Pukul
2.59 siang.
Aku
menahan langkahku dibalik gerbang besi karatan rumahku dengan tatapan mata yang
tak pernah dari jam tangan digital hadiah ulang tahun dari papaku yang
melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sepeda federalku sudah bersandari manis
ditubuhku sementara tangan kiriku sedang sibuk kupandangi, dan bola sepak
kesayanganku pun sudah siap diposisinya, aku kepit diantara tangan kanan dan
pinggangku. Sebentar lagi aku akan membuka pintu gerbang ini dan memberikan
sinyal pada seseorang yang menunggu disebelah. Kemudian, aku akan keluar dari
sini dan duduk ditrotoar depan rumahnya hanya untuk melihat ia mengamatiku
diam-diam.