When
you make decisions, you deal with consequences
Winna Efendi, Remember When
Pukul lima sore. Aku
menatap nyalang layar laptopku, terenyak dengan apa yang baru saja aku lihat di
halaman facebook Rafael, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Perlahan aku menyentuh dadaku, merasakan jantungku yang berdetak dengan
kualahan disana. Seharusnya ini tidak terjadi bukan? Seharusnya ia menungguku menunaikan
semua keinginan kedua orang tuaku bukan? Lantas kenapa?? Mendadak air mata yang
sedari tadi mati-matian kutahan meluncur turun. Apa yang terjadi? Kenapa status
hubungan Rafael menjadi “in a relationship”? Mana janjinya yang akan selalu
menungguku?
“Bullshit!” aku memaki
keras-keras seraya menutup layar laptopku. Aku tidak sanggup melihat
pemandangan itu lagi. Aku tidak sanggup melihat orang yang selama ini selalu
ada untukku, menemaniku dan menghiburku mendadak saja meninggalkanku dan
mengingkari semua janjinya. “Wanita jalang!”makiku lagi seraya meraih ponselku
dan memencet dua belas digit nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu.
Satu kali… dua kali…
nada sambung itu terus terdengar, tetapi tak ada tanda-tanda kalau Rafael akan
mengangkat telponnya. Dengan marah aku memutuskan sambungan telponku dan
memencet sederet nomor lain yang juga kuhapal di luar kepala, nomor Alex, orang
yang selalu menjadi tempatku berlari ketika aku memiliki masalah.
“Halo? Alex. Kamu ada
dirumah?” tanyaku tanpa basa- basi. “Bisa temui aku sekarang? Iya. Di tempat
biasa. Terimakasih.” Begitu selesai menyampaikan maksudku, tanpa babibu aku
langsung memutuskan sambungan telponku dan mematikan ponselku sekalian. Saat
ini aku hanya ingin memaki dan marah-marah serta menangis tanpa diganggu oleh
satu orang pun, termasuk kedua orang tuaku.
“Aku pikir, semua itu
bukan salahnya, Fin,” gumam Alex mantap beberapa saat setelah aku selesai
menumpahkan semua unek-unekku padanya.
“Apa!?” pekikku tak
percaya dengan kedua bola mata yang nyaris keluar dari rongganya. Alex
mengangkat kedua tangannya, memberiku isyarat agar tetap tenang dan
mengendalikan emosiku yang kini meluap-luap. Dengan mendengus sebal, aku
kembali bersandar pada kursiku setelah sebelumnya aku mendadak duduk dengan tegak
karena terkejut dengan tanggapan Alex yang diluar dugaan itu.
“Kamu masih ingat kan
apa alasan kamu mutusin dia?” Tanya Alex santai. Satu hal yang selalu aku
kagumi dari Alex adalah kemampuannya berpikir dengan kepala dingin dan jernih
tak peduli dalam situasi segenting apapun.
“Tentu saja aku ingat,”
aku menyalak tak sabar. Disaat seperti ini aku tidak butuh Alex yang
memutar-mutar kalimat. Aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya tanpa
perlu membuatku menebak dengan susah seperti biasanya.
“Nggak salah dong dia
nyari cewek lain? Kan kamu juga nggak bisa janjiin apa-apa buat dia,” jelas
Alex masih sama tenangnya seperti sebelumnya meski kata-katanya menohokku tepat
dijantungku. Membuat rasa sakit, kecewa dan menyesal yang mati-matian kuhindari
menyeruak kepermukaan dengan bebasnya. Aku terdiam, bersandar lemas di sandaran
kursi. Benarkah apa yang dikatakan Alex? Mendadak saja aku teringat saat-saat
dimana aku dihadapkan pada pilihan tersulit dalam hidupku, tetap bersama Rafael
atau membahagiakan kedua orangtuaku.
Senja
itu hujan turun dengan deras, mengguyur kerumunan orang berpakaian hitam yang
mengelilingi sebuah gundukan tanah berwarna merah yang tertutup oleh taburan
bunga mawar yang hampir menutup seluruh permukaannya. Diantara kerumunan orang-orang
berwajah sedih dan prihatin itu, aku berdiri dengan ekspresi kosong seraya
menatap nisan yang menghiasi makam itu. Disana, diatas nisan putih itu,
tertulis dengan cat kayu hitam biasa sebuah nama, sebuah nama yang tak pernah
kuduga akan pergi secepat ini. Disana, diatas nisan itu tertulis sebuah nama
sederhana, nama itu “Prudence”, nama kakakku tersayang yang masih sangat mudah
dan bersemangat.
Prudence
pergi dengan begitu mendadak tanpa pernah aku, ayah ataupun bunda bayangkan
sebelumnya. Prudence yang ceria, Prudence yang manis dan Prudence yang penuh
mimpi. Dialah tumpuan harapan kedua orang tuaku. Dialah yang selama ini
membanggakan dan mewujudkan impian-impian mereka, sementara aku terhanyut dalam
duniaku sendiri tanpa ingin menggantikan tempat Prudence atau setidaknya
memiliki tempat yang sama sepertinya. Aku tidak peduli kalau Prudence adalah
kesayangan kedua orang tuaku. Aku juga tidak peduli kalau namanya lah yang
selalu dibanggakan kedua orang tuaku didepan teman-teman dan koleganya. Yang aku
pedulika hanyalah hidupku yang hanya menjadi milikku sendiri. Aku tidak perlu
pusing ketika mengambil keputusan. Aku hanya memutuskan dan memilih apa yang
membuatku suka dan bahagia tanpa perlu memikirkan keinginan dan harapan kedua
orang tuaku karena ada Prudence yang selalu memenuhi impian mereka. Karena ada
sesosok Prudence yang sempurna yang selalu mewujudkan keinginan mereka.
Tapi
sekarang… sekarang tidak ada lagi Prudence yang sempurna. Tidak ada lagi
Prudence yang akan mewujudkan mimpi dan keinginan kedua orang tuaku. Mendadak
saja aku begitu marah pada Prudence. Aku marah karena ia pergi begitu saja dan
meninggalkan tanggung jawab ini dibahuku. Meninggalkanku dengan pilihan yang
sama sulitnya, tetap berada dalam hidupku sendiri atau membahagiakan kedua
orang tuaku yang kini kehilangan putri kesayangan mereka.
Aku
tidak peduli dengan impian kedua orang tuaku sebelumnya meski aku begitu
menyayangi mereka karena ada Prudence yang akan memenuhi impian mereka. Tapi
sekarang tak ada lagi Prudence. Tak ada lagi Pru yang sempurna yang akan
melindungiku. Sekarang, mendadak saja impian kedua orang tuaku beralih padaku.
Hanya aku yang mereka punya sekarang, haruskah aku mengecewakan mereka dengan
mengabaikan impian dan harapan mereka?
Sebenarnya,
impian, keinginan dan harapan mereka sederhana. Mereka hanya ingin anak-anak
mereka sukses dan menyelesaikan pendidikan secepat mungkin. Mungkin untuk
Prudence mimpi itu mudah, tapi untukku? Untukku yang tak pernah memikirkan
apapun, mimpi itu bagaikan ribuan ton batu yang dibebankan diatas bahuku. Aku
bukan tipe anak seperti Prudence. Aku tak akan bisa memenuhi impian kedua orang
tuaku jika terus seperti ini.
Ketika
perlahan hujan mereda dan menghapus seluruh isak tangis yang tersisa, aku
sampai pada satu kesimpulan. Tidak boleh ada hal lain yang mengacaukan fokusku.
Dan hal lain itu termasuk Rafael. Ya… aku harus memutuskan Rafael. Aku harus
meninggalkannya dan fokus pada kuliahku. Aku harus memenuhi mimpi kedua orang
tuaku. Aku harus… aku harus… harus… harus…
Aku tersentak dari
lamunanku saat perlahan Alex memukul punggung tanganku. “Fin? Kamu nggak
apa-apa?” Tanya Alex cemas. Melalui pantulan bayangan diriku yang ada dikaca
mata minus Alex aku bisa melihat betapa piasnya diriku. Aku masih bisa
merasakan dengan sangat jelas bagaimana semua hal itu menekanku dan membuatku
begitu sulit untuk bernapas. Perlahan aku menggelengkan kepalaku dan menatap
Alex lekat-lekat.
“Kamu benar, Lex. Hari
itu, setelah kematian Prudence, aku memutuskan hubunganku dengan Rafael. Aku
yang membuatnya pergi dan memintanya untuk tidak kembali. Dan meskipun hari itu
ia berjanji akan menungguku selesai memenuhi impian kedua orangtuaku, aku tahu…
aku sadar kalau ia tak akan bisa menungguku.” Gumamku sambil menarik napas
panjang berulang kali.
Dengan lembut Alex
menggenggam tanganku, memberiku kekuatan yang aku butuhkan. “Kamu mengerti kan
Fin kalau Rafael juga berhak bahagia?” Tanya Alex lembut.
“Ya aku tahu. Memang
sudah seharusnya ia bahagia. Memang sudah seharusnya ia menemukan orang lain
yang berani memilihnya dan mempertaruhkan segalanya untuknya. Bukan aku yang
tak sanggup memilihnya dan justru meninggalkannya. Tapi apakah keputusanku
untuk meninggalkannya itu salah?”
Alex menggeleng,
tatapannya yang meneduhkan menghipnotisku, menahan mataku untuk terus terkunci
di kedua bola matanya. “Tidak, Fin. Keputusanmu saat itu sudah tepat, sangat
tepat malah. Hanya kamu satu-satunya tumpuam kedua orang tuamu dan sudah seharusnya
kamu memilih mereka.”
“Tapi kenapa rasanya
sesakit ini, lex?” tanyaku lagi. Kali ini aku tak lagi menahan air mataku yang
sekarang membasahi kedua pipiku.
“Semua pilihan ada
konsekuensinya, Fin sayang. Dan konsekuensi dari pilihan kamu adalah kehilangan
Rafael dan merasakan sakit itu. Tapi percayalah sayang, memang seharusnya kamu
memilih apa yang kamu pilih sekarang. Dan dibalik semua rasa sakit itu,
percayalah, pasti ada kebahagiaan yang menunggumu,”
Aku tidak bisa terus
mengabaikan nasihat bijak Alex yang tertanam kuat dalam pikiranku. Alex benar.
Memang sudah seharusnya aku memilih memenuhi impian kedua orang tuaku karena
akulah satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal Rafael… ya, ia berhak
menemukan orang lain karena aku sudah mencampakkannya. Aku sudah membuangnya.
Perlahan, aku menghapus sisa air mataku dan tersenyum lemah pada Alex yang
langsung membalas senyumku dengan seringaian lebar.
“Itu baru Infinity yang
aku kenal,” ujarnya bangga seraya menyentuh pipiku lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar