Selasa, 07 Oktober 2014

Pesona Medusa


Apa yang dicari lelaki dari seorang perempuan? Kecantikan? Kepintaran? Ataukah kebaikan? Bagiku lelaki paling beruntung adalah lelaki yang setidaknya menemukan dua dari tiga kriteria wanita idaman. Setidaknya seorang lelaki akan beruntung jika memiliki perempuan yang cantik dan pintar atau setidaknya cantik dan baik. Tapi beberapa bulan belakangan ini, sejak semester baru dimulai, mendadak saja aku menjadi lelaki yang cukup beruntung didunia ini. Cukup beruntung, bukan beruntung karena aku hanya bisa melihat bukan memiliki perempuan sempurna yang memiliki semua kriteria perempuan ideal. Perempuan itu bernama Nesha Anggabaya. Ketika pertama kali melihat Nesha, yang ada di benakku hanyalah ”she’s the one”, dia perempuan yang aku cari selama ini. Aku memang belum lama mengenal Nesha, namun lewat interaksi-interaksi singkat diantara kami seusai kelas, aku tahu, kalau Nesha adalah perempuan baik-baik dengan kecantikan yang selalu bersinar dan kepintaran yang membuat matanya selalu berbinar-binar. Itulah kenapa aku tidak pernah mengalihkan tatapanku dari Nesha ketika kami satu kelas yang sialnya hanya terjadi seminggu sekali.

Nesha bukan orang yang mudah didekati, aku akui itu. Meski ia selalu baik pada setiap orang, selalu menyunggingkan senyum kepada siapapun yang mengenalnya, entah kenapa aku selalu merasa Nesha memiliki sebuah benteng pertahanan dalam dirinya. Benteng pertahanan yang menjaga setiap orang lain diluar, benteng pertahanan yang selalu menjaga Nesha agar tak tersentuh dan aman dalam dunianya. Aku sering mengamati Nesha, melihat bagaimana ekspresi wajahnya ketika bersama dengan orang lain dan ekspresi wajahnya ketika ia sedang sendirian atau ketika ia pikir tak ada orang lain yang memperhatikan. Sungguh kontradiksi yang begitu jauh. Ketika Nesha berinteraksi dalam orang lain, ia selalu menjaga ekspresi wajahnya netral, ia tersenyum ketika saatnya tersenyum dan berbicara pada saatnya berbicara. Hanya itu. Tak ada cerita tentang kehidupannya. Ia hanya mengomentari bukan menimpali. Dan ketika Nesha pikir ia sendirian dan tak ada orang yang memperhatikan, gadis yang semula mengumbar senyum kepada semua orang mendadak lenyap digantikan dengan seorang gadis dengan wajah berkerut, seolah menahan sakit.
Aku tidak mengenal Nesha sebaik itu sebenarnya, semua yang aku pikirkan hanyalah hasil dari pengamatan singkat yang aku lakukan seminggu sekali. Nesha terlalu sulit untuk dikenal, dia hanya menunjukkan kepada semua orang satu versi dirinya. Nesha yang baik, cerdas, ramah dan selalu terkendali. Dari teman-temannya, aku tahu kalau Nesha tak pernah sekalipun menunjukkan emosi negatif pada mereka, yang mereka tahu adalah satu versi Nesha seperti yang diketahui semua orang. Entah apa yang disembunyikan Nesha dibalik benteng yang ia bangun, tapi yang jelas, saat ini aku akan mengungkapkan semua itu.
Aku tengah dalam perjalanan menjemput Kira, adikku yang bawel setengah mati saat tanpa sengaja aku melihat Nesha yang tengah memberhentikan sebuah taksi. Tapi bukan itu yang membuatku mendadak melupakan Kira dan mengikuti Nesha, melainkan gerak-gerik Nesha saat perempuan itu hendak masuk kedalam taksi. Nesha yang biasanya mengenakan celana jeans dan kemeja longgar, hari itu mengenakan polo shirt putih yang dipadupadankan dengan rok hitam selutut, dan Nesha yang biasanya tidak menggunakan make up, hari itu mengenakan make up tebal.  Aku memelankan laju motorku dan mengamati Nesha saat gadis itu secara cepat menyapukan pandangan kesekitar, seolah memastikan tak ada yang melihatnya dan masuk ke dalam taksi dengan terburu-buru, seolah ia tak ingin ada yang tahu. Saat itulah mendadak saja aku menemukan sebuah momentum, momentum yang menurut firasatku akan membuka semua yang Nesha sembunyikan didalam bentengnya, Nesha dalam versi yang berbeda.
Perlahan, taksi yang ditumpangi Nesha mulai melaju menembus lalu lintas siang yang selalu padat. Aku yang saat itu untunnya mengenakan helm teropong kesayanganku dengan kaca film sebagai pelindung dari sinar matahari dengan mudah mengikuti taksi yang ditumpangi Nesha tanpa takut ketahuan, toh… orang lain tak akan bisa melihat wajahku. Aku terus menjaga jarak dengan taksi Nesha, berusaha tampak sewajar mungkin meski pada kenyataannya saat ini aku tengah mengikuti gadis yang diam-diam memiliki hatiku dan mengabaikan ponselku yang terus bergetar. Tanpa melihat pun aku tahu, Kira tengah mengomel sambil mencoba menelponku. Aku hanya bisa berharap kalau apapun yang akan aku temukan nanti akan sepadan dengan mendengarkan omelan Kira seharian.
Aku sama sekali tidak memiliki ide kemana sebenarnya Nesha akan pergi dengan taksinya. Aku hanya terus mengikutinya meski taksi yang ditumpangi Nesha mulai berkendara ke pinggiran kota, tempat beberapa perumahan mewah berdiri dengan gagahnya. Setelah hampir tiga puluh menit berkendara dan menembus lalu lintas siang yang padat, akhirnya taksi yang ditumpangi Nesha berbelok dan memasuki sebuah kompleks perumahan mewah yang berfungsi ganda sebagai rumah peristirahatan karena lokasinya yang cukup strategis. Aku menyingkirkan semua pemikiran yang mendadak saja melintasi kepalaku karena aku tahu, Nesha tidak tinggal di perumahan ini. Nesha tinggal di perumahan yang jauh lebih sederhana ditengah kota, bukan perumahan mewah di tepi kota seperti ini. Aku terus saja berkutat dengan pikiranku, hingga akhirnya, taksi yang ditumpangi Nesha berhenti didepan sebuah rumah mewah yang tampak lengang.
Kuhentikan motorku beberapa meter dari taksi Nesha dan berpura-pura mengotak-atik handphone tanpa membuka kaca pengaman helmku. Aku melihat Nesha turun dari taksi dan membayar taksi tersebut. Aku juga melihat saat Nesha membiarkan taksi itu berlalu sebelum akhirnya melangkah memasuki halaman rumah dimana seorang lelaki paruh baya dengan perut buncit dan rambut memutih yang kehadirannya baru saja aku sadari sedang menunggu Nesha. Awalnya aku pikir lelaki itu adalah ayah Nesha atau kerabatnya, tapi semua pemikiran itu runtuh saat Nesha menghampiri lelaki itu dan berciuman yang sukses membuatku kehilangan kata-kata saat itu juga. Mungkinkah? Mungkinkah Nesha yang kukenal selama ini adalah seorang… aku tidak sanggup memikirkan kata itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku menghidupkan mesin motorku dan hendak melajukan motorku saat tanpa sengaja, pemilik rumah yang jalanan depannya ku gunakan untuk parkir tengah mengintip Nesha dan lelaki paruh baya itu. Seketika itu aku memutuskan untuk mematikan mesin motorku dan menghampiri ibu-ibu yang memiliki rasa keingin tahuan tinggi itu tepat setelah Nesha dan lelaki paruh baya itu masuk ke dalam rumah.
“Permisi, Bu” tegurku sepelan mungkin agar tidak mengagetkan si ibu yang masih asyik mengamati meski yang diamati sudah masuk kedalam rumah. Si Ibu dengan rasa keingintahuan tinggi itu terkesiap kaget dan menghela napas lega saat melihatku sambil menyentuh dadanya.
“Eh… maaf, Bu” ucapku buru-buru.
Ibu itu mengibaskan tangannya dan tersenyum malu. “Ndak papa… ndak papa…” jawab Si Ibu kikuk. “Ada apa ya, Nak?” tanya Ibu itu beberapa saat kemudian.
“Maaf sebelumnya, Bu, apa ibu mengenal bapak-bapak yang tinggal dirumah sebelah?” tanyaku tanpa basa-basi lagi. Aku nyaris tidak peduli dengan apapun yang Ibu ini pikirkan. Yang ingin aku tahu hanyalah kebenaran.
Ibu itu memicingkan matanya dan menatapku dengan tatapan curiga selama beberapa detik yang panjang sebelum akhirnya Ibu itu mengangkat kedua bahunya dengan acuh yang langsung membuat napasku lega. “Ibu tidak tahu siapa kamu dan apa tujuan kamu menanyakan itu, tapi ibu akan menjawab pertanyaan kamu sesuai dengan yang ibu tahu,” jelas si Ibu.
Aku pasti akan memutar bola mataku dan mengerang dalam hati kalau saja hal ini tidak menyangkut dengan Nesha, perempuan yang diam-diam menyandera hatiku. Aku sudah menduga si Ibu akan dengan senang hati bergosip denganku, kentara sekali dengan sikapnya yang mengintip tetangganya sedemikian rupa.
“Asal kamu tahu nak, lelaki paruh baya yang kamu lihat tadi tidak tinggal di situ. Dia hanya datang kerumah itu beberapa kali seminggu dan itu pun dengan wanita yang berbeda setiap kalinya. Tapi yang paling sering ya wanita itu, yang kamu lihat ciuman tadi,” ujar si Ibu dengan semangat menggebu-gebu. Aku tahu, saat ini si Ibu tengan menunggu responku, ia menatapku dengan penuh harap, menunggu sebuah komentar meluncur dari sela-sela bibirku yang terkatup rapat. Sayangnya aku harus mengecewakan Ibu itu, aku tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengomentarinya, bahkan untuk menghidupkan motorku pun aku tak sanggup. Tubuhku seperti kehilangan dayanya, dan yang bisa aku lakukan hanyalah menatap nanar rumah mewah yang tertutup rapat sambil bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Nesha Anggabaya-perempuan yang menurutku sempurna yang telah mencuri hatiku-didalam sana.

Sepanjang perjalanan pulang yang terlintas dalam benakku hanyalah Medusa, seorang perempuan berambut ular yang mampu mengubah siapapun yang melihat matanya menjadi batu. Medusa yang dulunya cantik namun terkutuk, medusa yang ditakdirkan untuk tinggal didunia bawah sebelum akhirnya dibunuh oleh Perseus. Mungkin seperti Medusa-lah aku menggambar Nesha saat ini. Aku sendiri pun tak tahu kenapa justru Medusa yang terlintas dalam benakku begitu aku sanggup menguasai perasaanku dan akhirnya melajukan motorku lagi. Tapi yang jelas saat ini, Medusa-lah yang paling cocok dengan Nesha. Mungkin Nesha memang tidak memiliki rambut ular, Nesha mungkin juga tidak tinggal didunia bawah, tapi Nesha memiliki kekuatan untuk mengubah hati orang yang mencintainya menjadi batu dan ia juga terkutuk, terkutuk karena semua perbuatannya. Bisa-bisa ia menampilkan citra perempuan baik-baik yang tidak berdaya dan manis sementara diluar itu, dibalik benteng yang melindunginya Nesha bertingkah seperti perempuan tak bermoral.
Marah dan sakit hati. Hanya itu yang bisa aku rasakan saat ini. Bagaimana mungkin aku mencintai seseorang yang menjual dirinya kepada lelaki hidung belang? Kenapa aku dengan mudahnya bisa tertipu? Semua pertanyaan it uterus berputar-putar dalam benakku dan mulai menyesatkanku. Kurasa, inilah sesungguhnya pesona sang Medusa yang perlahan-lahan menjeratku dan pada akhirnya menghancurkanku, mengubah hatiku menjadi batu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar