Desember 2013
Senja baru saja selesai mempersiapkan
malamnya ketika hujan rintik-rintik yang sedari tadi memeluk hari ini berubah
menjadi hujan deras yang seketika memicu keluhan orang-orang disekitarku, meski
aku tak memungkiri kalau aku sempat mendengus sebal ketika melirik jendela yang
berada di dekat mejaku dan mendapatinya basah karena air hujan. Tapi entah
mengapa kesebalanku pada hujan menjadi sebuah kerinduan saat mataku menatap
sebuah pemandangan yang begitu indah, sebuah bianglala yang tidak begitu besar,
berdiri menjulan menantang hujan. Diam-diam aku mengulum senyum, teringat
seseorang yang begitu menyukai bianglala.
Ketika pikiranku mulai berkelana kembali
ke masa lalu, mendadak saja notification di android-ku berbunyi, menyentakkanku
kembali ke masa kini, di ruang kerjaku disenja yang dingin dengan ditemani
hujan deras yang menampar-nampar jendela ruang kerjaku, meminta untuk diijinkan
masuk. Dengan enggan, aku meraih android-ku dan memeriksanya, seketika mataku
terbelalak tak percaya. Benarkah apa yang kulihat saat ini? Atau aku hanya
berkhayal? Aku menatap android-ku itu selama semenit penuh, dan ketika email
yang baru saja masuk ke android-ku itu tidak berubah nama pengirimnya, segera
saja aku beralih pada laptopku dan membuka emailku disana.
To : juna.atmajaya@gmail.com
CC :
Subject : Halooo… yang disana!
Surprise!!!!
Don’t say
to me kalau saat ini kamu
tengah terbengong-bengong menatap emailku? Jangan bilang juga kalau kamu sedang
tersenyum-senyum sekarang?
Sampai disana aku tak bisa
menyembunyikan senyumku. Tasha. Betapa aku begitu merindukan pemilik nama itu.
Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya, bahkan sudah cukup lama sejak
kami terakhir berhubungan lewat udara. Aku menghela napas panjang, meredakan
euforia-ku yang berlebihan akibat email Tasha dan kembali membaca.
Oh
Man!!! Demi Tuhan, bud. Bisa kan kamu tidak menggunakan semua ekspresi familier itu
dan membuatku semakin merindukan masa-masa kuliah kita dulu? Huh! Aku
benar-benar merindukan semuanya sekarang, apa kamu juga sama? Apa kamu juga
merindukan semua yang telah berlalu?
Oke… oke… aku tahu aku berhutang maaf
padamu. Maaf karena selama berbulan-bulan sejak pertemuan terakhir kita, aku
tidak lagi menghubungimu atau membalas semua pesan-pesanmu. I wouldn’t explain to you why, but I promise, finally you’ll understand everything.
Honestly, aku mengirim email ini hanya untuk
berterimakasih. Bukan terimakasih untuk segalanya seperti pada novel-novel
picisan yang gemar dibaca pacar-pacarmu dulu, tapi terimakasih yang sebenarnya,
terimakasih karena kamu telah membuat mimpi paling sederhanaku menjadi kenyataan.
Aku benar-benar berterimakasih untuk
itu.
Aku tertegun menatap akhir email Tasha. What the hell was this!? Kenapa dia
tidak menjelaskan arti ucapan terimakasih itu dan hanya mengakhiri emailnya
sampai disini? Dengan gemas aku meraih android-ku dan menekan angka dua, nomor
speed dial untuk Tasha yang tak pernah tergantikan sejak lebih dari empat tahun
yang lalu. Aku menunggu Tasha mengangkat telponku dengan gemas, tapi pada
akhirnya nada tunggu berakhir dan telponku dijawab oleh operator. Tasha menolak
mengangkat telponku. Sejujurnya aku tidak mengerti apa maksud Tasha dengan
ucapan terimakasih itu. Aku tidak merasa mewujudkan apapun mimpinya, aku juga
tidak ingat pernah melakukan apapun yang istimewa untuk Tasha.
Dengan jengkel, aku berdiri dan berjalan
menuju jendela yang basah terkena air hujan, menatap jauh pada bianglala yang
masih berdiri tegak ditengah senja dan hujan deras yang tengah mengguyurnya.
Saat itulah aku teringat senja yang sama di hari yang sama pula hampir setahun
yang lalu.
Maret 2013
Tasha mengulum senyum saat aku
menghentikan motor perjuangan-julukan kami untuk motorku yang sudah menemani
perjalanan kami selama hampir empat tahun-diparkiran alun-alun kota, tempat
favoritku dan Tasha menjalankan ritual mingguan kami, I Love Monday. Sejak memulai persahabatan ini, aku dan Tasha
sepakat untuk membuat hari khusus kami, semacam quality time untuk kami habiskan dengan makan, jalan-jalan ataupun
sekedar nongkrong berdua, dan akhirnya, setelah aku berdebat habis-habisan
dengan Tasha yang jelas sia-sia karena Tasha selalu mendapat apa yang
diinginkannya, aku dan Tasha memutuskan kalau quality time kami jatuh pada hari senin dengan tajuk I Love Monday. Jelas semua itu ide
Tasha. Sebagai lelaki sejati, aku hanya bisa mengiyakan dan menuruti semua
keinginannya dengan sedikit protes disana-sini.
Kenapa hari senin dan kenapa pula harus
berjudul I Love Monday, Tasha punya
penjelasan yang komplit tentang dua pertanyaan itu.
“Kenapa harus hari senin? Ya… karena kan
kita sama-sama tahu kalau image hari
senin itu jelek banget. Bahkan dimana-mana hari senin itu identik sama kalimat I Hate Monday Cuma gara-gara hari senin
itu hari untuk mengawali semua aktivitas selama seminggu. Nah… aku pengen
banget ngubah image itu, Juna.
Seenggak-enggaknya sih diantara kita aja. Kan kalo setiap senin kita punya satu
acara yang kita suka, akhirnya kan kita selalu nunggu-nunggu senin dateng kan?
Nah… akhirnya juga, kita nggak bakalan benci sama hari senin. Lagian benci sama
hari senin itu udah mainstream,
lagian juga nih ya Jun, kalau hari jumat, atau hari sabtu kan juga udah biasa,
jadinya kita pilih hari yang beda, biar nggak dibilang mainstream, gitu loh Jun”
Dan aku, yah… aku hanya bisa tertegun
mendengarkan semua penjelasan Tasha. Kami baru saja merencanakan semua ini dan
Tasha sudah memiliki semua penjelasan serinci itu tentang kenapa harus hari
senin. Mau tidak mau aku dibuat kagum dengan kerja otak Tasha yang lumayan
cepat.
“Heh! Malah bengong, ayo duduk!” tegur
Tasha saat aku hanya berdiri diam di tempatku sementara Tasha sudah duduk manis
di salah satu bangku yang ada di alun-alun kota. Mengingat semua itu selalu membuatku
berhasil tersenyum. Tasha… Tasha… aku sering menjuluki sahabatku yang satu ini
perempuan ajaib. Cerewetnya sama seperti perempuan-perempuan lain, tapi cara
berpikirnya jauh dari mereka. “Tadi bengong, sekarang senyum-senyum sendiri,
kamu lagi kesambet ya?” omel Tasha.
“Itu sih maumu, biar kamu bisa ngetawain
aku habis-habisan kalau aku beneran kesambet,” balasku tak mau kalah. Untuk
beberapa saat kemudian, baik aku maupun Tasha memilih untuk diam. Kami
sama-sama asyik dengan pikiran masing-masing hingga Tasha memecah keheningan
diantara kami.
“Pacarmu yang baru gimana nasibnya?”
tanya Tasha pelan. Aku tersenyum dalam hati. Tasha tak pernah bisa mengingat
nama pacarku. Jadi dia memutuskan dari pada salah menyebut nama, Tasha selalu
memanggil pacarku, entah itu pacar baru ataupun lama dengan sebutan “pacarmu
yang baru”.
“Baru kemarin putus,” jawabku. Tasha
hanya mengangguk-angguk sambil lalu. Aku tahu, informasi itu sama sekali tak
membuatnya tertarik karena seringnya aku putus dengan pacarku. “Kamu kapan
punya pacar?” tanyaku yang langsung disambut tawa tergelak-gelak Tasha. “Lho
kenapa? Wajar kan kalau aku tanya, kamu lho udah mau lulus tinggal wisuda tapi
belum juga punya pacar” protesku.
Tawa Tasha terhenti, digantikan
seringaian yang hampir membuatku menyesal telah menanyakan hal itu, tapi aku
terlalu mengenal Tasha untuk tahu kalau ia tidak akan mudah tersinggung hanya
karena hal-hal sepele semacam itu. “Actually,
I love someone,” aku Tasha dengan
suara yang begitu pelan, nyaris saja aku tidak mendengarnya. Sejujurnya, ini
informasi baru buatku. Aku dan Tasha hampir tidak pernah membicarakan soal
kehidupan percintaan kami. Kami memang membicarakan banyak hal, tapi aku maupun
Tasha selalu menghindari topik itu, mungkin karena Tasha sama tidak nyamannya
sepertiku untuk menceritakan hal-hal yang menyangkut perasaan pribadi kami.
“Oh ya, siapa?” tanyaku antusias.
“Sebut saja namanya mawar,” canda Tasha,
sekaligus untuk mengalihkan perhatianku. Tapi aku tak akan membiarkan informasi
yang satu ini lewat begitu saja. Selama hampir empat tahun mengenal Tasha, tak
pernah sekalipun aku melihat Tasha dekat dengan seseorang ataupun pacaran. Yang
aku tahu, Tasha selalu menghabiskan waktunya denganku. Hanya itu.
“C’mon,
Darl, tell me,” pintaku.
“Sumpah deh, bud. kamu sekarang udah kayak ibu-ibu gosip yang dapet berita hot,”
omel Tasha. “Oke… aku bakal cerita, tapi jangan harap aku bakal ngasih tau dia
siapa,”
Aku mengulum senyum dan langsung saja
mengiyakan. Rasa penasaranku sudah sampai di ubun-ubun.
“I
don’t know when I love him, tapi tiba-tiba saja aku nggak bisa lupain dia,”
Tasha memulai ceritanya. “he’s always in
my mind, bud. nggak pernah pergi
meski aku sering ngusir dia jauh-jauh dari pikiran dan hatiku. Aku nggak tahu
dia punya rasa atau enggak sama aku, yang aku tahu dia selalu ganti-ganti pacar
seperti dia berganti pakaian. Setiap dia putus dengan pacarnya, aku selalu
menunggu dengan cemas, apa sekarang giliranku? Apa akhirnya dia akan melihatku?
Tapi hingga hari ini, dia hanya sebentuk cinta yang jauh, love that I can never have cause finally I know, bud, that he never
love me, he never know me, and he never realize that I’m always there, waiting
for him.”
Aku kehilangan kata-kata. Aku tidak
pernah tahu kalau selama ini sahabatku menyimpan semua rasa sakit itu sendiri.
“Come here, darl. Let me hug you”
ujarku yang langsung disambut Tasha dengan senang hati. Kami berpelukan selama
beberapa saat, dan aku membiarkan semua kesedihan itu berlalu sebelum aku
memulai pembicaraan dengan topik baru yang tidak akan membuat Tasha sedih
karenanya.
“Hey
darl, you never told me what was your dream exactly?”
Ya… Tasha memang tidak pernah
menceritakan mimpinya. Setiap kali aku bertanya apa impiannya, Tasha hanya
menjawab “I haven’t any dream yet, Bud. I
just waiting for destiny decide for me what the best dream for me”, tapi
kali ini entah mengapa aku yakin, Tasha akan menceritakan mimpinya padaku.
“Mimpiku?” tanya Tasha, lebih pada
dirinya sendiri. “Entah ini bisa disebut mimpi atau bukan, tapi mimpiku
hanyalah menaiki bianglala itu dan melihat seluruh kota dari atas sana bersama
orang yang aku cintai,” jawab Tasha.
“That’s
the most simple dream I ever heard” protesku. “Nggak mungkin mimpimu cuma
itu, darl.”
“You
ask me my dream, I told what was my dream, dan sekarang kamu malah protes!”
omel Tasha.
“Tapi mimpi kamu terlalu sederhana, darl.” Protesku lagi, tak ingin kalah.
“Ya… but,
that simple dream can’t become true, bud” ujar Tasha yang langsung
menohokku. Ya… mimpi sederhana Tasha tak akan menjadi kenyataan karena orang
yang dicintainya tak pernah membalas cintanya.
“darl…mau
naik bianglala sama aku?” ajakku. Mata Tasha membulat dengan keterkejutan yang
terpancar dengan jelas disana. “Anggap aja latihan sebelum kamu naik bianglala
itu sama seseorang yang benar-benar kamu cintai,” tambahku.
“Bud…”
panggil Tasha saat aku sudah berdiri, “do
you know that you’re the best friend that I ever had?”
“Believe
me, darl, I know…”
Desember 2013
Senja itu aku menaiki bianglala itu
bersama Tasha, dan aku baru ingat, kalau senja itu, Tasha sama sekali tak
mengucapkan terimakasih, bahkan seingatku, sejak menaiki bianglala hingga
turun, Tasha hanya terdiam. Sesekali aku melihat matanya berkaca-kaca, tapi aku
kira itu hanyalah efek senja. Mungkinkah hari itu mimpi Tasha menjadi
kenyataan? Mungkinkah selama ini…
Cepat-cepat aku kembali ke meja kerjaku
dan meraih android-ku. Dengan tidak sabar aku membuka bbm dan mengetik sebuah
bbm singkat pada Tasha. Selama ini Tasha tidak pernah lagi membalas bbm yang
aku kirim, tapi aku yakin, Tasha akan langsung membalas bbm-ku yang satu ini.
Do
you love me, darl?
Beberama saat kemudian, tanda pesan
delivered berubah menjadi read dan tak sampai semenit berlalu saat balasan dari
Tasha masuk.
I
was love you, bud.
Sekarang aku mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar