pura mengotak-atik handphone tanpa
membuka kaca pengaman helmku. Aku melihat Nesha turun dari taksi dan membayar
taksi tersebut. Aku juga melihat saat Nesha membiarkan taksi itu berlalu
sebelum akhirnya melangkah memasuki halaman rumah dimana seorang lelaki paruh
baya dengan perut buncit dan rambut memutih yang kehadirannya baru saja aku
sadari sedang menunggu Nesha. Awalnya aku pikir lelaki itu adalah ayah Nesha
atau kerabatnya, tapi semua pemikiran itu runtuh saat Nesha menghampiri lelaki
itu dan berciuman yang sukses membuatku kehilangan kata-kata saat itu juga.
Mungkinkah? Mungkinkah Nesha yang kukenal selama ini adalah seorang… aku tidak
sanggup memikirkan kata itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku menghidupkan mesin
motorku dan hendak melajukan motorku saat tanpa sengaja, pemilik rumah yang
jalanan depannya ku gunakan untuk parkir tengah mengintip Nesha dan lelaki
paruh baya itu. Seketika itu aku memutuskan untuk mematikan mesin motorku dan
menghampiri ibu-ibu yang memiliki rasa keingin tahuan tinggi itu tepat setelah
Nesha dan lelaki paruh baya itu masuk ke dalam rumah.
“Permisi, Bu” tegurku
sepelan mungkin agar tidak mengagetkan si ibu yang masih asyik mengamati meski
yang diamati sudah masuk kedalam rumah. Si Ibu dengan rasa keingintahuan tinggi
itu terkesiap kaget dan menghela napas lega saat melihatku sambil menyentuh
dadanya.
“Eh… maaf, Bu” ucapku buru-buru.
“Eh… maaf, Bu” ucapku buru-buru.
Ibu itu mengibaskan
tangannya dan tersenyum malu. “Ndak papa… ndak papa…” jawab Si Ibu kikuk. “Ada
apa ya, Nak?” tanya Ibu itu beberapa saat kemudian.
“Maaf sebelumnya, Bu,
apa ibu mengenal bapak-bapak yang tinggal dirumah sebelah?” tanyaku tanpa
basa-basi lagi. Aku nyaris tidak peduli dengan apapun yang Ibu ini pikirkan.
Yang ingin aku tahu hanyalah kebenaran.
Ibu itu memicingkan
matanya dan menatapku dengan tatapan curiga selama beberapa detik yang panjang
sebelum akhirnya Ibu itu mengangkat kedua bahunya dengan acuh yang langsung
membuat napasku lega. “Ibu tidak tahu siapa kamu dan apa tujuan kamu menanyakan
itu, tapi ibu akan menjawab pertanyaan kamu sesuai dengan yang ibu tahu,” jelas
si Ibu.
Aku pasti akan memutar
bola mataku dan mengerang dalam hati kalau saja hal ini tidak menyangkut dengan
Nesha, perempuan yang diam-diam menyandera hatiku. Aku sudah menduga si Ibu
akan dengan senang hati bergosip denganku, kentara sekali dengan sikapnya yang
mengintip tetangganya sedemikian rupa.
“Asal kamu tahu nak,
lelaki paruh baya yang kamu lihat tadi tidak tinggal di situ. Dia hanya datang
kerumah itu beberapa kali seminggu dan itu pun dengan wanita yang berbeda
setiap kalinya. Tapi yang paling sering ya wanita itu, yang kamu lihat ciuman
tadi,” ujar si Ibu dengan semangat menggebu-gebu. Aku tahu, saat ini si Ibu
tengan menunggu responku, ia menatapku dengan penuh harap, menunggu sebuah
komentar meluncur dari sela-sela bibirku yang terkatup rapat. Sayangnya aku
harus mengecewakan Ibu itu, aku tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengomentarinya,
bahkan untuk menghidupkan motorku pun aku tak sanggup. Tubuhku seperti
kehilangan dayanya, dan yang bisa aku lakukan hanyalah menatap nanar rumah
mewah yang tertutup rapat sambil bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan
Nesha Anggabaya-perempuan yang menurutku sempurna yang telah mencuri
hatiku-didalam sana.
Sepanjang perjalanan
pulang yang terlintas dalam benakku hanyalah Medusa, seorang perempuan berambut
ular yang mampu mengubah siapapun yang melihat matanya menjadi batu. Medusa
yang dulunya cantik namun terkutuk, medusa yang ditakdirkan untuk tinggal
didunia bawah sebelum akhirnya dibunuh oleh Perseus. Mungkin seperti Medusa-lah
aku menggambar Nesha saat ini. Aku sendiri pun tak tahu kenapa justru Medusa
yang terlintas dalam benakku begitu aku sanggup menguasai perasaanku dan
akhirnya melajukan motorku lagi. Tapi yang jelas saat ini, Medusa-lah yang
paling cocok dengan Nesha. Mungkin Nesha memang tidak memiliki rambut ular,
Nesha mungkin juga tidak tinggal didunia bawah, tapi Nesha memiliki kekuatan
untuk mengubah hati orang yang mencintainya menjadi batu dan ia juga terkutuk,
terkutuk karena semua perbuatannya. Bisa-bisa ia menampilkan citra perempuan
baik-baik yang tidak berdaya dan manis sementara diluar itu, dibalik benteng
yang melindunginya Nesha bertingkah seperti perempuan tak bermoral.
Marah dan sakit hati.
Hanya itu yang bisa aku rasakan saat ini. Bagaimana mungkin aku mencintai
seseorang yang menjual dirinya kepada lelaki hidung belang? Kenapa aku dengan
mudahnya bisa tertipu? Semua pertanyaan it uterus berputar-putar dalam benakku
dan mulai menyesatkanku. Kurasa, inilah sesungguhnya pesona sang Medusa yang
perlahan-lahan menjeratku dan pada akhirnya menghancurkanku, mengubah hatiku
menjadi batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar