Senin, 15 September 2014

Jawaban Sang Bianglala



Desember 2013
Senja yang basah itu memelukku, memenjarakanku dalam kesedihan lama yang kembali kutemukan dalam sudut-sudut hatiku. Jendela yang basah itu serupa dengan mataku, yang basah terkena air mata yang telah lama kusimpan, yang kini terpaksa kembali kukenakan. Dering suara android-ku seketika itu menarik perhatianku dari hujan deras diluar sana. Tanpa perlu melihatnya, aku tahu siapa yang tengah menelponku. Pasti Juna, ya… pasti lelaki itu yang tengah menghubungiku. Aku memutuskan untuk mengabaikan telponnya. Lagipula, bukankah aku sudah menyangka reaksinya? Aku tahu Juna adalah lelaki yang paling tidak peka, tapi aku tak menyangka kalau ia tak mau susah-susah mengingat masa lalu kami dan langsung menelponku beberapa menit setelah aku mengirim email itu.
C’mon, bud, don’t make me wrong to believe you. I know you’ll remember it, you just need more effort. Bisikku dalam hati meski aku tahu, Juna tak akan mendengarnya karena Juna tak pernah mendengar suara hatiku, walau aku meneriakkannya dengan begitu lantang.


Maret 2013
Actually, I love someone.” Kalimat singkat itulah yang keluar dari sepasang bibirku, tapi jauh dalam hatiku, aku meneriakkan kalimat lain, kalimat yang kuharap akan didengar oleh Juna, meski itu tak mungkin.
I love you, Juna. Don’t you hear me? I love you, I do love you” teriak hatiku dengan sia-sia. Ekspresi terkejut Juna, yang seketika digantikan dengan antusiasme yang jarang aku lihat dimatanya, seketika membungkam suara hatiku. Seharusnya aku tahu kalau teriakanku hanya akan menggema direlung-relung kosong karena sejak dulu aku selalu mengerti, kalau Juna tak akan pernah mendengar suara hatiku.

Desember 2013
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri didepan jendela kamarku, memandang langit yang terus saja menangis, seperti mataku yang enggan menghentikan tangisannya hingga pekikan android-ku kembali menarik perhatianku. Kali ini bukan telpon, hanya pekikan singkat yang menyadarkanku kalau seseorang baru saja mengirimiku bbm. Dengan membunuh semua harapanku, aku berbalik dan menuju tempat tidurku dimana laptop dan android-ku terbaring dengan manis diatasnya, dan meraih benda kecil namun kaya fungsi itu.
Do you love me, Darl?
Aku tertegun. Akhirnya dia mengerti, akhirnya dia mendengar apa yang selama ini aku teriakkan meski kesadarannya sudah benar-benar terlambat. Juna… andaikan hidup ini tak terlalu kejam padaku. Andaikan pula kamu tak sibuk mencari cinta lain diluar sana, pastilah saat ini cintaku, yang selalu aku teriakkan, tidak bergema direlung-relung kosong yang seharusnya kamu tempati.
Dengan air mata berderai-derai, dengan jemari yang gemetar, aku mengetik balasan singkat untuk Juna.
I was love you, Bud.
Was? Benarkah semua itu hanya masa lalu?

Maret 2013
Perlahan, bianglala yang kami naiki berputar, membawa kami menapak semakin tinggi ke kaki langit, hingga akhirnya, aku dan Juna sampai di puncak dan bianglala yang kami naiki berhenti. Berhenti untuk sementara seperti detak jantungku yang mungkin saja sebentar lagi berhenti karena mimpiku yang selama ini tak pernah ku yakini akan terwujud, sekarang menjadi kenyataan.
Darl…” panggil Juna. Sejak memulai persahabatan ini, aku dan Juna sepakat untuk memiliki panggilang kesayangan masing-masing. Panggilan kesayangan Juna untukku adalah Darla, sedangkan panggilan kesayanganku untuknya adalah Buddy. Aku menyeret kembali tatapan mataku yang berkelana, kemana saja, asal tidak menatap sosok yang begitu kucintai didepan ini.
“ya?” sahutku pelan.
Can I tell you something?” pinta Juna dengan keseriusan yang terpeta jelas diwajah rupawannya yang selalu kuimpikan setiap malam. Andai aku tidak terlalu mengenal Juna, andai aku tidak memiliki begitu banyak pengetahuan tentang lelaki ini, aku pasti sudah berharap kalau ia akan mengungkap perasaannya padaku, kalau ia akan berkata “Sudah lama aku ingin bilang ini sama kamu, darl. But I don’t have perfect time to say this. Now I have the one, and I’ll tell you the truth that I love you, I do love you. I don’t know when I love you, I just now that I love you.” Tapi aku tak pernah memiliki kesempatan berharap, karena aku tahu, Juna tak pernah mencintaiku dan karena aku mengerti, kalau cintaku hanya cinta yang bergema diruang-ruang kosong yang tak akan pernah terisi.
sure, bud. Tell me everything you want,” ujarku. Tenggorokanku terasa kering. Ada gumpalan yang menyumbat disana, yang membuatku sulit untuk sekedar bernapas dan membuat mata ini terasa begitu panas dengan air mata yang siap tumpah kapan saja.
I ever love someone, Darl.” Juna memulai ceritanya. Entah Juna sadar atau tidak, aku tahu siapa someone yang dimaksud Juna. someone yang begitu beruntung karena mendapatkan cinta Juna, someone yang masih beruntung karena Juna masih mencintainya hingga saat ini. ”but, she left me, Darl. She left me even without tell me her feeling and made me always curious and ask, how was her feeling  for me. That’s why, Darl… that’s why I never love any girl except that girl, cause she’s always in my mind and my heart, never left even her body lying under ground now.”
Ingin rasanya aku menangis, menangis untuk Juna dan untuk diriku sendiri. Aku memang mengetahui sedikit kisah yang tak pernah ia ceritakan padaku sebelum ini, kisah yang tanpa sengaja diceritakan sendiri oleh ibu Juna padaku beberapa bulan lalu. Gadis yang dimaksud Juna dalam ceritanya bernama Sabrina, gadis dengan wajah lembut keibuan dan senyum menentramkan hati. Satu-satunya gadis yang mampu meluluhkan hati Juna, tapi sayang, Sabrina, gadis luar biasa ini tidak berumur panjang. Kata Ibu Juna, Sabrina meninggal tepat di hari kelulusan mereka, kecelakaan mobil katanya, dan sejak hari itu, Juna tidak pernah sama lagi. Kata Ibu Juna, Juna yang aku kenal saat ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, entah karena apa Juna berubah menjadi lebih baik, ibunya sendiri pun tak tahu. Saat itu aku berharap, kalau aku lah yang merubah Juna, kalau aku lah yang menyebabkan Juna berubah menjadi lebih baik lagi. Tapi seiring waktu berlalu, aku mulai menyadari kalau harapan itu hanyalah harapan kosong karena Juna hanya menganggapku sahabatnya, tidak lebih.
why don’t you let her free, bud?” tanyaku setelah hening cukup panjang.
I try, but I can’t” jawab Juna dengan kepedihan yang melumuri kedua bola matanya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku meraih Juna, membawanya kedalam pelukanku seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Ketika akhirnya kaki kami kembali menjejak tanah dan kami mulai berjalan menjauhi bianglala, aku mengambil sebuah keputusan, keputusan yang tak pernah kuambil sebelumnya. Aku meraih rasa cintaku untuk Juna dan menjejalkannya dalam sebuah kotak sebelum meletakkannya disudut hatiku.

Desember 2013
Semua itu tak pernah menjadi masa lalu. Itulah jawaban yang akhirnya berhasil kusimpulkan. Hari itu, setelah Juna mewujudkan impian paling mustahilku, aku memutuskan untuk melupakan rasa cinta yang aku miliki untuknya. Tapi hari ini, hanya beberapa bulan setelah keputusan itu kubuat, aku mengingkari hatiku sendiri dengan mengirim email itu pada Juna. Aku sendiri tidak begitu yakin dengan apa yang aku lakukan. Mungkinkah aku berharap kalau Juna memang mencintaiku namun ia tak pernah menyadarinya? Sungguh harapan yang bodoh! Bahkan setelah sekian lama, aku masih saja berharap hal yang mustahil itu akan menjadi kenyataan.
Mungkin itulah yang sebenarnya. Masa lalu itu begitu mempengaruhiku dan membuatku selalu bertanya-tanya, tapi hari ini, lewat bbm singkat yang baru saja dikirim Juna, aku mengerti satu hal, tak ada yang berubah dalam diri Juna. Aku tetaplah sahabatnya, dan Sabrina masih satu-satunya cinta dihatinya. Mungkin ini lah jawaban yang aku cari, mungkin juga ini lah kepastian yang aku tunggu, kepastian yang diucapkan sendiri oleh Juna, meski di balik untaian kata-kata yang mungkin tak mensuratkan jawaban yang sesungguhnya aku cari. Tapi semua itu cukup untukku, cukup untuk membuatku melangkah meski dengan rasa pedih yang masih sama. Hari itu, aku meninggalkan cintaku bersama dengan bianglala, dan hari ini, aku akan melangkah menuju masa depanku dengan sebuah undangan yang diatasnya tercetak namaku dan nama seorang lelaki, seorang lelaki yang aku tahu mencintaiku apa adanya, seorang lelaki yang tak akan membuat teriakkan hatiku menjadi gema-gema kosong. Seorang lelaki yang akan menyembuhkan semuanya.

Sekarang… aku bisa melangkah dengan lega menuju kedua lengannya yang menyambutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar