Desember 2013

C’mon,
bud, don’t make me wrong to believe you. I know you’ll remember it, you just
need more effort. Bisikku dalam hati meski aku tahu, Juna
tak akan mendengarnya karena Juna tak pernah mendengar suara hatiku, walau aku
meneriakkannya dengan begitu lantang.
Maret 2013
“Actually,
I love someone.” Kalimat singkat itulah yang keluar dari sepasang bibirku,
tapi jauh dalam hatiku, aku meneriakkan kalimat lain, kalimat yang kuharap akan
didengar oleh Juna, meski itu tak mungkin.
“I
love you, Juna. Don’t you hear me? I love you, I do love you” teriak hatiku
dengan sia-sia. Ekspresi terkejut Juna, yang seketika digantikan dengan
antusiasme yang jarang aku lihat dimatanya, seketika membungkam suara hatiku.
Seharusnya aku tahu kalau teriakanku hanya akan menggema direlung-relung kosong
karena sejak dulu aku selalu mengerti, kalau Juna tak akan pernah mendengar
suara hatiku.
Desember 2013
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku
berdiri didepan jendela kamarku, memandang langit yang terus saja menangis,
seperti mataku yang enggan menghentikan tangisannya hingga pekikan android-ku
kembali menarik perhatianku. Kali ini bukan telpon, hanya pekikan singkat yang
menyadarkanku kalau seseorang baru saja mengirimiku bbm. Dengan membunuh semua
harapanku, aku berbalik dan menuju tempat tidurku dimana laptop dan android-ku
terbaring dengan manis diatasnya, dan meraih benda kecil namun kaya fungsi itu.
Do
you love me, Darl?
Aku tertegun. Akhirnya dia mengerti,
akhirnya dia mendengar apa yang selama ini aku teriakkan meski kesadarannya
sudah benar-benar terlambat. Juna… andaikan hidup ini tak terlalu kejam padaku.
Andaikan pula kamu tak sibuk mencari cinta lain diluar sana, pastilah saat ini
cintaku, yang selalu aku teriakkan, tidak bergema direlung-relung kosong yang
seharusnya kamu tempati.
Dengan air mata berderai-derai, dengan
jemari yang gemetar, aku mengetik balasan singkat untuk Juna.
I
was love you, Bud.
Was?
Benarkah
semua itu hanya masa lalu?
Maret 2013
Perlahan, bianglala yang kami naiki
berputar, membawa kami menapak semakin tinggi ke kaki langit, hingga akhirnya,
aku dan Juna sampai di puncak dan bianglala yang kami naiki berhenti. Berhenti
untuk sementara seperti detak jantungku yang mungkin saja sebentar lagi
berhenti karena mimpiku yang selama ini tak pernah ku yakini akan terwujud,
sekarang menjadi kenyataan.
“Darl…”
panggil Juna. Sejak memulai persahabatan ini, aku dan Juna sepakat untuk
memiliki panggilang kesayangan masing-masing. Panggilan kesayangan Juna untukku
adalah Darla, sedangkan panggilan
kesayanganku untuknya adalah Buddy.
Aku menyeret kembali tatapan mataku yang berkelana, kemana saja, asal tidak
menatap sosok yang begitu kucintai didepan ini.
“ya?” sahutku pelan.
“Can
I tell you something?” pinta Juna dengan keseriusan yang terpeta jelas
diwajah rupawannya yang selalu kuimpikan setiap malam. Andai aku tidak terlalu
mengenal Juna, andai aku tidak memiliki begitu banyak pengetahuan tentang
lelaki ini, aku pasti sudah berharap kalau ia akan mengungkap perasaannya
padaku, kalau ia akan berkata “Sudah lama aku ingin bilang ini sama kamu, darl. But I don’t have perfect time to say this. Now I have the one, and I’ll
tell you the truth that I love you, I do love you. I don’t know when I love
you, I just now that I love you.” Tapi aku tak pernah memiliki kesempatan
berharap, karena aku tahu, Juna tak pernah mencintaiku dan karena aku mengerti,
kalau cintaku hanya cinta yang bergema diruang-ruang kosong yang tak akan
pernah terisi.
“sure,
bud. Tell me everything you want,” ujarku. Tenggorokanku terasa kering. Ada
gumpalan yang menyumbat disana, yang membuatku sulit untuk sekedar bernapas dan
membuat mata ini terasa begitu panas dengan air mata yang siap tumpah kapan
saja.
“I
ever love someone, Darl.” Juna memulai ceritanya. Entah Juna sadar atau
tidak, aku tahu siapa someone yang
dimaksud Juna. someone yang begitu
beruntung karena mendapatkan cinta Juna, someone
yang masih beruntung karena Juna masih mencintainya hingga saat ini. ”but, she left me, Darl. She left me even
without tell me her feeling and made me always curious and ask, how was her
feeling for me. That’s why, Darl… that’s
why I never love any girl except that girl, cause she’s always in my mind and
my heart, never left even her body lying under ground now.”
Ingin rasanya aku menangis, menangis
untuk Juna dan untuk diriku sendiri. Aku memang mengetahui sedikit kisah yang
tak pernah ia ceritakan padaku sebelum ini, kisah yang tanpa sengaja
diceritakan sendiri oleh ibu Juna padaku beberapa bulan lalu. Gadis yang
dimaksud Juna dalam ceritanya bernama Sabrina, gadis dengan wajah lembut
keibuan dan senyum menentramkan hati. Satu-satunya gadis yang mampu meluluhkan
hati Juna, tapi sayang, Sabrina, gadis luar biasa ini tidak berumur panjang.
Kata Ibu Juna, Sabrina meninggal tepat di hari kelulusan mereka, kecelakaan
mobil katanya, dan sejak hari itu, Juna tidak pernah sama lagi. Kata Ibu Juna,
Juna yang aku kenal saat ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, entah
karena apa Juna berubah menjadi lebih baik, ibunya sendiri pun tak tahu. Saat
itu aku berharap, kalau aku lah yang merubah Juna, kalau aku lah yang
menyebabkan Juna berubah menjadi lebih baik lagi. Tapi seiring waktu berlalu,
aku mulai menyadari kalau harapan itu hanyalah harapan kosong karena Juna hanya
menganggapku sahabatnya, tidak lebih.
“why
don’t you let her free, bud?” tanyaku setelah hening cukup panjang.
“I
try, but I can’t” jawab Juna dengan kepedihan yang melumuri kedua bola
matanya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku meraih Juna, membawanya kedalam
pelukanku seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Ketika akhirnya kaki kami kembali
menjejak tanah dan kami mulai berjalan menjauhi bianglala, aku mengambil sebuah
keputusan, keputusan yang tak pernah kuambil sebelumnya. Aku meraih rasa
cintaku untuk Juna dan menjejalkannya dalam sebuah kotak sebelum meletakkannya
disudut hatiku.
Desember 2013
Semua itu tak pernah menjadi masa lalu.
Itulah jawaban yang akhirnya berhasil kusimpulkan. Hari itu, setelah Juna
mewujudkan impian paling mustahilku, aku memutuskan untuk melupakan rasa cinta
yang aku miliki untuknya. Tapi hari ini, hanya beberapa bulan setelah keputusan
itu kubuat, aku mengingkari hatiku sendiri dengan mengirim email itu pada Juna.
Aku sendiri tidak begitu yakin dengan apa yang aku lakukan. Mungkinkah aku
berharap kalau Juna memang mencintaiku namun ia tak pernah menyadarinya?
Sungguh harapan yang bodoh! Bahkan setelah sekian lama, aku masih saja berharap
hal yang mustahil itu akan menjadi kenyataan.
Mungkin itulah yang sebenarnya. Masa
lalu itu begitu mempengaruhiku dan membuatku selalu bertanya-tanya, tapi hari
ini, lewat bbm singkat yang baru saja dikirim Juna, aku mengerti satu hal, tak
ada yang berubah dalam diri Juna. Aku tetaplah sahabatnya, dan Sabrina masih
satu-satunya cinta dihatinya. Mungkin ini lah jawaban yang aku cari, mungkin
juga ini lah kepastian yang aku tunggu, kepastian yang diucapkan sendiri oleh
Juna, meski di balik untaian kata-kata yang mungkin tak mensuratkan jawaban
yang sesungguhnya aku cari. Tapi semua itu cukup untukku, cukup untuk membuatku
melangkah meski dengan rasa pedih yang masih sama. Hari itu, aku meninggalkan
cintaku bersama dengan bianglala, dan hari ini, aku akan melangkah menuju masa
depanku dengan sebuah undangan yang diatasnya tercetak namaku dan nama seorang
lelaki, seorang lelaki yang aku tahu mencintaiku apa adanya, seorang lelaki
yang tak akan membuat teriakkan hatiku menjadi gema-gema kosong. Seorang lelaki
yang akan menyembuhkan semuanya.
Sekarang… aku bisa melangkah dengan lega
menuju kedua lengannya yang menyambutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar