Minggu, 14 September 2014

Bianglala Senja


 
Desember 2013
Senja baru saja selesai mempersiapkan malamnya ketika hujan rintik-rintik yang sedari tadi memeluk hari ini berubah menjadi hujan deras yang seketika memicu keluhan orang-orang disekitarku, meski aku tak memungkiri kalau aku sempat mendengus sebal ketika melirik jendela yang berada di dekat mejaku dan mendapatinya basah karena air hujan. Tapi entah mengapa kesebalanku pada hujan menjadi sebuah kerinduan saat mataku menatap sebuah pemandangan yang begitu indah, sebuah bianglala yang tidak begitu besar, berdiri menjulan menantang hujan. Diam-diam aku mengulum senyum, teringat seseorang yang begitu menyukai bianglala.
Ketika pikiranku mulai berkelana kembali ke masa lalu, mendadak saja notification di android-ku berbunyi, menyentakkanku kembali ke masa kini, di ruang kerjaku disenja yang dingin dengan ditemani hujan deras yang menampar-nampar jendela ruang kerjaku, meminta untuk diijinkan masuk. Dengan enggan, aku meraih android-ku dan memeriksanya, seketika mataku terbelalak tak percaya. Benarkah apa yang kulihat saat ini? Atau aku hanya berkhayal? Aku menatap android-ku itu selama semenit penuh, dan ketika email yang baru saja masuk ke android-ku itu tidak berubah nama pengirimnya, segera saja aku beralih pada laptopku dan membuka emailku disana.


To : juna.atmajaya@gmail.com
CC :
Subject : Halooo… yang disana!
Surprise!!!!
Don’t say to me kalau saat ini kamu tengah terbengong-bengong menatap emailku? Jangan bilang juga kalau kamu sedang tersenyum-senyum sekarang?

Sampai disana aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Tasha. Betapa aku begitu merindukan pemilik nama itu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya, bahkan sudah cukup lama sejak kami terakhir berhubungan lewat udara. Aku menghela napas panjang, meredakan euforia-ku yang berlebihan akibat email Tasha dan kembali membaca.

Oh Man!!! Demi Tuhan, bud. Bisa kan kamu tidak menggunakan semua ekspresi familier itu dan membuatku semakin merindukan masa-masa kuliah kita dulu? Huh! Aku benar-benar merindukan semuanya sekarang, apa kamu juga sama? Apa kamu juga merindukan semua yang telah berlalu?
Oke… oke… aku tahu aku berhutang maaf padamu. Maaf karena selama berbulan-bulan sejak pertemuan terakhir kita, aku tidak lagi menghubungimu atau membalas semua pesan-pesanmu. I wouldn’t explain to you why, but I promise, finally you’ll understand everything.
Honestly, aku mengirim email ini hanya untuk berterimakasih. Bukan terimakasih untuk segalanya seperti pada novel-novel picisan yang gemar dibaca pacar-pacarmu dulu, tapi terimakasih yang sebenarnya, terimakasih karena kamu telah membuat mimpi paling sederhanaku menjadi kenyataan.
Aku benar-benar berterimakasih untuk itu.

Aku tertegun menatap akhir email Tasha. What the hell was this!? Kenapa dia tidak menjelaskan arti ucapan terimakasih itu dan hanya mengakhiri emailnya sampai disini? Dengan gemas aku meraih android-ku dan menekan angka dua, nomor speed dial untuk Tasha yang tak pernah tergantikan sejak lebih dari empat tahun yang lalu. Aku menunggu Tasha mengangkat telponku dengan gemas, tapi pada akhirnya nada tunggu berakhir dan telponku dijawab oleh operator. Tasha menolak mengangkat telponku. Sejujurnya aku tidak mengerti apa maksud Tasha dengan ucapan terimakasih itu. Aku tidak merasa mewujudkan apapun mimpinya, aku juga tidak ingat pernah melakukan apapun yang istimewa untuk Tasha.
Dengan jengkel, aku berdiri dan berjalan menuju jendela yang basah terkena air hujan, menatap jauh pada bianglala yang masih berdiri tegak ditengah senja dan hujan deras yang tengah mengguyurnya. Saat itulah aku teringat senja yang sama di hari yang sama pula hampir setahun yang lalu.

Maret 2013
Tasha mengulum senyum saat aku menghentikan motor perjuangan-julukan kami untuk motorku yang sudah menemani perjalanan kami selama hampir empat tahun-diparkiran alun-alun kota, tempat favoritku dan Tasha menjalankan ritual mingguan kami, I Love Monday. Sejak memulai persahabatan ini, aku dan Tasha sepakat untuk membuat hari khusus kami, semacam quality time untuk kami habiskan dengan makan, jalan-jalan ataupun sekedar nongkrong berdua, dan akhirnya, setelah aku berdebat habis-habisan dengan Tasha yang jelas sia-sia karena Tasha selalu mendapat apa yang diinginkannya, aku dan Tasha memutuskan kalau quality time kami jatuh pada hari senin dengan tajuk I Love Monday. Jelas semua itu ide Tasha. Sebagai lelaki sejati, aku hanya bisa mengiyakan dan menuruti semua keinginannya dengan sedikit protes disana-sini.
Kenapa hari senin dan kenapa pula harus berjudul I Love Monday, Tasha punya penjelasan yang komplit tentang dua pertanyaan itu.
“Kenapa harus hari senin? Ya… karena kan kita sama-sama tahu kalau image hari senin itu jelek banget. Bahkan dimana-mana hari senin itu identik sama kalimat I Hate Monday Cuma gara-gara hari senin itu hari untuk mengawali semua aktivitas selama seminggu. Nah… aku pengen banget ngubah image itu, Juna. Seenggak-enggaknya sih diantara kita aja. Kan kalo setiap senin kita punya satu acara yang kita suka, akhirnya kan kita selalu nunggu-nunggu senin dateng kan? Nah… akhirnya juga, kita nggak bakalan benci sama hari senin. Lagian benci sama hari senin itu udah mainstream, lagian juga nih ya Jun, kalau hari jumat, atau hari sabtu kan juga udah biasa, jadinya kita pilih hari yang beda, biar nggak dibilang mainstream, gitu loh Jun”
Dan aku, yah… aku hanya bisa tertegun mendengarkan semua penjelasan Tasha. Kami baru saja merencanakan semua ini dan Tasha sudah memiliki semua penjelasan serinci itu tentang kenapa harus hari senin. Mau tidak mau aku dibuat kagum dengan kerja otak Tasha yang lumayan cepat.
“Heh! Malah bengong, ayo duduk!” tegur Tasha saat aku hanya berdiri diam di tempatku sementara Tasha sudah duduk manis di salah satu bangku yang ada di alun-alun kota. Mengingat semua itu selalu membuatku berhasil tersenyum. Tasha… Tasha… aku sering menjuluki sahabatku yang satu ini perempuan ajaib. Cerewetnya sama seperti perempuan-perempuan lain, tapi cara berpikirnya jauh dari mereka. “Tadi bengong, sekarang senyum-senyum sendiri, kamu lagi kesambet ya?” omel Tasha.
“Itu sih maumu, biar kamu bisa ngetawain aku habis-habisan kalau aku beneran kesambet,” balasku tak mau kalah. Untuk beberapa saat kemudian, baik aku maupun Tasha memilih untuk diam. Kami sama-sama asyik dengan pikiran masing-masing hingga Tasha memecah keheningan diantara kami.
“Pacarmu yang baru gimana nasibnya?” tanya Tasha pelan. Aku tersenyum dalam hati. Tasha tak pernah bisa mengingat nama pacarku. Jadi dia memutuskan dari pada salah menyebut nama, Tasha selalu memanggil pacarku, entah itu pacar baru ataupun lama dengan sebutan “pacarmu yang baru”.
“Baru kemarin putus,” jawabku. Tasha hanya mengangguk-angguk sambil lalu. Aku tahu, informasi itu sama sekali tak membuatnya tertarik karena seringnya aku putus dengan pacarku. “Kamu kapan punya pacar?” tanyaku yang langsung disambut tawa tergelak-gelak Tasha. “Lho kenapa? Wajar kan kalau aku tanya, kamu lho udah mau lulus tinggal wisuda tapi belum juga punya pacar” protesku.
Tawa Tasha terhenti, digantikan seringaian yang hampir membuatku menyesal telah menanyakan hal itu, tapi aku terlalu mengenal Tasha untuk tahu kalau ia tidak akan mudah tersinggung hanya karena hal-hal sepele semacam itu. “Actually, I love someone,” aku Tasha dengan suara yang begitu pelan, nyaris saja aku tidak mendengarnya. Sejujurnya, ini informasi baru buatku. Aku dan Tasha hampir tidak pernah membicarakan soal kehidupan percintaan kami. Kami memang membicarakan banyak hal, tapi aku maupun Tasha selalu menghindari topik itu, mungkin karena Tasha sama tidak nyamannya sepertiku untuk menceritakan hal-hal yang menyangkut perasaan pribadi kami.
“Oh ya, siapa?” tanyaku antusias.
“Sebut saja namanya mawar,” canda Tasha, sekaligus untuk mengalihkan perhatianku. Tapi aku tak akan membiarkan informasi yang satu ini lewat begitu saja. Selama hampir empat tahun mengenal Tasha, tak pernah sekalipun aku melihat Tasha dekat dengan seseorang ataupun pacaran. Yang aku tahu, Tasha selalu menghabiskan waktunya denganku. Hanya itu.
C’mon, Darl, tell me,” pintaku.
“Sumpah deh, bud. kamu sekarang udah kayak ibu-ibu gosip yang dapet berita hot,” omel Tasha. “Oke… aku bakal cerita, tapi jangan harap aku bakal ngasih tau dia siapa,”
Aku mengulum senyum dan langsung saja mengiyakan. Rasa penasaranku sudah sampai di ubun-ubun.
I don’t know when I love him, tapi tiba-tiba saja aku nggak bisa lupain dia,” Tasha memulai ceritanya. “he’s always in my mind, bud. nggak pernah pergi meski aku sering ngusir dia jauh-jauh dari pikiran dan hatiku. Aku nggak tahu dia punya rasa atau enggak sama aku, yang aku tahu dia selalu ganti-ganti pacar seperti dia berganti pakaian. Setiap dia putus dengan pacarnya, aku selalu menunggu dengan cemas, apa sekarang giliranku? Apa akhirnya dia akan melihatku? Tapi hingga hari ini, dia hanya sebentuk cinta yang jauh, love that I can never have cause finally I know, bud, that he never love me, he never know me, and he never realize that I’m always there, waiting for him.”
Aku kehilangan kata-kata. Aku tidak pernah tahu kalau selama ini sahabatku menyimpan semua rasa sakit itu sendiri. “Come here, darl. Let me hug you” ujarku yang langsung disambut Tasha dengan senang hati. Kami berpelukan selama beberapa saat, dan aku membiarkan semua kesedihan itu berlalu sebelum aku memulai pembicaraan dengan topik baru yang tidak akan membuat Tasha sedih karenanya.
Hey darl, you never told me what was your dream exactly?
Ya… Tasha memang tidak pernah menceritakan mimpinya. Setiap kali aku bertanya apa impiannya, Tasha hanya menjawab “I haven’t any dream yet, Bud. I just waiting for destiny decide for me what the best dream for me”, tapi kali ini entah mengapa aku yakin, Tasha akan menceritakan mimpinya padaku.
“Mimpiku?” tanya Tasha, lebih pada dirinya sendiri. “Entah ini bisa disebut mimpi atau bukan, tapi mimpiku hanyalah menaiki bianglala itu dan melihat seluruh kota dari atas sana bersama orang yang aku cintai,” jawab Tasha.
That’s the most simple dream I ever heard” protesku. “Nggak mungkin mimpimu cuma itu, darl.”
You ask me my dream, I told what was my dream, dan sekarang kamu malah protes!” omel Tasha.
“Tapi mimpi kamu terlalu sederhana, darl.” Protesku lagi, tak ingin kalah.
“Ya… but, that simple dream can’t become true, bud” ujar Tasha yang langsung menohokku. Ya… mimpi sederhana Tasha tak akan menjadi kenyataan karena orang yang dicintainya tak pernah membalas cintanya.
darl…mau naik bianglala sama aku?” ajakku. Mata Tasha membulat dengan keterkejutan yang terpancar dengan jelas disana. “Anggap aja latihan sebelum kamu naik bianglala itu sama seseorang yang benar-benar kamu cintai,” tambahku.
Bud…” panggil Tasha saat aku sudah berdiri, “do you know that you’re the best friend that I ever had?
Believe me, darl, I know…”

Desember 2013
Senja itu aku menaiki bianglala itu bersama Tasha, dan aku baru ingat, kalau senja itu, Tasha sama sekali tak mengucapkan terimakasih, bahkan seingatku, sejak menaiki bianglala hingga turun, Tasha hanya terdiam. Sesekali aku melihat matanya berkaca-kaca, tapi aku kira itu hanyalah efek senja. Mungkinkah hari itu mimpi Tasha menjadi kenyataan? Mungkinkah selama ini…
Cepat-cepat aku kembali ke meja kerjaku dan meraih android-ku. Dengan tidak sabar aku membuka bbm dan mengetik sebuah bbm singkat pada Tasha. Selama ini Tasha tidak pernah lagi membalas bbm yang aku kirim, tapi aku yakin, Tasha akan langsung membalas bbm-ku yang satu ini.

Do you love me, darl?

Beberama saat kemudian, tanda pesan delivered berubah menjadi read dan tak sampai semenit berlalu saat balasan dari Tasha masuk.

I was love you, bud.


Sekarang aku mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar