Senin, 17 Februari 2014

Memang Sudah Seharusnya…

When you make decisions, you deal with consequences
Winna Efendi, Remember When

Pukul lima sore. Aku menatap nyalang layar laptopku, terenyak dengan apa yang baru saja aku lihat di halaman facebook Rafael, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Perlahan aku menyentuh dadaku, merasakan jantungku yang berdetak dengan kualahan disana. Seharusnya ini tidak terjadi bukan? Seharusnya ia menungguku menunaikan semua keinginan kedua orang tuaku bukan? Lantas kenapa?? Mendadak air mata yang sedari tadi mati-matian kutahan meluncur turun. Apa yang terjadi? Kenapa status hubungan Rafael menjadi “in a relationship”? Mana janjinya yang akan selalu menungguku?
“Bullshit!” aku memaki keras-keras seraya menutup layar laptopku. Aku tidak sanggup melihat pemandangan itu lagi. Aku tidak sanggup melihat orang yang selama ini selalu ada untukku, menemaniku dan menghiburku mendadak saja meninggalkanku dan mengingkari semua janjinya. “Wanita jalang!”makiku lagi seraya meraih ponselku dan memencet dua belas digit nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu.
Satu kali… dua kali… nada sambung itu terus terdengar, tetapi tak ada tanda-tanda kalau Rafael akan mengangkat telponnya. Dengan marah aku memutuskan sambungan telponku dan memencet sederet nomor lain yang juga kuhapal di luar kepala, nomor Alex, orang yang selalu menjadi tempatku berlari ketika aku memiliki masalah.
“Halo? Alex. Kamu ada dirumah?” tanyaku tanpa basa- basi. “Bisa temui aku sekarang? Iya. Di tempat biasa. Terimakasih.” Begitu selesai menyampaikan maksudku, tanpa babibu aku langsung memutuskan sambungan telponku dan mematikan ponselku sekalian. Saat ini aku hanya ingin memaki dan marah-marah serta menangis tanpa diganggu oleh satu orang pun, termasuk kedua orang tuaku.

“Aku pikir, semua itu bukan salahnya, Fin,” gumam Alex mantap beberapa saat setelah aku selesai menumpahkan semua unek-unekku padanya.
“Apa!?” pekikku tak percaya dengan kedua bola mata yang nyaris keluar dari rongganya. Alex mengangkat kedua tangannya, memberiku isyarat agar tetap tenang dan mengendalikan emosiku yang kini meluap-luap. Dengan mendengus sebal, aku kembali bersandar pada kursiku setelah sebelumnya aku mendadak duduk dengan tegak karena terkejut dengan tanggapan Alex yang diluar dugaan itu.
“Kamu masih ingat kan apa alasan kamu mutusin dia?” Tanya Alex santai. Satu hal yang selalu aku kagumi dari Alex adalah kemampuannya berpikir dengan kepala dingin dan jernih tak peduli dalam situasi segenting apapun.
“Tentu saja aku ingat,” aku menyalak tak sabar. Disaat seperti ini aku tidak butuh Alex yang memutar-mutar kalimat. Aku hanya ingin dia mengatakan yang sebenarnya tanpa perlu membuatku menebak dengan susah seperti biasanya.
“Nggak salah dong dia nyari cewek lain? Kan kamu juga nggak bisa janjiin apa-apa buat dia,” jelas Alex masih sama tenangnya seperti sebelumnya meski kata-katanya menohokku tepat dijantungku. Membuat rasa sakit, kecewa dan menyesal yang mati-matian kuhindari menyeruak kepermukaan dengan bebasnya. Aku terdiam, bersandar lemas di sandaran kursi. Benarkah apa yang dikatakan Alex? Mendadak saja aku teringat saat-saat dimana aku dihadapkan pada pilihan tersulit dalam hidupku, tetap bersama Rafael atau membahagiakan kedua orangtuaku.

Senja itu hujan turun dengan deras, mengguyur kerumunan orang berpakaian hitam yang mengelilingi sebuah gundukan tanah berwarna merah yang tertutup oleh taburan bunga mawar yang hampir menutup seluruh permukaannya. Diantara kerumunan orang-orang berwajah sedih dan prihatin itu, aku berdiri dengan ekspresi kosong seraya menatap nisan yang menghiasi makam itu. Disana, diatas nisan putih itu, tertulis dengan cat kayu hitam biasa sebuah nama, sebuah nama yang tak pernah kuduga akan pergi secepat ini. Disana, diatas nisan itu tertulis sebuah nama sederhana, nama itu “Prudence”, nama kakakku tersayang yang masih sangat mudah dan bersemangat.
Prudence pergi dengan begitu mendadak tanpa pernah aku, ayah ataupun bunda bayangkan sebelumnya. Prudence yang ceria, Prudence yang manis dan Prudence yang penuh mimpi. Dialah tumpuan harapan kedua orang tuaku. Dialah yang selama ini membanggakan dan mewujudkan impian-impian mereka, sementara aku terhanyut dalam duniaku sendiri tanpa ingin menggantikan tempat Prudence atau setidaknya memiliki tempat yang sama sepertinya. Aku tidak peduli kalau Prudence adalah kesayangan kedua orang tuaku. Aku juga tidak peduli kalau namanya lah yang selalu dibanggakan kedua orang tuaku didepan teman-teman dan koleganya. Yang aku pedulika hanyalah hidupku yang hanya menjadi milikku sendiri. Aku tidak perlu pusing ketika mengambil keputusan. Aku hanya memutuskan dan memilih apa yang membuatku suka dan bahagia tanpa perlu memikirkan keinginan dan harapan kedua orang tuaku karena ada Prudence yang selalu memenuhi impian mereka. Karena ada sesosok Prudence yang sempurna yang selalu mewujudkan keinginan mereka.
Tapi sekarang… sekarang tidak ada lagi Prudence yang sempurna. Tidak ada lagi Prudence yang akan mewujudkan mimpi dan keinginan kedua orang tuaku. Mendadak saja aku begitu marah pada Prudence. Aku marah karena ia pergi begitu saja dan meninggalkan tanggung jawab ini dibahuku. Meninggalkanku dengan pilihan yang sama sulitnya, tetap berada dalam hidupku sendiri atau membahagiakan kedua orang tuaku yang kini kehilangan putri kesayangan mereka.
Aku tidak peduli dengan impian kedua orang tuaku sebelumnya meski aku begitu menyayangi mereka karena ada Prudence yang akan memenuhi impian mereka. Tapi sekarang tak ada lagi Prudence. Tak ada lagi Pru yang sempurna yang akan melindungiku. Sekarang, mendadak saja impian kedua orang tuaku beralih padaku. Hanya aku yang mereka punya sekarang, haruskah aku mengecewakan mereka dengan mengabaikan impian dan harapan mereka?
Sebenarnya, impian, keinginan dan harapan mereka sederhana. Mereka hanya ingin anak-anak mereka sukses dan menyelesaikan pendidikan secepat mungkin. Mungkin untuk Prudence mimpi itu mudah, tapi untukku? Untukku yang tak pernah memikirkan apapun, mimpi itu bagaikan ribuan ton batu yang dibebankan diatas bahuku. Aku bukan tipe anak seperti Prudence. Aku tak akan bisa memenuhi impian kedua orang tuaku jika terus seperti ini.
Ketika perlahan hujan mereda dan menghapus seluruh isak tangis yang tersisa, aku sampai pada satu kesimpulan. Tidak boleh ada hal lain yang mengacaukan fokusku. Dan hal lain itu termasuk Rafael. Ya… aku harus memutuskan Rafael. Aku harus meninggalkannya dan fokus pada kuliahku. Aku harus memenuhi mimpi kedua orang tuaku. Aku harus… aku harus… harus… harus…

Aku tersentak dari lamunanku saat perlahan Alex memukul punggung tanganku. “Fin? Kamu nggak apa-apa?” Tanya Alex cemas. Melalui pantulan bayangan diriku yang ada dikaca mata minus Alex aku bisa melihat betapa piasnya diriku. Aku masih bisa merasakan dengan sangat jelas bagaimana semua hal itu menekanku dan membuatku begitu sulit untuk bernapas. Perlahan aku menggelengkan kepalaku dan menatap Alex lekat-lekat.
“Kamu benar, Lex. Hari itu, setelah kematian Prudence, aku memutuskan hubunganku dengan Rafael. Aku yang membuatnya pergi dan memintanya untuk tidak kembali. Dan meskipun hari itu ia berjanji akan menungguku selesai memenuhi impian kedua orangtuaku, aku tahu… aku sadar kalau ia tak akan bisa menungguku.” Gumamku sambil menarik napas panjang berulang kali.
Dengan lembut Alex menggenggam tanganku, memberiku kekuatan yang aku butuhkan. “Kamu mengerti kan Fin kalau Rafael juga berhak bahagia?” Tanya Alex lembut.
“Ya aku tahu. Memang sudah seharusnya ia bahagia. Memang sudah seharusnya ia menemukan orang lain yang berani memilihnya dan mempertaruhkan segalanya untuknya. Bukan aku yang tak sanggup memilihnya dan justru meninggalkannya. Tapi apakah keputusanku untuk meninggalkannya itu salah?”
Alex menggeleng, tatapannya yang meneduhkan menghipnotisku, menahan mataku untuk terus terkunci di kedua bola matanya. “Tidak, Fin. Keputusanmu saat itu sudah tepat, sangat tepat malah. Hanya kamu satu-satunya tumpuam kedua orang tuamu dan sudah seharusnya kamu memilih mereka.”
“Tapi kenapa rasanya sesakit ini, lex?” tanyaku lagi. Kali ini aku tak lagi menahan air mataku yang sekarang membasahi kedua pipiku.
“Semua pilihan ada konsekuensinya, Fin sayang. Dan konsekuensi dari pilihan kamu adalah kehilangan Rafael dan merasakan sakit itu. Tapi percayalah sayang, memang seharusnya kamu memilih apa yang kamu pilih sekarang. Dan dibalik semua rasa sakit itu, percayalah, pasti ada kebahagiaan yang menunggumu,”
Aku tidak bisa terus mengabaikan nasihat bijak Alex yang tertanam kuat dalam pikiranku. Alex benar. Memang sudah seharusnya aku memilih memenuhi impian kedua orang tuaku karena akulah satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal Rafael… ya, ia berhak menemukan orang lain karena aku sudah mencampakkannya. Aku sudah membuangnya. Perlahan, aku menghapus sisa air mataku dan tersenyum lemah pada Alex yang langsung membalas senyumku dengan seringaian lebar.

“Itu baru Infinity yang aku kenal,” ujarnya bangga seraya menyentuh pipiku lembut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar